Home / Rumah Tangga / Istriku Ternyata Pewaris / Perlawanan Pada Suami

Share

Perlawanan Pada Suami

Author: Galuh Arum
last update Last Updated: 2025-06-18 13:57:45

Sepulang dari rumah ibu perutku terasa lapar. Soraya tidak terlihat di ruang tamu mungkin dia di kamar Adel.

Kubuka tudung nasi dan bersiap makan. Loh, kok hanya tempe goreng sama sambel kecap? Apa-apaan ini? Aku kerja banting tulang, tapi istriku hanya menyediakan tempe saja, ini gil@.

Ku hampiri Soraya di kamar. Apalagi gebrakan Soraya, dia asyik memoles masker di wajahnya. Kenapa dia?Sejak lama aku baru melihat dia seperti itu.

"Ya, kenapa di meja makan hanya ada tempe goreng sama sambel kecap?"

Soraya menoleh sekilas, lalu kembali meratakan masker di wajahnya dengan ujung jari. "Memangnya kenapa?"

Nada suaranya datar, seolah tak peduli. Aku semakin kesal.

"Aku capek kerja buat cari nafkah, pulang-pulang cuma disediakan tempe goreng. Apa kamu nggak mikir?"

Soraya menghela napas, lalu menatapku melalui cermin. "Aku masak sesuai dengan uang belanja yang kamu kasih, Mas."

Aku mengernyit. "Maksudmu?"

Soraya berbalik, menatapku dengan mata yang dingin. "Uang belanja yang kamu kasih bulan ini berkurang karena aku belanja baju dan make up. Jadi, aku harus putar otak supaya cukup. Jadi, ya, ini yang bisa aku sajikan."

Darahku berdesir. "Aku transfer uang itu bukan untuk beli baju dan make up. Itu uang untuk masak, Ay."

Soraya terkekeh pelan. "Aku tahu kok, Mas. Tapi aku capek di bilang enggak bisa merawat diri. Terus kamu selalu membandingkan aku dengan Mba Maya. Kalau aku minta uang untuk beli baju dan make up ke kamu apa mungkin kamu kasih cuma-cuma?" Soraya membalikan badannya dan kini berhadapan denganku.

Aku membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar. Sesuatu dalam sorot matanya membuatku terdiam. Sial sekali, kenapa dia bisa bicara hal itu. Ya, benar juga kalau meminta juga aku belum tentu memberikan, ya karena uang yang aku pegang sisa buat bensin dan makan di kantor.

"Kalau kamu mau makan yang lebih enak, transfe lagi ke aku atau bisa kamu yang ke swalayan belanja buat mingguan. Itu sih kalau kamu mau," katanya sebelum kembali ke cerminnya.

"Atau masak sendiri," katanya menambahkan.

"Ay, sudahlah jangan memperpanjang masalah lagi. Masalah uang belanja, ya sudah masak se sisanya uang yang kemarin." Terpaksa aku kembali ke dapur dan menyendok nasi dan tentunya tempe goreng.

**

Aku menekan tombol "kirim" di ponsel, memastikan pesan untuk Mbak Maya terkirim.

"Maaf, Mbak, aku nggak enak badan. Kayaknya nggak bisa antar ke ulang tahun teman Ibu."

Setelah itu, tanpa ragu, aku langsung mematikan ponsel dan meletakkannya di nakas. Aku tahu kalau tetap menyalakannya, Mbak Maya pasti akan mengirimi rentetan pesan berisi keluhan dan rengekan. Aku tak ingin mendengar itu. Bukan malam ini.

Menghela napas panjang, aku berjalan ke balkon, mencari sedikit udara segar. Tapi langkahku terhenti saat melihat seseorang sudah lebih dulu duduk di sana. Soraya.

Dia duduk dengan santai di kursi rotan, jari-jarinya melingkari gelas tinggi berisi es kopi. Matanya menerawang ke kejauhan, tapi begitu menyadari keberadaanku, dia menoleh perlahan.

Aku mengernyit. "Sejak kapan kamu suka kopi?" tanyaku, heran.

Soraya mengangkat alisnya, lalu tersenyum tipis. "Baru tadi sore. Ada yang salah?"

Aku menelan ludah. Kenapa dia terlihat berbeda malam ini? Cantik—bukan, terlalu cantik. Padahal dia hanya mengenakan daster. Tapi daster itu... entah kenapa terlihat lain. Bukan daster lusuh yang biasa dia pakai di rumah, ini lebih jatuh di tubuhnya, lebih rapi, lebih... menggoda.

Aku memalingkan wajah, berusaha mengabaikan pikiranku sendiri.

"Kamu masih di rumah? Bukannya mau pergi sama ibu dan Mbak Maya?"

"Lagi enggak mood." Benar, aku sedang tidak enak hati, apalagi melihat tingkah Soraya.

"Ya sudah kalau begitu, aku mau tidur dulu Mas."

Soraya mulai melangkah ke dalam.

"Ay, tunggu. Aku mau bicara soal sekolah Adel."

Soraya berbalik badan dan menghampiri aku.

"Kalau misal jawaban kamu tidak mau, kita tidak akan membahasnya sampai kapan pun. Kecuali kamu mau dan setuju."

"Jangan ngajak berdebat lagi, Ay. Memang aku enggak setuju tentang sekolah itu. Ay, kamu harusnya mengerti aku dong," ucapku.

Soraya mendekat, matanya menatapku lurus, tajam, tapi tetap tenang. Aku tahu sorot itu. Bukan amarah, bukan juga kepasrahan. Tapi ketegasan.

"Aku justru mengerti, Mas," katanya, suaranya rendah tapi tegas. "Aku mengerti kalau kamu selalu ingin keputusanmu yang diikuti. Aku mengerti kalau setiap kali aku punya pendapat berbeda, kamu menganggapnya sebagai perdebatan."

Aku mengembuskan napas berat. "Ini bukan soal aku ingin diikuti atau nggak, Ay. Aku cuma berpikir sekolah itu nggak cocok buat Adel."

Soraya tersenyum kecil, tapi tidak ada kehangatan di sana. "Adel suka sekolah itu, Mas. Aku sudah bicara sama dia, lihat bagaimana matanya berbinar saat cerita tentang kunjungannya ke sana."

"Tapi biayanya mahal."

"Kita bisa atur. Aku bisa bantu cari tambahan. Aku juga bisa kerja lagi kalau perlu."

Aku menggeleng cepat. "Aku nggak mau kamu kerja. Kamu di rumah saja, urus Adel."

Soraya menghela napas, lalu menatapku lama. Aku bisa melihat sesuatu berubah dalam dirinya. Seperti ada tembok yang perlahan ia bangun di antara kami.

"Baik," katanya akhirnya. "Kalau begitu, nggak perlu dibahas lagi. Aku sudah tahu jawabannya."

Soraya melipat kedua tangan di depan dada dengan wajah terlihat biasa saja walau sudah membuat aku ketar-ketir.

"Mas, kamu itu suami dan ayah. Harusnya kamu mendahulukan urusan aku dan Adel. Bukan malah membiayai uang sekolah anak kakak kamu," ujar Soraya.

Tangan ini sudah terkepal, rasanya ingin sekali menutup mulut istriku ini. Tanganku sudah mengangkat keatas, tapi aku mengurungkan niat setelah Aya malah mendekat.

"Tmpar lagi aja Mas. Setelah ini, aku mungkin akan lebih mudah mendapatkan suami baru setelah kamu masuk penjara!"

"Gil@ kamu Aya!"

"H!-na aku terus saja Mas. Aku lelah Mas, aku sudah tak bisa sabar dengan apa yang kamu katakan. Aku jelek, kucel, kumal dan enggak pantas bersanding dengan kamu yang menjabat di perusahaan bonafide. Bahkan, selama aku habis melahirkan, kamu seolah-olah tidak menganggap aku ada."

Drama apa lagi sih ini? Harusnya sadar kalau dia merasa seperti itu. Dandan dong, bukan malah menyalahkan aku.

"Aku menyesal kenapa aku terlalu lama bertahan sama kamu!"

Aku menarik tangan Ayu, mencengkam kencang. Apa dia sadar bicara seperti itu?

"Ay, jaga bicara kamu. Kalau aku mau, banyak wanita yang mau sama aku. Aku masih mikir," ucapku. "Memang kamu pikir hidup menjanda itu mudah hah? Sekolah saja masih merengek sama aku!"

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istriku Ternyata Pewaris   keholangan sesuatu yang berharga

    Seno hanya tersenyum tipis, sorot matanya penuh arti. "Tunggu saja, Aya. Dani akan tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang berharga."*"Apa semua sengaja du atur Mas Seno supaya aku bertemu Dani lagi?" tanya Aya pada Satya. "Bisa jadi, Seno itu tidak akan berhenti membuat kejutan untuk calon mantan suami kamu. Walau, aku rasa kamu sudah muak bertemu dengan dia lagi. Tuh, lihat mukanya sudah asem. Bisa bayangin kan dia enggak akan fokus nanti," ucap Satya. Yang di katakan Satya benar, baru saja kemarin bertemu dengan Soraya bersama Bara saja Dani sudah kacau. Apalagi sekarang dirinya bersama dengan Satya yang di kenal adalah adik dari Seno. Gebrakan apa lagi ini, pikir Dani dengan menelan ludah. Kali ini dirinya tidak begitu sulit bergerak karena tidak ada Vira. Jadi, dia memutuskan untuk berbicara dengan Soraya sebelum masuk ke dalam ruangan meeting. "Masih ada waktu 30 menit."Dani menghampiri Aya yang sedang sendiri, Satya izin untuk ke WC. "Nomor aku kamu blokir, sekar

  • Istriku Ternyata Pewaris   Penyesalan

    Setelah mengirim pesan pada Aya, Dani pun merebahkan tubuh di kasur. Hatinya nya galau, kecemasan muncul saat itu apalagi mengingat Pandangan Soraya pada Bara. Tatapan mata itu yang selama ini hanya melirik dirinya, kini beralih menatap intes pria lain."Apa selama ini aku terlalu sibuk memikirkan bagaimana caranya mencari uang untuk menutup mulut Mba Maya juga ibu tentang kekhilafan aku malam itu sampai lupa dengan Soraya juga kewajiban aku? Apa benar aku Ayah yang tak bertanggung jawab?" Dani menjambak rambutnya sendiri. Lalu bangkit berjalan bolak balik dengan tangang yang gementar cemas. "Ini tidak bisa terjadi. Kenapa sebaliknya malah Aya yang menggugat perceraian?" Dani menghela napas berat. Dulu, dia pikir bisa mengendalikan segalanya. Dia pikir Soraya akan selalu ada, menunggunya, bertahan meski dia mengabaikannya. Tapi sekarang? Soraya bahkan tidak menoleh lagi ke arahnya. Tatapan yang dulu hanya miliknya kini beralih ke pria lain—Bara."Apa selama ini aku yang terlalu bodo

  • Istriku Ternyata Pewaris   Rencana

    Soraya tersenyum tipis, menuangkan teh ke cangkirnya. "Sudah kuduga Mas akan bertanya seperti itu. Dani memang memilih jalan yang lebih menguntungkan untuknya. Aku? Aku hanya kesalahan dalam perjalanan hidupnya."Satya mendecakkan lidah. "Brengsek juga laki-laki itu. Kalau saja aku tahu lebih awal, sudah kuhabisi dia dari dulu!"Seno mengangkat tangan, memberi isyarat agar Satya menenangkan diri. "Tenang. Tidak perlu pakai emosi. Kita bisa menghancurkannya dengan cara yang lebih cerdas."Soraya menatap kakaknya dengan penasaran. "Maksud Mas?"Seno tersenyum miring. "Kita lihat saja nanti. Aku sudah punya rencana."Soraya menghela napas, menatap kedua kakaknya dengan penuh kepercayaan. Apapun yang akan terjadi, dia tahu satu hal pasti—kali ini, dia tidak akan menghadapi semuanya sendirian."Apa rencana dari Mas Seno untuk membalas Dani?" tanya Soraya. Seno menyesap tehnya dengan tenang, tatapannya tajam ke arah Soraya dan Satya. "Aku tidak akan gegabah. Dani itu serakah, tapi bodoh. D

  • Istriku Ternyata Pewaris   Teka Teki

    Sepanjang pertemuan Dani tidak bisa fokus. Pandangannya terus tertuju pada Soraya. Bagaimana bisa, wanita itu yang belum resmi menjadi mantan istrinya sudah datang bersama dengan pria lain. Dan sejak kapan Soraya pintar berbicara juga tentang per bisnisan? Selama ini Dani hanya tahu Soraya hanya bisa di dapur dan sama sekali buta tentang pekerjaan yang digelutinya. Soraya tersenyum tipis, dia mentertawakan Dani dalam hati. Baru permulaan saja dia sudah masuk dalam permainan. Apalagi jika dia tahu dirinya adalah salah satu dari anggota keluarga Seno. Bisa mati berdiri bukan?Soraya melirik sekilas ke arah Dani, senyum kecil tersungging di sudut bibirnya. Dia bisa melihat bagaimana ekspresi pria itu berubah-ubah—antara kesal, bingung, dan mungkin sedikit terkejut.Bara yang duduk di sebelahnya ikut memperhatikan Dani yang tampak gelisah. Dia mendekat sedikit dan berbisik, "Sepertinya ada yang tidak bisa menerima kenyataan kalau istrinya bukan ibu rumah tangga biasa."Soraya tertawa pe

  • Istriku Ternyata Pewaris   Rencana Maya

    Dani menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Dia harus profesional. Ini adalah kesempatan besar baginya.Seno bangkit dari tempat duduknya, menyambut Pak Darmawan dengan jabatan tangan hangat. "Pak Darmawan, silakan duduk."Pak Darmawan tersenyum. "Terima kasih, Pak Seno. Saya sudah mendengar banyak tentang perusahaan Anda."Seno melirik sekilas ke arah Dani, lalu kembali tersenyum tipis. "Semoga semuanya berjalan lancar."Dani mengambil tempat duduk di samping Vira, tetapi pikirannya masih saja terganggu. Matanya sesekali melirik ke arah Soraya dan Bara, yang terlihat begitu akrab. Bara bersandar santai, berbicara dengan tenang, sementara Soraya tertawa kecil menanggapi.Dani mengepalkan tangan di bawah meja. Bara… siapa pria itu baginya? Sejak kapan mereka dekat?Soraya menyadari tatapan Dani, tetapi dia pura-pura tak peduli. Dia justru semakin menampilkan sikap santainya, berbicara dengan Bara tanpa beban."Apa kita mulai?" suara Seno menarik perhatian semua orang di rua

  • Istriku Ternyata Pewaris   Bertemu Mantan

    Dani yang sedang berbincang dengan Pak Darmawan tiba-tiba menghentikan ucapannya begitu matanya menangkap sosok Soraya di lobi kantor Seno. Langkahnya refleks melambat, napasnya terasa sedikit lebih berat.Soraya, dengan senyum tipis dan wajah tenang, berjalan berdampingan dengan Bara. Tidak ada raut kesedihan atau kemarahan seperti terakhir kali mereka bertemu. Dia tampak anggun, lebih berkelas, dan lebih… bebas.Vira yang berdiri di samping Dani ikut menoleh, mengikuti arah pandangan Dani. Begitu melihat Soraya, rahangnya langsung mengatup."Kenapa dia ada di sini?" gumam Vira pelan, cukup untuk didengar Dani.Pak Darmawan, yang menyadari perubahan suasana, mengernyit. "Kalian kenal wanita itu?" tanyanya.Dani mengalihkan tatapannya dengan cepat. "Bukan urusan penting, Pak."Sementara itu, Bara menoleh ke arah Soraya yang masih berdiri tegak. "Kamu mau lanjut atau ingin pergi?" tanyanya dengan nada tenang, meskipun dia bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara.Soraya meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status