Aku meremas ujung bajuku, mencoba tetap tenang meskipun Soraya berdiri di hadapanku dengan tatapan penuh selidik. Sebisa mungkin aku harus bisa tenang dan tidak terpancing.
"Ini enggak sama k@ya yang Adinda katakan, Ya," Aku mencoba menetralisir keadaan yang menv-suk ruang antara kami seperti pisau yang siap menguliti kebohongan. Aku menelan ludah. Lagi-lagi dihadapkan pada posisi seperti ini. Aya mulai membangkang, bahkan mulai bisa mengintrogasiku. Padahal dia istri penurut dan tidak banyak meminta. Tapi, kali ini sepertinya dia berubah. "Anak kecil tidak mungkin berbohong kan?" lanjutnya. "Jadi, selama ini biaya sekolah keponakan tercinta itu yang biayain Kamu Mas?" D@rahku berdesir, tubuhku menegang. Aku harus tetap tenang walau di gempur dengan pertanyaan yang mendesak. "Enggak, Ya. Mbak Maya membiayai sekolah anaknya sendiri, atau mungkin Ibu yang ngasih buat sekolah Adinda," jawabku sekenanya, berharap ini cukup untuk mengalihkan pembicaraan. Soraya mendengus, melipat tangan di dadanya. "Mas, kamu lupa? Setiap bulan aja Ibu menunggu jatah bulanan dari kamu." Aku mengatupkan rahang. Soraya melangkah mendekat, suaranya semakin tajam. "Mbak Maya enggak kerja, Murni adikmu baru saja menikah dan mungkin enggak ngasih bulanan ke Ibu karena sudah enggak kerja. Lalu, dari mana Mbak Maya buat bayar sekolah Adel?" Aku membuang napas, berpikir keras. Jawaban harus cepat, kuat, masuk akal. Tapi sebelum aku sempat bicara, Soraya sudah melanjutkan— "Kecuali—" Aku menatapnya. "Kecuali apa?" Soraya mengangkat satu alis. Bibirnya sedikit melengkung ke samping, bukan dalam senyum, tapi ekspresi puas karena sudah memojokkanku. "Kecuali Mbak Maya punya suami diam-diam atau—jadi ani-ani." Jantungku seperti berhenti sejenak. Aku menegang, tapi bukan karena perkataan Soraya saja. Dari sudut mata, aku bisa melihat Adel berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat. Anakku terlihat takut melihat aku dan ibunya berdebat. Aku menatapnya, hatiku mencelos. Soraya tersenyum tipis. "Enggak bisa jawab kan? Bahkan kamu sibuk mencari alasan bukan?" Tanganku mengepal. Aku tak bisa membiarkan ini. "Jangan asal ngomong, Ya," suaraku keluar lebih rendah dari yang kuinginkan. "Mbak Maya enggak seperti itu." Soraya mengangkat bahu. "Lalu, dari mana uangnya?" Aku terdiam. Aku menunduk, mencoba mencari kata-kata. Tapi rasanya semua alasan yang kususun dalam kepala hancur begitu saja. Soraya mendengus. "Lihat, Mas. Sejak awal aku enggak perlu bukti. Kebenaran udah ada di depan mata." Aku mengepalkan tangan, merasa dunia tiba-tiba terlalu sempit. Aku tertangkap basah—dan tak ada cara untuk keluar dari ini tanpa luka. "Kamu enggak mau mengaku ya sudah. Tapi, aku tidak terima jika memang benar selama ini uang pangkal dan bulanan Adinda kamu yang bayar. Bahkan, mungkin perawatan wajah dan baju mewah Kakak kamu," ujar Soraya semakin menyudutkan aku. Soraya masih menatap aku dengan sedikit senyum tipis. "Satu hal lagi Mas. Aku tidak mempermasalahkan jika anakku sekolah di sekolah negri, sama kok bagusnya dengan swasta. Tapi, aku tidak terima jika kamu sanggup bayar sekolah keponakan kamu tapi anak kamu tidak! Paham sampai sini?" Soraya menggandeng Adel melangkah masuk ke kamar. Entah apa yang terjadi di dalam, aku harus bicara sama Mba Maya. Harusnya ini semua tidak terbongkar secepat ini. Sial sekali! *** Aku memacu mobil cepat ke rumah Ibu. Ingin cepat bicara hal ini pada Mba Maya, rasanya emosi mendengar Adel menangis dan ucapan Soraya yang sangat menusuk. Sesampainya di rumah ibu, seperi biasa. Mba Maya sibuk dengan ponsel dan Tv menyala di hadapannya. Aku gegas mematikan TV itu, memang tidak mahal bayar listrik. Seenaknya saja dia seperti itu, untung saja istriku tidak seboros dia. "Loh, kamu datang-datang rusuh sih, Dan." Mba Maya mencoba mengambil remote tv, tapi aku tarik kembali. "Kamu kan main ponsel, untuk apa kamu nyalakan TV. Boros listrik." "Aduh, lebai ih kamu. Loh, kok kamu ke sini, baru juga aku pulang dari rumah kamu. Kangen ya baru beberapa jam sama Mbak?" Sial, terlalu percaya diri sekali dia. "Mba, Soraya sudah tahu kalau aku yang membiayai sekolah Adinda. Tolong bilangin ke dia jangan pernah bicara hal yang tak perlu pada Adel. Lagi pula, kenapa sih Mba Maya harus ngasih tahu kalau aku yang membiayai sekolah dia?" Mba Maya menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Ya harus tahu lah, biar dia tahu kalau kamu bertanggung jawab. Kan kamu ---" "Cukup Mba. Jangan di lanjutin, itu sudah kita bahas waktu itu. Dan jangan mengulang itu lagi. Soraya marah padaku," ucapku. Namun, seperti biasa Mba Maya tidak pernah terlihat bersalah. Dia malah sibuk bermain ponsel kembali. "Dan, lagian perempuan kaya Soraya itu harusnya sudah di eliminasi. Dulu iya dia cantik dan wah. Tapi, sekarang coba lihat, bahkan aku yang wanita saja tidak berselera melihat dia. Apa kamu enggak risih?" Aku sudah berulang kali bicara pada Soraya untuk lebih rapi dan merawat diri. Tapi, tetap saja daster lusuh yang dia pakai. Heran juga apa dia tidak mau mempercantik diri. Bahkan, Mbak Maya di rumah saja tampil rapi. "Aduh kalian ini ribut terus. Apa sih yang kalian ributkan?" Ibu yang baru saja pulang dari luar pun menghampiri kami. Aku menceritakan apa yang terjadi di rumah. Ngambeknya Adel juga marahnya Soraya. Semua karena Adinda. "Ya sudah jangan mengaku kalau begitu. Gampang kan? Atau bilang aja jujur kalau memang kamu menanggung sekolah Adinda. Lagian salahnya di mana wong kamu itu--" "Oke, cukup jangan di lanjutkan Bu." Aku langsung meminta ibu diam dan jangan membahasnya lagi. Bagiku ini cukup, dan jika terlalu lama di bahas mereka akan membahas ke arah yang tidak aku inginkan. Aku menghempaskan tubuh di sofa. Keningku terasa pusing. Baru kali ini aku merasa harus memutar otak agar Soraya tak membahas lagi. "Ya sudah, kamu sekolah kan saja Adel di sekolah Adinda." Mba Maya kembali bicara. "Eh, May. Jangan lah, pertahun bayar daftar ulang aja sampe 5 juta kalau dua orang kan bisa 10 juta. Sayang uangnya, mending buat ibu kan, udah jangan turutin. Lagian, Adel pantes nya di sekolah biasa aja," ucap Ibu. Aku malas menyahut, harusnya Adel mendapat fasilitas sama. Tapi, ada benarnya ucapan ibu. Satu tahun aku seperti membayar pajak dua mobil. Satu tahun saja pajak mobil bikin pusing. "Dan, apa benar kamu nyuruh si Raya beli baju dan make up?" tanya Ibuku. Aduh, apalagi ini. Pasti deh tidak mau kalah, aku sudah memberikan uang bulanan pada ibu, juga buat mba Maya. Belum sekolah Adel. Apa harus meminta uang lagi. "Aku hanya tran-sfer uang yang ibu pinjam sama uang masak sebulan aja. Mana tahu dia beli itu semua dan aku enggak bilang beli baju kok." Lagi-lagi aku mencoba menetralkan suasana. Walau aku saja merasa sangat gerah. "Alah, tapi kata Soraya kamu yang menyuruh." Kali ini ibu terus saja memojokkan aku sama saja seperti Soraya tadi. Aku sama sekali tidak tahu apa tujuan Soraya melakukan kebohongan itu. "Bu, demi Allah. Aku sama sekali tidak minta dia beli baju dan makeup. Ini aja aku lagi mikir, kalau dia pakai buat beli make up sama baju pasti nanti dia minta transfer lagi. Kan aku lagi nabung buat daftar ulang Adel." Kupiji pelipis yang mulai pening. Oh, Soraya ada aja gebrakan kamu. Apa kamu mau membalas apa yang aku lakukan? Apa? Aku tidak melakukan apa pun, ya walau membiayai sekolah Adinda. ***Seno hanya tersenyum tipis, sorot matanya penuh arti. "Tunggu saja, Aya. Dani akan tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang berharga."*"Apa semua sengaja du atur Mas Seno supaya aku bertemu Dani lagi?" tanya Aya pada Satya. "Bisa jadi, Seno itu tidak akan berhenti membuat kejutan untuk calon mantan suami kamu. Walau, aku rasa kamu sudah muak bertemu dengan dia lagi. Tuh, lihat mukanya sudah asem. Bisa bayangin kan dia enggak akan fokus nanti," ucap Satya. Yang di katakan Satya benar, baru saja kemarin bertemu dengan Soraya bersama Bara saja Dani sudah kacau. Apalagi sekarang dirinya bersama dengan Satya yang di kenal adalah adik dari Seno. Gebrakan apa lagi ini, pikir Dani dengan menelan ludah. Kali ini dirinya tidak begitu sulit bergerak karena tidak ada Vira. Jadi, dia memutuskan untuk berbicara dengan Soraya sebelum masuk ke dalam ruangan meeting. "Masih ada waktu 30 menit."Dani menghampiri Aya yang sedang sendiri, Satya izin untuk ke WC. "Nomor aku kamu blokir, sekar
Setelah mengirim pesan pada Aya, Dani pun merebahkan tubuh di kasur. Hatinya nya galau, kecemasan muncul saat itu apalagi mengingat Pandangan Soraya pada Bara. Tatapan mata itu yang selama ini hanya melirik dirinya, kini beralih menatap intes pria lain."Apa selama ini aku terlalu sibuk memikirkan bagaimana caranya mencari uang untuk menutup mulut Mba Maya juga ibu tentang kekhilafan aku malam itu sampai lupa dengan Soraya juga kewajiban aku? Apa benar aku Ayah yang tak bertanggung jawab?" Dani menjambak rambutnya sendiri. Lalu bangkit berjalan bolak balik dengan tangang yang gementar cemas. "Ini tidak bisa terjadi. Kenapa sebaliknya malah Aya yang menggugat perceraian?" Dani menghela napas berat. Dulu, dia pikir bisa mengendalikan segalanya. Dia pikir Soraya akan selalu ada, menunggunya, bertahan meski dia mengabaikannya. Tapi sekarang? Soraya bahkan tidak menoleh lagi ke arahnya. Tatapan yang dulu hanya miliknya kini beralih ke pria lain—Bara."Apa selama ini aku yang terlalu bodo
Soraya tersenyum tipis, menuangkan teh ke cangkirnya. "Sudah kuduga Mas akan bertanya seperti itu. Dani memang memilih jalan yang lebih menguntungkan untuknya. Aku? Aku hanya kesalahan dalam perjalanan hidupnya."Satya mendecakkan lidah. "Brengsek juga laki-laki itu. Kalau saja aku tahu lebih awal, sudah kuhabisi dia dari dulu!"Seno mengangkat tangan, memberi isyarat agar Satya menenangkan diri. "Tenang. Tidak perlu pakai emosi. Kita bisa menghancurkannya dengan cara yang lebih cerdas."Soraya menatap kakaknya dengan penasaran. "Maksud Mas?"Seno tersenyum miring. "Kita lihat saja nanti. Aku sudah punya rencana."Soraya menghela napas, menatap kedua kakaknya dengan penuh kepercayaan. Apapun yang akan terjadi, dia tahu satu hal pasti—kali ini, dia tidak akan menghadapi semuanya sendirian."Apa rencana dari Mas Seno untuk membalas Dani?" tanya Soraya. Seno menyesap tehnya dengan tenang, tatapannya tajam ke arah Soraya dan Satya. "Aku tidak akan gegabah. Dani itu serakah, tapi bodoh. D
Sepanjang pertemuan Dani tidak bisa fokus. Pandangannya terus tertuju pada Soraya. Bagaimana bisa, wanita itu yang belum resmi menjadi mantan istrinya sudah datang bersama dengan pria lain. Dan sejak kapan Soraya pintar berbicara juga tentang per bisnisan? Selama ini Dani hanya tahu Soraya hanya bisa di dapur dan sama sekali buta tentang pekerjaan yang digelutinya. Soraya tersenyum tipis, dia mentertawakan Dani dalam hati. Baru permulaan saja dia sudah masuk dalam permainan. Apalagi jika dia tahu dirinya adalah salah satu dari anggota keluarga Seno. Bisa mati berdiri bukan?Soraya melirik sekilas ke arah Dani, senyum kecil tersungging di sudut bibirnya. Dia bisa melihat bagaimana ekspresi pria itu berubah-ubah—antara kesal, bingung, dan mungkin sedikit terkejut.Bara yang duduk di sebelahnya ikut memperhatikan Dani yang tampak gelisah. Dia mendekat sedikit dan berbisik, "Sepertinya ada yang tidak bisa menerima kenyataan kalau istrinya bukan ibu rumah tangga biasa."Soraya tertawa pe
Dani menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Dia harus profesional. Ini adalah kesempatan besar baginya.Seno bangkit dari tempat duduknya, menyambut Pak Darmawan dengan jabatan tangan hangat. "Pak Darmawan, silakan duduk."Pak Darmawan tersenyum. "Terima kasih, Pak Seno. Saya sudah mendengar banyak tentang perusahaan Anda."Seno melirik sekilas ke arah Dani, lalu kembali tersenyum tipis. "Semoga semuanya berjalan lancar."Dani mengambil tempat duduk di samping Vira, tetapi pikirannya masih saja terganggu. Matanya sesekali melirik ke arah Soraya dan Bara, yang terlihat begitu akrab. Bara bersandar santai, berbicara dengan tenang, sementara Soraya tertawa kecil menanggapi.Dani mengepalkan tangan di bawah meja. Bara… siapa pria itu baginya? Sejak kapan mereka dekat?Soraya menyadari tatapan Dani, tetapi dia pura-pura tak peduli. Dia justru semakin menampilkan sikap santainya, berbicara dengan Bara tanpa beban."Apa kita mulai?" suara Seno menarik perhatian semua orang di rua
Dani yang sedang berbincang dengan Pak Darmawan tiba-tiba menghentikan ucapannya begitu matanya menangkap sosok Soraya di lobi kantor Seno. Langkahnya refleks melambat, napasnya terasa sedikit lebih berat.Soraya, dengan senyum tipis dan wajah tenang, berjalan berdampingan dengan Bara. Tidak ada raut kesedihan atau kemarahan seperti terakhir kali mereka bertemu. Dia tampak anggun, lebih berkelas, dan lebih… bebas.Vira yang berdiri di samping Dani ikut menoleh, mengikuti arah pandangan Dani. Begitu melihat Soraya, rahangnya langsung mengatup."Kenapa dia ada di sini?" gumam Vira pelan, cukup untuk didengar Dani.Pak Darmawan, yang menyadari perubahan suasana, mengernyit. "Kalian kenal wanita itu?" tanyanya.Dani mengalihkan tatapannya dengan cepat. "Bukan urusan penting, Pak."Sementara itu, Bara menoleh ke arah Soraya yang masih berdiri tegak. "Kamu mau lanjut atau ingin pergi?" tanyanya dengan nada tenang, meskipun dia bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara.Soraya meng