Share

Kesempatan Kedua

"Kau yakin memberi kesempatan pada, Alam?"

Sialan semua orang seolah berharap Asma bercerai dariku. Apa mereka lupa, dosa jika menghancurkan pernikahan orang lain.

"Tolong biarkan Asma berpikir dengan jernih. Jangan kalian pengaruhi terus dia, ingat dosa karena meminta seorang wanita bercerai dari suaminya."

Aku tersenyum karena mereka semua terdiam setelah aku berkata tentang dosa. Syukurlah mereka paham dan mengerti, kalau aku dan Asma tak seharusnya bercerai.

"Kau paham tentang dosa, tapi kau lupa menzolimi istri juga termasuk dosa, Alam!"

Bagus berteriak padaku sebenarnya siapa dia, dan kenapa selalu ikut campur urusanku dengan Asma? Heran dia seolah begitu perduli pada istriku. Apa benar dia punya perasaan lebih pada Asma?

"Aku tau tapi tadi kan sudah minta maaf, kenapa kau terus nyolot apa kau memang mencintai asma juga?"

Bagus melotot dia menatap istrinya. Seolah ucapan ku akan menyakiti wanita itu, kalau benar dia mencintai Asma kan bagus biar istrinya tau.

"Kau."

Bagus menujukkan jarinya padaku. Namun dia tak meneruskan ucapannya, tak lama dia tersenyum sinis padaku dan berkata sesuatu yang menyakitkan.

"Asal kau ingat, meski Asma menjanda sudah ada pria yang siap menerimanya. Dan aku pastikan dia jauh lebih baik darimu, Alam. Jadi berhati-hatilah, sekali lagi kau berbuat salah, aku pastikan kau akan kehilangan istrimu selamanya."

Semua orang yang ada di rumah ku menatap Bagus lalu beralih padaku. Mereka seolah mendukung ucapan Bagus untuk mencarikan pria lain untuk menjadi suami Asma.

"Asal kau tak lupa, wanita yang kau tawarkan pada pria lain itu masih istriku, Bagus. Kami belum bercerai dan tak akan pernah."

Aku tersenyum melihat wajah pucat bagus. Dia pikir bisa terus-terusan mempermalukan aku di depan banyak orang. Sesekali harus di beri pelajaran juga pria sombong ini.

"Kau benar karena itu aku menuruti keinginan Asma untuk memberimu kesempatan ke dua. Jika kau melakukan kesalahan lagi, maka bersiaplah kehilangan istrimu."

Aku menatap Asma, jadi dia yang meminta semua orang berkumpul di rumah kami. Setelah dia hari aku mengemis maaf ini yang dia berikan.

"Karena mbak Asma berniat memberi kesempatan kedua pada mas Alam. Sebaiknya kita semua pulang, biar mereka membicarakan kelanjutan pernikahan mereka."

Syukurlah pak RT akhirnya bicara setelah dari tadi diam saja, seperti orang yang sedang sakit gigi. Asma mengantar semua orang lalu dia menutup pintu dan segera masuk ke kamar.

"Untuk sementara tidurlah di luar, aku ingin menenangkan diri, Mas. Soal kesempatan kedua yang aku berikan ada batas waktunya, jika kau tak berubah aku sendiri yang akan menuntutmu ke pengadilan agama."

Asma segera menutup pintu kamar, tanpa perduli meski aku masih ingin bicara dengannya.

Dia bilang berubah, berarti aku juga harus merubah jumlah nafkah untuknya. Kalau sepuluh ribu bisa bikin geger begini, sedangkan lima puluh ribu dia selalu kurang, apa aku tambahi lima ribu biar jadi lima puluh lima ribu, kan itu termasuk berubah juga?

(Kau jangan sampai lemah, Alam. Ingat nafkah Asma jangan terlalu banyak, nanti dia keenakan.)

Baru saja hendak membaringkan tubuhku, ada pesan dari ibu. Membacanya membuatku bingung untuk mengambil keputusan.

(Alam tak bisa, Bu. Untuk sementara biarlah aku mengalah sampai semuanya tenang dulu.)

Aku segera mengirim pesan itu. Namun tak lama ibu justru membalas dengan kata-kata yang lebih sadis.

(Dasar bodoh percuma ibu besarkan, kalau hasilnya kau jadi suami takut istri.)

Ibu benar-benar bikin emosi apa dia tak berpikir. Kalau bercerai aku tak akan dapat apa-apa yang pasti malu hasilnya.

(Ibu tenang aja paling lama sebulan atau dua bulan, Asma pasti sudah luluh lagi, saat itu semua akan kembali seperti semula.)

Aku segera menghapus semua pesan, jangan sampai Asma membaca percakapan ku dengan ibu bisa gawat nantinya.

(Bilang ke mbak Ani jangan bikin status yang bisa membuat Asma marah lagi.)

Pesan terakhir sebelum aku membersihkan riwayat pesan dari ibu. Saat berbaring di depan TV aku ingat ucapan Asma.

Kebenaran apa yang bisa membuat ibu gila jika mengetahuinya. Kenapa wajah mbak Ani tampak takut saat mendengar ucapan Asma. Apa ini ada hubungan dengan kakak iparku itu. Lebih baik aku tanyakan padanya.

(Mana aku tau yang di maksud oleh istrimu, Lam. Dia pasti asal bicara karena sakit hati, saat melihat ibu begitu perduli padaku.)

Jawaban mbak Ani sedikit membuatku lega. Apa benar Asma asal bicara karena dia sebenarnya iri, atas perhatian ibu pada mbak Ani.

(Kalau begitu besok biar aku tanya, kenapa dia bicara begitu pada ibu?)

Aku mengirim pesan pada mbak Ani, namun tak lama dia membalas pesan itu. Namun membuat sedikit heran kenapa dia melarang aku menanyakan masalah ini pada Asma.

(Tak usah kau tanyakan lagi, Lam. Takutnya Asma mengira kau curiga dia berbohong. Makin sulit bagimu membujuknya.)

Mbak Ani benar bisa-bisa Asma akan semakin marah padaku. Sedangkan masalah kami belum selesai sampai sekarang.

(Baiklah kalau begitu aku harap mbak baik-baik saja setelah di hajar Asma tadi. Besok aku beri uang buat berobat.)

Karena masalah motor yang di bawa Asma aku jadi lupa mengambil uang untuk ibu. Untung juga belum memberikan jatah Asma pada ibu, kalau tidak bisa kalang-kabut aku mencari uang.

(Terima kasih kebetulan besok keponakanmu waktunya bayar uang sekolah. Uang berobat bisa aku gunakan untuk membayar sekolahnya, nanti aku bisa beli obat sakit kepala saja, karena tarikan Asma di rambutku memang menyakitkan.)

Kasihan mbak Ani karena Asma dia jadi kesakitan begitu. Apalagi harus mengurus seorang anak sendirian tanpa suami. Pasti dia kerepotan disaat sakit begini.

(Istirahat saja besok aku kasih lebih. Minta tolong ibu menjaga Adit, kalau memang masih pusing.)

Aku kembali menghapus semua pesan itu lalu meletakkan ponsel ke atas meja. Semua masalah hari ini menguras tenaga ku.

Tek ...trek ....

Aku terbangun karena mendengar suara dari arah dapur. Maling atau Asma yang disana, kenapa tak terdengar saat dia membuka pintu kamar tadi.

"Tak usah takut aku hanya mau mengambil air minum."

Terdengar suara Asma ternyata dia sedang mengambil air, tapi kenapa tak terdengar saat dia keluar dari kamar tadi. Biasanya pintu itu akan bersuara sangar keras ketika di buka.

"Mungkin karena aku hempaskan tadi makanya dia jadi bagus lagi. Biasanya yang oleng memang harus di kerasi, agar kembali lurus seperti pintu itu yang selalu berbunyi jika di buka, sekarang justru tak bersuara lagi."

Asma menjelaskan panjang-lebar, seolah dia mengerti kenapa aku heran, saat melihat pintu kamar kami tak bersuara.

"Baguslah jadi tak perlu di perbaiki atau beli pintu baru, karena itu juga sudah bagus lagi, jadi tak menganggu dengan suara kerasnya."

Asma terdiam dia hanya menatapku sebentar, lalu kembali masuk ke kamar dan menutupnya dari dalam. Dasar istri kurang ajar, apa dia tak tau di sini dingin dan banyak nyamuk.

"Ma, sampai kapan aku tidur di luar. Dingin dan banyak nyamuk nih. Cepat buka pintu aku ngantuk besok kerja lagi."

Aku berkata sembari mengetuk pintu kamar. Namun tak terdengar suara apapun, sepertinya Asma tak peduli dengan ucapan ku. Benar-benar menguji kesabaran wanita ini, lihat saja saat waktunya tiba dia akan menyesal memperlakukan orang seperti ini.

"Tak perlu berpikir macam-macam, Mas. Sekarang atau nanti, aku tak akan pernah menyesali apapun, jika itu menyangkut dirimu."

Aku terkejut mendengar suara Asma, dia sudah seperti penyihir. Bisa tau apa yang aku katakan meski itu hanya di dalam hati.

"Kau bicara apa sih, Ma. Aku tak mengerti."

Aku buru-buru kembali ke depan televisi. Takut juga jika ternyata Asma bisa membaca pikiranku, dia benar-benar jadi wanita aneh.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Dheny Chandra
wkwkwkkwkw ditipu niye. ulang lagi tor
goodnovel comment avatar
K'long Nye
yg benar aja d ulang lgi hadehhh
goodnovel comment avatar
marxisizm
isi bab di ulang copas nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status