Sepulang dari rumah ibu perutku terasa lapar. Soraya tidak terlihat di ruang tamu mungkin dia di kamar Adel.
Kubuka tudung nasi dan bersiap makan. Loh, kok hanya tempe goreng sama sambel kecap? Apa-apaan ini? Aku kerja banting tulang, tapi istriku hanya menyediakan tempe saja, ini gil@. Ku hampiri Soraya di kamar. Apalagi gebrakan Soraya, dia asyik memoles masker di wajahnya. Kenapa dia?Sejak lama aku baru melihat dia seperti itu. "Ya, kenapa di meja makan hanya ada tempe goreng sama sambel kecap?" Soraya menoleh sekilas, lalu kembali meratakan masker di wajahnya dengan ujung jari. "Memangnya kenapa?" Nada suaranya datar, seolah tak peduli. Aku semakin kesal. "Aku capek kerja buat cari nafkah, pulang-pulang cuma disediakan tempe goreng. Apa kamu nggak mikir?" Soraya menghela napas, lalu menatapku melalui cermin. "Aku masak sesuai dengan uang belanja yang kamu kasih, Mas." Aku mengernyit. "Maksudmu?" Soraya berbalik, menatapku dengan mata yang dingin. "Uang belanja yang kamu kasih bulan ini berkurang karena aku belanja baju dan make up. Jadi, aku harus putar otak supaya cukup. Jadi, ya, ini yang bisa aku sajikan." Darahku berdesir. "Aku transfer uang itu bukan untuk beli baju dan make up. Itu uang untuk masak, Ay." Soraya terkekeh pelan. "Aku tahu kok, Mas. Tapi aku capek di bilang enggak bisa merawat diri. Terus kamu selalu membandingkan aku dengan Mba Maya. Kalau aku minta uang untuk beli baju dan make up ke kamu apa mungkin kamu kasih cuma-cuma?" Soraya membalikan badannya dan kini berhadapan denganku. Aku membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Sesuatu dalam sorot matanya membuatku terdiam. Sial sekali, kenapa dia bisa bicara hal itu. Ya, benar juga kalau meminta juga aku belum tentu memberikan, ya karena uang yang aku pegang sisa buat bensin dan makan di kantor. "Kalau kamu mau makan yang lebih enak, transfe lagi ke aku atau bisa kamu yang ke swalayan belanja buat mingguan. Itu sih kalau kamu mau," katanya sebelum kembali ke cerminnya. "Atau masak sendiri," katanya menambahkan. "Ay, sudahlah jangan memperpanjang masalah lagi. Masalah uang belanja, ya sudah masak se sisanya uang yang kemarin." Terpaksa aku kembali ke dapur dan menyendok nasi dan tentunya tempe goreng. ** Aku menekan tombol "kirim" di ponsel, memastikan pesan untuk Mbak Maya terkirim. "Maaf, Mbak, aku nggak enak badan. Kayaknya nggak bisa antar ke ulang tahun teman Ibu." Setelah itu, tanpa ragu, aku langsung mematikan ponsel dan meletakkannya di nakas. Aku tahu kalau tetap menyalakannya, Mbak Maya pasti akan mengirimi rentetan pesan berisi keluhan dan rengekan. Aku tak ingin mendengar itu. Bukan malam ini. Menghela napas panjang, aku berjalan ke balkon, mencari sedikit udara segar. Tapi langkahku terhenti saat melihat seseorang sudah lebih dulu duduk di sana. Soraya. Dia duduk dengan santai di kursi rotan, jari-jarinya melingkari gelas tinggi berisi es kopi. Matanya menerawang ke kejauhan, tapi begitu menyadari keberadaanku, dia menoleh perlahan. Aku mengernyit. "Sejak kapan kamu suka kopi?" tanyaku, heran. Soraya mengangkat alisnya, lalu tersenyum tipis. "Baru tadi sore. Ada yang salah?" Aku menelan ludah. Kenapa dia terlihat berbeda malam ini? Cantik—bukan, terlalu cantik. Padahal dia hanya mengenakan daster. Tapi daster itu... entah kenapa terlihat lain. Bukan daster lusuh yang biasa dia pakai di rumah, ini lebih jatuh di tubuhnya, lebih rapi, lebih... menggoda. Aku memalingkan wajah, berusaha mengabaikan pikiranku sendiri. "Kamu masih di rumah? Bukannya mau pergi sama ibu dan Mbak Maya?" "Lagi enggak mood." Benar, aku sedang tidak enak hati, apalagi melihat tingkah Soraya. "Ya sudah kalau begitu, aku mau tidur dulu Mas." Soraya mulai melangkah ke dalam. "Ay, tunggu. Aku mau bicara soal sekolah Adel." Soraya berbalik badan dan menghampiri aku. "Kalau misal jawaban kamu tidak mau, kita tidak akan membahasnya sampai kapan pun. Kecuali kamu mau dan setuju." "Jangan ngajak berdebat lagi, Ay. Memang aku enggak setuju tentang sekolah itu. Ay, kamu harusnya mengerti aku dong," ucapku. Soraya mendekat, matanya menatapku lurus, tajam, tapi tetap tenang. Aku tahu sorot itu. Bukan amarah, bukan juga kepasrahan. Tapi ketegasan. "Aku justru mengerti, Mas," katanya, suaranya rendah tapi tegas. "Aku mengerti kalau kamu selalu ingin keputusanmu yang diikuti. Aku mengerti kalau setiap kali aku punya pendapat berbeda, kamu menganggapnya sebagai perdebatan." Aku mengembuskan napas berat. "Ini bukan soal aku ingin diikuti atau nggak, Ay. Aku cuma berpikir sekolah itu nggak cocok buat Adel." Soraya tersenyum kecil, tapi tidak ada kehangatan di sana. "Adel suka sekolah itu, Mas. Aku sudah bicara sama dia, lihat bagaimana matanya berbinar saat cerita tentang kunjungannya ke sana." "Tapi biayanya mahal." "Kita bisa atur. Aku bisa bantu cari tambahan. Aku juga bisa kerja lagi kalau perlu." Aku menggeleng cepat. "Aku nggak mau kamu kerja. Kamu di rumah saja, urus Adel." Soraya menghela napas, lalu menatapku lama. Aku bisa melihat sesuatu berubah dalam dirinya. Seperti ada tembok yang perlahan ia bangun di antara kami. "Baik," katanya akhirnya. "Kalau begitu, nggak perlu dibahas lagi. Aku sudah tahu jawabannya." Soraya melipat kedua tangan di depan dada dengan wajah terlihat biasa saja walau sudah membuat aku ketar-ketir. "Mas, kamu itu suami dan ayah. Harusnya kamu mendahulukan urusan aku dan Adel. Bukan malah membiayai uang sekolah anak kakak kamu," ujar Soraya. Tangan ini sudah terkepal, rasanya ingin sekali menutup mulut istriku ini. Tanganku sudah mengangkat keatas, tapi aku mengurungkan niat setelah Aya malah mendekat. "Tmpar lagi aja Mas. Setelah ini, aku mungkin akan lebih mudah mendapatkan suami baru setelah kamu masuk penjara!" "Gil@ kamu Aya!" "H!-na aku terus saja Mas. Aku lelah Mas, aku sudah tak bisa sabar dengan apa yang kamu katakan. Aku jelek, kucel, kumal dan enggak pantas bersanding dengan kamu yang menjabat di perusahaan bonafide. Bahkan, selama aku habis melahirkan, kamu seolah-olah tidak menganggap aku ada." Drama apa lagi sih ini? Harusnya sadar kalau dia merasa seperti itu. Dandan dong, bukan malah menyalahkan aku. "Aku menyesal kenapa aku terlalu lama bertahan sama kamu!" Aku menarik tangan Ayu, mencengkam kencang. Apa dia sadar bicara seperti itu? "Ay, jaga bicara kamu. Kalau aku mau, banyak wanita yang mau sama aku. Aku masih mikir," ucapku. "Memang kamu pikir hidup menjanda itu mudah hah? Sekolah saja masih merengek sama aku!" ***Bara menatap Soraya sejenak sebelum memfokuskan diri pada jalan. "Kamu sudah melangkah jauh, Ay. Aku bangga sama kamu."Soraya tersenyum tipis, hatinya terasa lebih ringan. Beban yang dulu menghimpit perlahan mulai menghilang. Bersama Bara, dia merasa bisa menjalani hidup yang baru dengan lebih bahagia."Terima kasih, Bara, untuk selalu ada," ucapnya pelan.Bara menggenggam tangan Soraya lembut. "Selalu, Ay. Sekarang fokus kita adalah masa depan—kamu, aku, dan Adel."Soraya mengangguk, yakin bahwa apa yang dia pilih saat ini adalah yang terbaik. Masa lalu sudah tertinggal, dan kini saatnya melangkah maju."Jadi, kita bulan madu ke mana?" Bara mengedipkan mata. Soraya pun tersipu malu saat di goda suaminya. "Bulan madu? Memangnya kita masih perlu bulan madu?" goda Soraya sambil tertawa kecil."Ya perlu dong, Bu Bara. Hitung-hitung refreshing. Lagipula, Adel pasti senang kalau kita liburan bareng," jawab Bara sambil menyeringai.Soraya berpikir sejenak. "Hmm, kalau gitu, ke tempat yan
Bu Rasyid mengurus Dani, dia berharap sang anak akan memafkan dirinya. Di satu sisi, Dani masih belum bisa percaya dengan sang ibu.Namun, Murni terus mengingatkan Dani. Ada Adinda yang juga masih harus dia urus. Terlepas dari kebenciannya pada Maya, mungkin Dani bisa berdamai dengan keadaan. Apalagi Adinda kini sebatang kara.Di kamar yang kini terasa semakin sempit, Dani duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Kepalanya masih terasa berat oleh segala masalah yang menumpuk, sementara Bu Rasyid duduk tak jauh darinya, menatapnya dengan wajah penuh harap."Dan, Ibu cuma mau kamu bahagia. Maafin Ibu, Nak," ucap Bu Rasyid pelan, suaranya bergetar.Dani menghela napas panjang, seolah mencari kekuatan dari dalam dirinya yang sudah lama rapuh. Rasa kecewa, marah, dan lelah bergulat dalam dadanya."Memaafkan itu enggak gampang, Bu. Luka ini masih ada," jawab Dani dengan suara rendah.Bu Rasyid menunduk, merasa kata-kata Dani begitu menusuk. Murni yang berada di sana mencoba menengahi."
Dani tertawa sinis. "Wanita pengganti Soraya? Ibu pikir semudah itu?"Bu Rasyid menghela napas, duduk di samping Dani. "Nak, hidup harus terus berjalan. Kamu nggak bisa selamanya terjebak di masa lalu."Dani menatap ibunya, matanya lelah. "Ibu sadar nggak, kalau semua ini karena keputusan ibu juga?"Bu Rasyid terdiam. Murni yang sejak tadi mendengarkan ikut bicara, "Mas, udah cukup. Berhenti nyalahin ibu. Kalau Mas benar-benar mau bangkit, mulai dari diri sendiri dulu."Dani menunduk. Entah kenapa, kali ini kata-kata Murni lebih mengena daripada biasanya.*"Sah.""Sah."Akhirnya Bara mengucapkan ijab kabul, pernikahan mereka sudah sah. Soeaya sudah menjadi istri dari Bara. Soraya menundukkan kepala, menahan haru. Air matanya hampir jatuh, tapi bukan karena kesedihan—melainkan rasa lega. Setelah bertahun-tahun melewati luka, akhirnya dia menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya dengan tulus.Bara menoleh ke arahnya, tersenyum penuh arti. Soraya balas tersenyum, hatinya mengh
Sebulan cukup untuk mempersiapkan pernikahan untuk Soraya. Dia tidak meminta mewah, tapi baginya sah saja sudah cukup dan dia mau pernikahan keduanya awal dari kebahagiaan yang tertunda. Di satu sisi lain, Dani kini sedang berada di rumah sakit. Pria itu over dosis obat karena beban yang terlalu banyak dia merasa pusing dan akhirnya berlebihan mengkonsumsi obat. "Mas, harus sembuh. Mas masih punya masa depan kok." Murni mencoba menyemangati sang kakak. Dani masih sangat lemas, "Enggak, Mur. Masa depan Mas hanya pada Soraya dan Adel." Tatapannya hampa dan penuh penyesalan. Murni pun sudah mengerti mungkin sang kakak sudah mengetahui kabar tentang pernikahan mantan istrinya yang akan segera di gelar. Murni menghela napas berat. "Mas, hidup nggak berhenti di Soraya dan Adel. Mas harus bangkit. Kalau Mas terus begini, Mas nggak akan pernah bisa memperbaiki hidup."Dani tertawa miris. "Bangkit buat apa? Soraya udah bahagia, Adel juga pasti udah nyaman sama Bara. Aku cuma bayang-bayang
Ruangan tiba-tiba sunyi.Bu Rasyid menelan ludah, hatinya nyeri melihat putranya yang seperti ini. "Dani, Ibu enggak mau lihat kamu terpuruk. Bangkit, Nak. Kalau kamu enggak mau buat dirimu sendiri, setidaknya buat Adinda."Dani terdiam, bibirnya menegang. Hatinya ingin membantah, tapi entah kenapa, rasa lelah yang lebih mendominasi."Stoplah, Bu. Adinda itu enggak buat aku semangat. Yang buat aku semangat itu Adel anak kandungku!""Dan, Adinda anak kandung kamu. Jangan kaya gitu," protes Maya. "Iya, anak haram!"Sebuah tamparan mengenai pipi Dani. "Lagi tampar Mbak. Puas Mba sekarang dah buat hidup aku hancur!" Teriakan Dani membuat Maya takut. Bu Rasyid pun mencoba menenangkan Dani. Sementata itu sepertinya Maya mengurungkan niat awal saat dia datangnya.Soraya mempersiapkan untuk makan malam bersama di rumahnya. . Dia mengundang Bara karena ucapan terimakasih kasih sekaligus ingin membahas sesuatu dengannya. Soraya akan menjawab pertanyaan Bara apa mau menjalanj masa dengan deng
"Kamu lihat kam Dan, siapa yang duluan move on? Lihat, Soraya bersama pria makan malam di restoran."Dani menarik napas saat membaca pesan masuk dan melihat gambar foto Soraya dan Bara yang sedang makam malam. Dadanya kembali terbakar saat melihat keduanya sangat akrab setelah siang tadi dirinya juga merasakan hawa panas yang menjalar keseluruh tubuh.Dani menggenggam ponselnya erat. Matanya menatap foto itu lekat-lekat, seolah mencari celah bahwa ini hanya kebetulan, hanya pertemuan biasa. Tapi nyatanya, senyum Soraya terlalu lepas, terlalu bahagia. Dan Bara… pria itu jelas bukan sekadar teman.Rahangnya mengatup, dadanya terasa sesak. "Cepat banget dia move on," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Pikirannya berkelindan. Siang tadi, melihat Soraya di kantor sudah cukup menyakitkan. Tapi kini, melihatnya makan malam bersama Bara—seakan dunia menamparnya dua kali dalam sehari.Ponselnya kembali bergetar."Kamu diam aja, Dan? Atau masih berharap bisa balikan? Lihat kenyataan, dia u