"Kapan sidangnya akan berakhir?" tanya Melly pada Ardhan."Entah."Ardan sebenarnya ingin datang ke persidangan perceraiannya karena ingin melihat anaknya dan juga bagaimana ekspresi Mimi saat di persidangan itu. Dia ingin melihat raut wajah penyesalan Mimi dan melihat bagaimana wanita itu salah memilih langkahnya. Namun, Melly melarang dia untuk datang ke persidangan dan memilih untuk menjemput Laila agar mau ikut bersamanya."Kamu masih kangen sama Lela?" tanya Mely."Iya. Kangen sama dia," jawab Ardhan."Gimana kalau kita ke rumahnya minggu besok dan ajak dia jalan-jalan sama Nesya. Nesya akan aku jemput dari rumah ayahnya untuk jalan-jalan dengan Laila.""Mantan suami kamu mengizinkan?""Tentu. Dia tidak begitu keras terhadap Nesya jika ingin bertemu denganku. Lagian, aneh banget kalau sampai Mimi melarang kamu untuk mengajak Laila pergi. Dia kan juga anak kamu," ucap Melly."Dia ada kekuatan baru untuk menentangku dan aku yakin dia sangat marah karena pernah melihat kita begituan
Arfi tidak peduli dengan tatapan semua orang terhadapnya yang langsung membawa tubuh Mimi ke dalam mobil. Dia juga meminta Santi untuk membawa Laela. Mely sempat ingin merebut Layla dari gendongan Santi tetapi Alvin langsung mengambil alih membawa Laila menuju ke dalam mobil. Orang-orang yang melihat kejadian itu hanya itu banyak yang mengabadikan momen langka di pantai. Jika mereka biasanya bersenang-senang dan bermain dengan anak ini mereka disuguhkan dengan pemandangan perkelahian antara dua lelaki dewasa yang memperebutkan seorang anak.Mimi dibawa ke klinik terdekat. Dia membuka mata saat selesai dirawat beberapa jam kemudian."Syukurlah kamu sudah siuman," ucap Arfi cemas."Laila mana, Fi?" tanya Mimi seraya mencoba untuk bangkit tetapi ditahan oleh Arfi."Dia ada sama Santi di depan. Masih sakit nggak kepalanya?" tanya Arfi mengusap kepala yang terbentur oleh kepalan tangan Ardan."Lumayan, tapi nggak papa. Makasih ya udah nolongin aku. Aku mau ketemu sama Laila, Fi. Dia nggak
“Kamu kenapa pake acara berkelahi dengan lelaki tadi, sih?” tanya Melly sambil mengobati luka Ardan. “Dia itu cari masalah sama aku. Aku hanya ingin membawa Laila, masa dia larang. Memangnya dia itu siapa?” murka Ardhan. “Dia jelas orang yang selama ini ada di balik semua hal yang mantan istrimu lakukan.” “Dia masih sah jadi istriku, Mel. Bagaimanapun dia juga harus menghormati aku yang di sini ayah kandung Laela.” “Kok kamu jadi nyolot?” Melly sedikit kesal dan menekan luka Ardhan sedikit keras, membuat Ardhan meringis kesakitan. “Aduh, sakit, Mel. Pelan pelan dong.” “Syukurin! Emang enak. Lagian, kamu itu niat nggak sih pisah sama dia? Kayak yang nggak rela banget pisah sama dia demi aku.” Melihat Mely yang merajuk, akhirnya Ardhan pun mengalah. Dia tersenyum dan memeluk Mely dengan wajah berdosanya. “Iya deh, Sayang. Maafin aku ya. Aku tuh tadi hanya kangen banget sama Laila. Aku sayang banget sama anakku, jadi rasanya nggak rela kalau anakku dekat sama papa yang lain nan
Hari pertama masuk selepas diminta istirahat kemarin, Mimi terpaksa harus mengajak Laila. Dia menemui Santi terlebih dahulu untuk bisa menanyakan langkah apa yang harus dia lakukan pagi ini. Rumah Santi nampak sepi karena Alvin sudah kembali bekerja di kantor miliknya dan Arfi sudah kembali bekerja di kotanya.“Mama kerja di sini memang?” tanya Laila.“Iya, Sayang. Mama harus kerja biar Laila bisa sekolah dan jajan. Yuk masuk!” Laila mengetuk pintu rumah Santi dan Santi yang masih memakai baju piama menyapa Mimi dan Laila.“Hai cantik,” sapa Santi pada Laila.“Hai Tante Santi. Baru bangun tidur ya?” duga Laila.“Iya, Sayang. Semalam Tante lembur.”“Keren, udah main lembur aja. Sepi banget rumahnya, San? Udah pada pergi?” tanya Mimi.“Iya. Suamiku pergi pagi pulang sore nanti, kalau Arfi udah nggak mungkin nginap lagi. Dia katanya mau pindah.”“Iyakah? Syukurlah kalau begitu,” ucap Mimi sedikit kaget dan juga sedikit kecewa karena Arfi tak mengatakan apapun terkait kepergiannya itu. “
“Eh, Pak Arfi udah datang.” Sapaan Anindea pada Arfi membuat Mimi pun menengok ke arah tatapan Anin. Mimi melihat Arfi yang kini memakai kemeja dan celana formalnya. Dia terlihat lebih gagah daripada pertemuannya beberapa hari yang lalu.“Semangat ya semua tim kerjanya. Mi, ke ruangan Pak Alvin sekarang ya?” ajak Arfi setelah menyemangati semua karyawan di sana."Iya, Pak." Mimi langsung menjawabnya.“Cie, langsung diajak ngeruang bareng Pak Arfi. Dah sana buruan! Nanti dibabat sama si Monalisa lagi.” Anindea menyenggol lengan Gunawan agar tidak berbicara sembarangan.“Siapa Monalisa?” tanya Mimi.“Ah, udah. Nggak usah dipikirkan ucapan si Anin. Dah sana buruan ke ruangan Pak Alvin dan Pak Arfi. Pasti mau meeting tuh. Sukses sukses yang di dalam. Kalau tahu ada lawan, libas!” Anindea menyemangati.Mimi tak paham dengan yang mereka ucapkan. Dia memilih beranjak dan mengikuti instruksi ke ruangan Alvin yang letaknya ada di bagian atas. Di gudang, ada ruang tersendiri untuk sebuah pertem
"Kita mau ke mana, Ma?" tanya Laila."Kerja sayang. Hari ini Laila temani Mama bekerja ya. Besok baru Laila temani nenek di rumah. Nggak apakan?" "Nggak apa, Ma. Bakalan masuk sekolah kan Ma kalau di rumah sama Nenek?" "Iya dong. Kamu pasti sedih banget karena hari ini nggak bisa berangkat sekolah ya?""Iya, Ma. Tapi nggak apa-apa. Demi mama yang selalu ada buat Laila. Yang akan melakukan apapun untuk Mama. Mama harus semangat kerjanya biar kita bisa beli rumah yang bagus rumahnya Tante Santi.""Aamiin."Arfi sejak tadi menyimak pembicaraan Laila dan Mimi. Dia tersenyum melihat percakapan ibu dan anak yang sangat dewasa dan hangat itu."Om Arfi, Om Arfi rumahnya di mana?" tanya Laila."Laila …," jeda Mimi. "Nggak apa, Mi. Dia anak anak. Hanya ingin tahu aja pasti. Besok kalau Om udah punya rumah, Om ajak Laila main.""Om belum punya rumah? Kasihan. Tinggal di rumah Laila aja, rumahnya ada kamar 3 loh. Papa kan sekarang nggak di rumah," ujar Laila."Laila. Hm, nggak bisa sayang. Om
“Gimana kerja hari ini, La?” tanya Irah pada cucunya yang seharian ini ikut kerja bersama sang Ibu.“Asih, Nek. Kerjanya gak capek kok, muter muter naik mobil. Masuk ke gedung gedung yang tinggi dan dingin. Di sana Mama keren loh, Nek. Mama sama Om Arfi kayak orang yang ada di tv itu,” cerocos Laila dengan girang menceritakan semua aktivitasnya pada sang nenek.“Laila nakal nggak?” Mimi yang sedang menikmati makan malamnya pun tersenyum mendengar aduan anaknya mengenai kegiatan hari ini. Bersyukur tak ada keluhan tak enak mengenai aktivitasnya, termasuk bertemu dengan Ardan di cafe siang tadi.“Nggak dong. Laila kan anak baik. Tapi, kata Mama besok Laila sekolah. Jadi nggak bisa ikut kerja.”“Kan memang harus sekolah, Sayang. Kamu nggak mau jadi anak yang bodoh ‘kan?”Laila menggeleng. Meski tadi merengut karena dilarang ikut kerja kembali, tapi Laila cukup tahu bagaimana dia harus paham kondisi ibunya yang harus bekerja.“Nanti kalau Laila bosan?” tanya Laila.“Kan ada nenek. Nanti
“Ya, itu rumahku. Kenapa? Mau jadi penghuninya juga?” kekeh Arfi."Bercandanya kamu nggak usah kelewatan begitu deh. Aku nggak percaya kalau rumah yang gede di samping pabrik gudang itu rumah yang sedang dibangun oleh kamu. Santi dan Alvin juga nggak mau apa-apa mengenai rumah yang dibangun sebelah sana dan dia bilang kalau kamu memang mau pindah jauh dari tempat kerja," tanya Mimi yang memang benar-benar tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Arfi."Kalau nggak percaya ya udah. Aku nggak bakalan maksa kamu buat percaya kalau aku punya rumah seperti itu. Lagian, rumah itu nanti yang bakalan dijadikan rumah masa depan aku. Makanya sengaja aku pindahin agak jauh dari tempat kerja yang ada di Purwokerto.""Kok aneh?"Arfi tertawa mendengar pertanyaan Mimi yang masih saja meragukan pernyataannya. "Udah lah, nggak usah terlalu dipikirkan kalau memang kamunya belum percaya 100% kalau aku bisa membangun rumah segede itu. Next time, kalau rumah itu sudah jadi aku bakalan ada syukuran b