Share

Kebohongan

Author: Galuh Arum
last update Last Updated: 2025-06-18 13:56:48

Aku meremas ujung bajuku, mencoba tetap tenang meskipun Soraya berdiri di hadapanku dengan tatapan penuh selidik. Sebisa mungkin aku harus bisa tenang dan tidak terpancing.

"Ini enggak sama k@ya yang Adinda katakan, Ya," Aku mencoba menetralisir keadaan yang menv-suk ruang antara kami seperti pisau yang siap menguliti kebohongan.

Aku menelan ludah. Lagi-lagi dihadapkan pada posisi seperti ini. Aya mulai membangkang, bahkan mulai bisa mengintrogasiku. Padahal dia istri penurut dan tidak banyak meminta. Tapi, kali ini sepertinya dia berubah.

"Anak kecil tidak mungkin berbohong kan?" lanjutnya. "Jadi, selama ini biaya sekolah keponakan tercinta itu yang biayain Kamu Mas?"

D@rahku berdesir, tubuhku menegang. Aku harus tetap tenang walau di gempur dengan pertanyaan yang mendesak.

"Enggak, Ya. Mbak Maya membiayai sekolah anaknya sendiri, atau mungkin Ibu yang ngasih buat sekolah Adinda," jawabku sekenanya, berharap ini cukup untuk mengalihkan pembicaraan.

Soraya mendengus, melipat tangan di dadanya. "Mas, kamu lupa? Setiap bulan aja Ibu menunggu jatah bulanan dari kamu."

Aku mengatupkan rahang.

Soraya melangkah mendekat, suaranya semakin tajam. "Mbak Maya enggak kerja, Murni adikmu baru saja menikah dan mungkin enggak ngasih bulanan ke Ibu karena sudah enggak kerja. Lalu, dari mana Mbak Maya buat bayar sekolah Adel?"

Aku membuang napas, berpikir keras. Jawaban harus cepat, kuat, masuk akal. Tapi sebelum aku sempat bicara, Soraya sudah melanjutkan—

"Kecuali—"

Aku menatapnya. "Kecuali apa?"

Soraya mengangkat satu alis. Bibirnya sedikit melengkung ke samping, bukan dalam senyum, tapi ekspresi puas karena sudah memojokkanku.

"Kecuali Mbak Maya punya suami diam-diam atau—jadi ani-ani."

Jantungku seperti berhenti sejenak. Aku menegang, tapi bukan karena perkataan Soraya saja. Dari sudut mata, aku bisa melihat Adel berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat. Anakku terlihat takut melihat aku dan ibunya berdebat.

Aku menatapnya, hatiku mencelos.

Soraya tersenyum tipis. "Enggak bisa jawab kan? Bahkan kamu sibuk mencari alasan bukan?"

Tanganku mengepal. Aku tak bisa membiarkan ini.

"Jangan asal ngomong, Ya," suaraku keluar lebih rendah dari yang kuinginkan. "Mbak Maya enggak seperti itu."

Soraya mengangkat bahu. "Lalu, dari mana uangnya?"

Aku terdiam.

Aku menunduk, mencoba mencari kata-kata. Tapi rasanya semua alasan yang kususun dalam kepala hancur begitu saja.

Soraya mendengus. "Lihat, Mas. Sejak awal aku enggak perlu bukti. Kebenaran udah ada di depan mata."

Aku mengepalkan tangan, merasa dunia tiba-tiba terlalu sempit. Aku tertangkap basah—dan tak ada cara untuk keluar dari ini tanpa luka.

"Kamu enggak mau mengaku ya sudah. Tapi, aku tidak terima jika memang benar selama ini uang pangkal dan bulanan Adinda kamu yang bayar. Bahkan, mungkin perawatan wajah dan baju mewah Kakak kamu," ujar Soraya semakin menyudutkan aku.

Soraya masih menatap aku dengan sedikit senyum tipis.

"Satu hal lagi Mas. Aku tidak mempermasalahkan jika anakku sekolah di sekolah negri, sama kok bagusnya dengan swasta. Tapi, aku tidak terima jika kamu sanggup bayar sekolah keponakan kamu tapi anak kamu tidak! Paham sampai sini?"

Soraya menggandeng Adel melangkah masuk ke kamar. Entah apa yang terjadi di dalam, aku harus bicara sama Mba Maya. Harusnya ini semua tidak terbongkar secepat ini. Sial sekali!

***

Aku memacu mobil cepat ke rumah Ibu. Ingin cepat bicara hal ini pada Mba Maya, rasanya emosi mendengar Adel menangis dan ucapan Soraya yang sangat menusuk.

Sesampainya di rumah ibu, seperi biasa. Mba Maya sibuk dengan ponsel dan Tv menyala di hadapannya. Aku gegas mematikan TV itu, memang tidak mahal bayar listrik. Seenaknya saja dia seperti itu, untung saja istriku tidak seboros dia.

"Loh, kamu datang-datang rusuh sih, Dan."

Mba Maya mencoba mengambil remote tv, tapi aku tarik kembali.

"Kamu kan main ponsel, untuk apa kamu nyalakan TV. Boros listrik."

"Aduh, lebai ih kamu. Loh, kok kamu ke sini, baru juga aku pulang dari rumah kamu. Kangen ya baru beberapa jam sama Mbak?"

Sial, terlalu percaya diri sekali dia.

"Mba, Soraya sudah tahu kalau aku yang membiayai sekolah Adinda. Tolong bilangin ke dia jangan pernah bicara hal yang tak perlu pada Adel. Lagi pula, kenapa sih Mba Maya harus ngasih tahu kalau aku yang membiayai sekolah dia?"

Mba Maya menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Ya harus tahu lah, biar dia tahu kalau kamu bertanggung jawab. Kan kamu ---"

"Cukup Mba. Jangan di lanjutin, itu sudah kita bahas waktu itu. Dan jangan mengulang itu lagi. Soraya marah padaku," ucapku.

Namun, seperti biasa Mba Maya tidak pernah terlihat bersalah. Dia malah sibuk bermain ponsel kembali.

"Dan, lagian perempuan kaya Soraya itu harusnya sudah di eliminasi. Dulu iya dia cantik dan wah. Tapi, sekarang coba lihat, bahkan aku yang wanita saja tidak berselera melihat dia. Apa kamu enggak risih?"

Aku sudah berulang kali bicara pada Soraya untuk lebih rapi dan merawat diri. Tapi, tetap saja daster lusuh yang dia pakai. Heran juga apa dia tidak mau mempercantik diri. Bahkan, Mbak Maya di rumah saja tampil rapi.

"Aduh kalian ini ribut terus. Apa sih yang kalian ributkan?" Ibu yang baru saja pulang dari luar pun menghampiri kami.

Aku menceritakan apa yang terjadi di rumah. Ngambeknya Adel juga marahnya Soraya. Semua karena Adinda.

"Ya sudah jangan mengaku kalau begitu. Gampang kan? Atau bilang aja jujur kalau memang kamu menanggung sekolah Adinda. Lagian salahnya di mana wong kamu itu--"

"Oke, cukup jangan di lanjutkan Bu." Aku langsung meminta ibu diam dan jangan membahasnya lagi. Bagiku ini cukup, dan jika terlalu lama di bahas mereka akan membahas ke arah yang tidak aku inginkan.

Aku menghempaskan tubuh di sofa. Keningku terasa pusing. Baru kali ini aku merasa harus memutar otak agar Soraya tak membahas lagi.

"Ya sudah, kamu sekolah kan saja Adel di sekolah Adinda." Mba Maya kembali bicara.

"Eh, May. Jangan lah, pertahun bayar daftar ulang aja sampe 5 juta kalau dua orang kan bisa 10 juta. Sayang uangnya, mending buat ibu kan, udah jangan turutin. Lagian, Adel pantes nya di sekolah biasa aja," ucap Ibu.

Aku malas menyahut, harusnya Adel mendapat fasilitas sama. Tapi, ada benarnya ucapan ibu. Satu tahun aku seperti membayar pajak dua mobil. Satu tahun saja pajak mobil bikin pusing.

"Dan, apa benar kamu nyuruh si Raya beli baju dan make up?" tanya Ibuku.

Aduh, apalagi ini. Pasti deh tidak mau kalah, aku sudah memberikan uang bulanan pada ibu, juga buat mba Maya. Belum sekolah Adel. Apa harus meminta uang lagi.

"Aku hanya tran-sfer uang yang ibu pinjam sama uang masak sebulan aja. Mana tahu dia beli itu semua dan aku enggak bilang beli baju kok." Lagi-lagi aku mencoba menetralkan suasana. Walau aku saja merasa sangat gerah.

"Alah, tapi kata Soraya kamu yang menyuruh." Kali ini ibu terus saja memojokkan aku sama saja seperti Soraya tadi.

Aku sama sekali tidak tahu apa tujuan Soraya melakukan kebohongan itu.

"Bu, demi Allah. Aku sama sekali tidak minta dia beli baju dan makeup. Ini aja aku lagi mikir, kalau dia pakai buat beli make up sama baju pasti nanti dia minta transfer lagi. Kan aku lagi nabung buat daftar ulang Adel."

Kupiji pelipis yang mulai pening. Oh, Soraya ada aja gebrakan kamu. Apa kamu mau membalas apa yang aku lakukan?

Apa? Aku tidak melakukan apa pun, ya walau membiayai sekolah Adinda.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istriku Ternyata Pewaris   Tamat Bahagia

    Bara menatap Soraya sejenak sebelum memfokuskan diri pada jalan. "Kamu sudah melangkah jauh, Ay. Aku bangga sama kamu."Soraya tersenyum tipis, hatinya terasa lebih ringan. Beban yang dulu menghimpit perlahan mulai menghilang. Bersama Bara, dia merasa bisa menjalani hidup yang baru dengan lebih bahagia."Terima kasih, Bara, untuk selalu ada," ucapnya pelan.Bara menggenggam tangan Soraya lembut. "Selalu, Ay. Sekarang fokus kita adalah masa depan—kamu, aku, dan Adel."Soraya mengangguk, yakin bahwa apa yang dia pilih saat ini adalah yang terbaik. Masa lalu sudah tertinggal, dan kini saatnya melangkah maju."Jadi, kita bulan madu ke mana?" Bara mengedipkan mata. Soraya pun tersipu malu saat di goda suaminya. "Bulan madu? Memangnya kita masih perlu bulan madu?" goda Soraya sambil tertawa kecil."Ya perlu dong, Bu Bara. Hitung-hitung refreshing. Lagipula, Adel pasti senang kalau kita liburan bareng," jawab Bara sambil menyeringai.Soraya berpikir sejenak. "Hmm, kalau gitu, ke tempat yan

  • Istriku Ternyata Pewaris   Akhir

    Bu Rasyid mengurus Dani, dia berharap sang anak akan memafkan dirinya. Di satu sisi, Dani masih belum bisa percaya dengan sang ibu.Namun, Murni terus mengingatkan Dani. Ada Adinda yang juga masih harus dia urus. Terlepas dari kebenciannya pada Maya, mungkin Dani bisa berdamai dengan keadaan. Apalagi Adinda kini sebatang kara.Di kamar yang kini terasa semakin sempit, Dani duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Kepalanya masih terasa berat oleh segala masalah yang menumpuk, sementara Bu Rasyid duduk tak jauh darinya, menatapnya dengan wajah penuh harap."Dan, Ibu cuma mau kamu bahagia. Maafin Ibu, Nak," ucap Bu Rasyid pelan, suaranya bergetar.Dani menghela napas panjang, seolah mencari kekuatan dari dalam dirinya yang sudah lama rapuh. Rasa kecewa, marah, dan lelah bergulat dalam dadanya."Memaafkan itu enggak gampang, Bu. Luka ini masih ada," jawab Dani dengan suara rendah.Bu Rasyid menunduk, merasa kata-kata Dani begitu menusuk. Murni yang berada di sana mencoba menengahi."

  • Istriku Ternyata Pewaris   Sesuatu bahagia

    Dani tertawa sinis. "Wanita pengganti Soraya? Ibu pikir semudah itu?"Bu Rasyid menghela napas, duduk di samping Dani. "Nak, hidup harus terus berjalan. Kamu nggak bisa selamanya terjebak di masa lalu."Dani menatap ibunya, matanya lelah. "Ibu sadar nggak, kalau semua ini karena keputusan ibu juga?"Bu Rasyid terdiam. Murni yang sejak tadi mendengarkan ikut bicara, "Mas, udah cukup. Berhenti nyalahin ibu. Kalau Mas benar-benar mau bangkit, mulai dari diri sendiri dulu."Dani menunduk. Entah kenapa, kali ini kata-kata Murni lebih mengena daripada biasanya.*"Sah.""Sah."Akhirnya Bara mengucapkan ijab kabul, pernikahan mereka sudah sah. Soeaya sudah menjadi istri dari Bara. Soraya menundukkan kepala, menahan haru. Air matanya hampir jatuh, tapi bukan karena kesedihan—melainkan rasa lega. Setelah bertahun-tahun melewati luka, akhirnya dia menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya dengan tulus.Bara menoleh ke arahnya, tersenyum penuh arti. Soraya balas tersenyum, hatinya mengh

  • Istriku Ternyata Pewaris   Penyesalan sang ibu

    Sebulan cukup untuk mempersiapkan pernikahan untuk Soraya. Dia tidak meminta mewah, tapi baginya sah saja sudah cukup dan dia mau pernikahan keduanya awal dari kebahagiaan yang tertunda. Di satu sisi lain, Dani kini sedang berada di rumah sakit. Pria itu over dosis obat karena beban yang terlalu banyak dia merasa pusing dan akhirnya berlebihan mengkonsumsi obat. "Mas, harus sembuh. Mas masih punya masa depan kok." Murni mencoba menyemangati sang kakak. Dani masih sangat lemas, "Enggak, Mur. Masa depan Mas hanya pada Soraya dan Adel." Tatapannya hampa dan penuh penyesalan. Murni pun sudah mengerti mungkin sang kakak sudah mengetahui kabar tentang pernikahan mantan istrinya yang akan segera di gelar. Murni menghela napas berat. "Mas, hidup nggak berhenti di Soraya dan Adel. Mas harus bangkit. Kalau Mas terus begini, Mas nggak akan pernah bisa memperbaiki hidup."Dani tertawa miris. "Bangkit buat apa? Soraya udah bahagia, Adel juga pasti udah nyaman sama Bara. Aku cuma bayang-bayang

  • Istriku Ternyata Pewaris   Percaya kamu

    Ruangan tiba-tiba sunyi.Bu Rasyid menelan ludah, hatinya nyeri melihat putranya yang seperti ini. "Dani, Ibu enggak mau lihat kamu terpuruk. Bangkit, Nak. Kalau kamu enggak mau buat dirimu sendiri, setidaknya buat Adinda."Dani terdiam, bibirnya menegang. Hatinya ingin membantah, tapi entah kenapa, rasa lelah yang lebih mendominasi."Stoplah, Bu. Adinda itu enggak buat aku semangat. Yang buat aku semangat itu Adel anak kandungku!""Dan, Adinda anak kandung kamu. Jangan kaya gitu," protes Maya. "Iya, anak haram!"Sebuah tamparan mengenai pipi Dani. "Lagi tampar Mbak. Puas Mba sekarang dah buat hidup aku hancur!" Teriakan Dani membuat Maya takut. Bu Rasyid pun mencoba menenangkan Dani. Sementata itu sepertinya Maya mengurungkan niat awal saat dia datangnya.Soraya mempersiapkan untuk makan malam bersama di rumahnya. . Dia mengundang Bara karena ucapan terimakasih kasih sekaligus ingin membahas sesuatu dengannya. Soraya akan menjawab pertanyaan Bara apa mau menjalanj masa dengan deng

  • Istriku Ternyata Pewaris   Akhirnya bahagia

    "Kamu lihat kam Dan, siapa yang duluan move on? Lihat, Soraya bersama pria makan malam di restoran."Dani menarik napas saat membaca pesan masuk dan melihat gambar foto Soraya dan Bara yang sedang makam malam. Dadanya kembali terbakar saat melihat keduanya sangat akrab setelah siang tadi dirinya juga merasakan hawa panas yang menjalar keseluruh tubuh.Dani menggenggam ponselnya erat. Matanya menatap foto itu lekat-lekat, seolah mencari celah bahwa ini hanya kebetulan, hanya pertemuan biasa. Tapi nyatanya, senyum Soraya terlalu lepas, terlalu bahagia. Dan Bara… pria itu jelas bukan sekadar teman.Rahangnya mengatup, dadanya terasa sesak. "Cepat banget dia move on," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Pikirannya berkelindan. Siang tadi, melihat Soraya di kantor sudah cukup menyakitkan. Tapi kini, melihatnya makan malam bersama Bara—seakan dunia menamparnya dua kali dalam sehari.Ponselnya kembali bergetar."Kamu diam aja, Dan? Atau masih berharap bisa balikan? Lihat kenyataan, dia u

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status