Share

Bab 8

Bab 8 - Orang Kaya Rese

"Leon, apa Mas Leon itu yang dimaksud ibu ini?" Tanyaku dalam hati. 

Ah, mana mungkin. Leon di kota ini 'kan banyak. Belum tentu dia yang dimaksud ibu itu. Lagi pula, ngapain juga aku mikirin dia terus. 

Akhirnya aku meninggalkan si ibu dan mobil mogoknya karena Mang Diman telah datang beserta teman-temannya. Melanjutkan perjalanan menuju ke pasar. 

Sampai di pasar suasana sudah ramai oleh orang yang berlalu lalang mencari barang kebutuhannya. 

"Pagi, Bang Ramon," sapaku. Bang Ramon sedang menikmati gorengan plus kopi hitam yang sudah tinggal setengahnya.

"Hei, pagi Bel. Sudah sarapan, kalau belum, pesan, gih!" 

"Aku sudah sarapan, Bang. Mana yang lain? Kok sendirian aja?" 

"Sedang keliling, memantau keamanan pasar. Sepertinya hari ini bakalan ramai, karena besok hari libur. Oh, ya, pria yang bersamamu kemarin itu siapa, Bel?" 

Aku mengernyitkan dahi, pria mana yang di maksud Bang Ramon?

"Itu, lho. Yang berdiri ketakutan di pojokan waktu kamu diserang anak buahnya si Jeki," sambung Bang Ramon. 

"Oh, itu. Calon pasien, tapi batal gak jadi.* sahutku.

"Calon pasien, maksudnya?" 

Lalu kuceritakan soal permintaan Mas Leon kemarin, tapi dibatalkan oleh Mas Leon sendiri. Bukannya bersimpati, bang Ramon malah tertawa terbahak mendengarnya.

"Jadi perjanjian batal sebelum sempat deal?" tanyanya lagi masih sambil tertawa.

Aku cemberut, walau kalau dipikir-pikir lucu juga, sih.

"Tau deh, aku juga gak ngarep sih. Hanya orangnya kok lucu dan juga aku penasaran mendengar cerita dia tentang ibu dan saudara tirinya. Pasti asyik kalau setiap hari bersitegang dengan mereka, hitung-hitung olahraga jantung," jawabku  membuat bang Ramon makin terbahak.

"Kamu memang beda, Bel. Kalau yang lain bakalan menghindar, kamu malah penasaran. Emang kamu bakal tahan menghadapi kelakuan orang kaya yang sombong seperti itu?"

Pertanyaan bang Ramon membuatku teringat akan ibu dan anak yang mobilnya mogok tadi, bakalan ribet juga hidupku kalau setiap hari menghadapi dua orang sombong seperti itu, pikirku.

"Kebakaran, kebakaran!" teriakan orang saling bersahutan itu mengejutkanku dan bang Ramon. 

"Bang, ada kebakaran!" Teriakku panik. Aku melihat asap sudah mengepul di ujung lorong. 

"Iya, Bel. Ayo kita lihat!" Bang Ramon langsung berlari menuju ke lokasi kebakaran. 

Aku juga berlari mengikuti bang Ramon, sampai di lokasi aku kaget melihat api yang sudah berkobar melalap beberapa toko di sekitarnya. 

Beberapa pedagang yang tokonya belum terbakar sibuk menyelamatkan barang dagangannya ke tempat yang aman. 

"Sini Teh, aku bantu!" Bela berinisiatif membantu mereka. 

"Terima kasih, Bel. Bawakan ke toko yang di ujung sana saja, ya. Biar aman!" 

"Iya, teh. Siap!" Bela bergegas membantu si Teteh yang berdagang pakaian anak-anak itu. Bela membawa bungkusan berisi pakaian itu ke toko di ujung yang jauh dari jangkauan api. 

Suasana benar-benar mencekam, api semakin membesar, sementara petugas pemadam kebakaran belum juga datang. Para pedagang saling membahu memadamkan api dengan alat seadanya. 

Aku melihat  seorang bapak yang menjual sepatu dan sandal, sebagian tokonya sudah terbakar. Sementara dia masih sibuk memasukkan sepatu dan sandal yang belum terbakar. 

Segera kubantu memasukkan sepatu dan sandalnya ke dalam karung plastik besar. 

"Bela, awas di belakangmu!" teriak Bang Ramon.

Aku menoleh ke belakang, sebuah kayu yang terbakar sebagian sedang meluncur turun tepat ke arahku.

Aku kaget dan berusaha menghindar, tapi terlambat. Kayu tersebut menimpa kepalaku. Pandanganku seketika menggelap, dan tak ingat apa-apa lagi. 

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status