Pertengkaran semalam masih menyisakan rasa jengkel di hati ini. Aku masih sangat tidak mood dengan Soraya dan sengaja pindah tidur di kamar tamu. Walau pun dia terlihat lebih baik, ya mana bisa membuat mood aku baik lagi setelah dia menghina keluargaku. Apalagi kata-katanya tentang Mba Maya.
Tidak seperti biasa, pagi ini tidak terdengar suara nyaring penggorengan dan harum masakan. Apa dia belum bangun? Tapi, x dia masih tidur. Sengaja aku ke kamar utama untuk memastikan apa Soraya masih tidur apa tidak. Namun, saat aku lihat hanya Adel yang masih tertidur. Jarum jam menunjukkan pukul 06.00, kemana Soraya? Loh, ada suara apa itu? Dari ruang tamu. Gegas aku melangkah ke ruang tamu. Aku berdiri di ambang pintu ruang tamu, masih belum sepenuhnya sadar dengan apa yang kulihat. Soraya, dengan kaus longgar dan celana olahraga, tengah mengikuti gerakan instruktur senam dari layar ponsel yang disandarkan ke dinding. Biasanya, pagi begini dia sudah ada di dapur, menyiapkan sarapan atau membangunkan Adel. Tapi sekarang? "Sejak kapan kamu rajin olahraga pagi?" tanyaku, masih heran. Soraya hanya tersenyum sambil mengangkat tangannya ke atas, meregangkan tubuhnya. "Baru tadi kepikiran. Lagipula, bagus kan buat kesehatan?" Aku mengerutkan kening. "Tapi, sarapan?" Dia menghentikan gerakannya sejenak, menatapku dengan ekspresi santai. "Mas bisa bikin sendiri, kan?" Aku terdiam. Biasanya dia akan langsung melesat ke dapur jika aku menyebut soal sarapan. Tapi kali ini… berbeda. "Kenapa sih, Ay?" Aku mencoba membaca raut wajahnya. Soraya hanya terkekeh pelan, lalu kembali fokus pada senamnya. "Nggak kenapa-kenapa, Mas. Aku cuma lagi ingin melakukan sesuatu buat diriku sendiri." Aku tidak tahu kenapa, tapi jawaban itu membuat aku jengkel. Kenapa ada apa dan mengapa dia menjadi seperti bukan Soraya. "Ay, kamu kenapa sih? Ini masih pagi loh, jangan buat aku sakit kepala." Aku memijat pelipis yang mulai pening kembali karena ulah Soraya. "Iya, ini memang masih pagi. Memang kenapa?" "Kamu tanya kenapa?" "Iya." "Ay, buatkan aku sarapan. Aku mau kerja, kamu paham enggak?" Soraya menghentikan gerakannya, lalu menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Dia tidak langsung menjawab, hanya menghela napas perlahan seolah menimbang sesuatu di kepalanya. "Kamu mau sarapan apa?" tanyanya akhirnya, suaranya datar. "Ya terserah, seperti biasa aja," jawabku cepat. Soraya mengangguk kecil, lalu berjalan melewatiku menuju dapur. Aku mengembuskan napas lega, berpikir dia akhirnya menurut. Tapi baru beberapa langkah, dia berhenti dan berbalik menatapku. "Oh ya, Mas," katanya dengan senyum tipis. "Mulai besok, kayaknya kamu harus belajar bikin sarapan sendiri." Aku mengernyit. "Maksud kamu?" Dia mengangkat bahu ringan. "Aku mau fokus ke hal lain. Aku juga mau mulai kerja lagi, jadi nggak bisa selalu masakin kamu tiap pagi." Jantungku berdegup lebih cepat. "Kerja? Kerja di mana?" Soraya tersenyum kecil, lalu tanpa menjawab, dia melanjutkan langkahnya ke dapur. Aku terpaku di tempat. Rasanya seperti ada sesuatu yang perlahan berubah di rumah ini, di antara kami. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak tahu harus berkata apa. ** "Mas, Adel demam," ujar Soraya. Dia datang menggendong Adel. Baru saja aku mau tenang sarapan, sudah di buat tidak mood. "Kasih obat demam lah. Bagaimana sih?" "Ini sudah dua hari. Panasnya naik turun," ucap Soraya. "Tadi saat aku bangun cek sudah tidak demam. Tapi setelah aku masuk kamar tadi ternyata dia demam lagi. Bisa antar aku ke dokter?" "Aku sibuk ada meeting, kamu bawa ke puskesmas saja. Sayang BPJS enggak di pake. Kan sudah di bayar dari kantor." Loh, kok Soraya tidak menjawab apa pun. Apa yang salah dari ucapanku. Benarkan kalau sakit ya ke puskesmas aja. Ke dokter "Aku sibuk ada meeting, kamu bawa ke puskesmas saja. Sayang BPJS enggak di pake. Kan sudah di bayar dari kantor." Loh, kok Soraya tidak menjawab apa pun. Apa yang salah dari ucapanku. Benarkan kalau sakit ya ke puskesmas aja. Ke dokter anak mahal, pernah beberapa waktu lalu Adel sakit, ke rumah sakit dan bill pembayaran sebesar 800.000. Biaya dokter aja 250.000 dan sisanya obat. Heran kok ya mahal amat. mahal, pernah beberapa waktu lalu Adel sakit, ke rumah sakit dan bill pembayaran sebesar 800.000. Biaya dokter aja 250.000 dan sisanya obat. Heran kok ya mahal amat. "Kenapa kamu diam saja?" tanyaku heran. "Mas, penghasilan kamu itu besar loh. Menurut aku, kamu cukup diandalkan untuk ke dokter anak. Ini sudah lebih dari 3 hari demamnya. Mungkin Adel butuh cek darah." Lagi, Aya menjelaskan. "Iya sudah ke puskesmas minta tujukan ke Rumah sakit. Aku tahu penghasilan aku cukup, tapi buat apa ada BPJS kalau kita enggak pakai berobat? Apa aku salah bicara?" Ku teguk minuman lalu kembali melanjutkan makan. "Ini urgent dan kamu masih mikir pakai BPJS? Aku bisa Terima kalau kita orang tidak mampu, tapi bagi aku itu sudah di luar nalar. Buat anak perhitungan amat sih Mas. Enggak punya empati!" Aya berbalik badan dan masuk ke kamar dengan suara pintu yang terbanting. Ada aja si kelakuan istriku. Penghasilan akh memang besar, tapi bukan untuk di gunakan sesuatu yang sangat mahal. Apalagi ke dokter anak yang harganya lumayan menguras dompet. Belum lagi tes darah total, bisa-bisa aku mengeluarkan uang banyak. "Ay, aku jalan ya. Sudah telat nih." Tidak ada jawaban, paling nanti juga baik lagi. Adel pun mungkin setelah minum obat demam akan kembali sehat. ** Aku baru saja tiba di kantor, belum sempat melangkah masuk ke ruangan ketika ponselku bergetar di saku. Aku menghela napas, bersiap menghadapi telepon pagi-pagi begini. Tapi begitu melihat nama Mbak Maya di layar, perasaan tidak enak langsung muncul. "Hallo, Mbak?" Suara tangis di seberang membuat jantungku mencelos. "Adinda, Dan… Adinda kecelakaan!" Dunia seolah berhenti berputar sejenak. "Apa? Maksud Mbak apa?" "Dia… dia tertabrak motor waktu nyebrang di sekolahnya. Sekarang dibawa ke rumah sakit. Dan, cepat ke sini!" Astaga… apa lagi ini? Tanpa pikir panjang, aku buru-buru masuk ke ruanganku, mencari Irma, sekretarisku. "Irma, tolong atur ulang semua janji hari ini. Aku harus ke rumah sakit Ada ada saja, kenapa bisa sih Mbak Maya ceroboh menjaga Adinda. Aku sungguh-sungguh cemas dengan keadaan Adinda. Kupacu mobil dengan kecepatan tinggi agar sampai lebih cepat. Sesampainya di RS, aku langsung menghampiri Mba Maya dan Ibu. Ibu memeluk aku sembari menangis. "Dan, Adinda sudah ditangani Dokter. Tapi ada satu masalah," ujar Mbak Maya. "Apa?" "Mba belum urus administrasi, karena itu Adinda belum dapat kamar dan katanya kekurangan darah juga. Jadi, tadi ada tambahan biaya beli darah dan mungkin kamu bisa cek darah kali aja bisa donor," kata Mbak Maya. Bukan masalah donor d@rah, tapi ini keselamatan Adinda. Gegas bersama Mba Maya aku ke administrasi untuk mengurus supaya cepat ada tindakan tambahan dari dokter. "Mas, Mas Dani!" Aku menoleh ke sumber suara. Ternyata Soraya bersama Adel, sedang apa mereka di sini? ***Bara menatap Soraya sejenak sebelum memfokuskan diri pada jalan. "Kamu sudah melangkah jauh, Ay. Aku bangga sama kamu."Soraya tersenyum tipis, hatinya terasa lebih ringan. Beban yang dulu menghimpit perlahan mulai menghilang. Bersama Bara, dia merasa bisa menjalani hidup yang baru dengan lebih bahagia."Terima kasih, Bara, untuk selalu ada," ucapnya pelan.Bara menggenggam tangan Soraya lembut. "Selalu, Ay. Sekarang fokus kita adalah masa depan—kamu, aku, dan Adel."Soraya mengangguk, yakin bahwa apa yang dia pilih saat ini adalah yang terbaik. Masa lalu sudah tertinggal, dan kini saatnya melangkah maju."Jadi, kita bulan madu ke mana?" Bara mengedipkan mata. Soraya pun tersipu malu saat di goda suaminya. "Bulan madu? Memangnya kita masih perlu bulan madu?" goda Soraya sambil tertawa kecil."Ya perlu dong, Bu Bara. Hitung-hitung refreshing. Lagipula, Adel pasti senang kalau kita liburan bareng," jawab Bara sambil menyeringai.Soraya berpikir sejenak. "Hmm, kalau gitu, ke tempat yan
Bu Rasyid mengurus Dani, dia berharap sang anak akan memafkan dirinya. Di satu sisi, Dani masih belum bisa percaya dengan sang ibu.Namun, Murni terus mengingatkan Dani. Ada Adinda yang juga masih harus dia urus. Terlepas dari kebenciannya pada Maya, mungkin Dani bisa berdamai dengan keadaan. Apalagi Adinda kini sebatang kara.Di kamar yang kini terasa semakin sempit, Dani duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Kepalanya masih terasa berat oleh segala masalah yang menumpuk, sementara Bu Rasyid duduk tak jauh darinya, menatapnya dengan wajah penuh harap."Dan, Ibu cuma mau kamu bahagia. Maafin Ibu, Nak," ucap Bu Rasyid pelan, suaranya bergetar.Dani menghela napas panjang, seolah mencari kekuatan dari dalam dirinya yang sudah lama rapuh. Rasa kecewa, marah, dan lelah bergulat dalam dadanya."Memaafkan itu enggak gampang, Bu. Luka ini masih ada," jawab Dani dengan suara rendah.Bu Rasyid menunduk, merasa kata-kata Dani begitu menusuk. Murni yang berada di sana mencoba menengahi."
Dani tertawa sinis. "Wanita pengganti Soraya? Ibu pikir semudah itu?"Bu Rasyid menghela napas, duduk di samping Dani. "Nak, hidup harus terus berjalan. Kamu nggak bisa selamanya terjebak di masa lalu."Dani menatap ibunya, matanya lelah. "Ibu sadar nggak, kalau semua ini karena keputusan ibu juga?"Bu Rasyid terdiam. Murni yang sejak tadi mendengarkan ikut bicara, "Mas, udah cukup. Berhenti nyalahin ibu. Kalau Mas benar-benar mau bangkit, mulai dari diri sendiri dulu."Dani menunduk. Entah kenapa, kali ini kata-kata Murni lebih mengena daripada biasanya.*"Sah.""Sah."Akhirnya Bara mengucapkan ijab kabul, pernikahan mereka sudah sah. Soeaya sudah menjadi istri dari Bara. Soraya menundukkan kepala, menahan haru. Air matanya hampir jatuh, tapi bukan karena kesedihan—melainkan rasa lega. Setelah bertahun-tahun melewati luka, akhirnya dia menemukan seseorang yang benar-benar mencintainya dengan tulus.Bara menoleh ke arahnya, tersenyum penuh arti. Soraya balas tersenyum, hatinya mengh
Sebulan cukup untuk mempersiapkan pernikahan untuk Soraya. Dia tidak meminta mewah, tapi baginya sah saja sudah cukup dan dia mau pernikahan keduanya awal dari kebahagiaan yang tertunda. Di satu sisi lain, Dani kini sedang berada di rumah sakit. Pria itu over dosis obat karena beban yang terlalu banyak dia merasa pusing dan akhirnya berlebihan mengkonsumsi obat. "Mas, harus sembuh. Mas masih punya masa depan kok." Murni mencoba menyemangati sang kakak. Dani masih sangat lemas, "Enggak, Mur. Masa depan Mas hanya pada Soraya dan Adel." Tatapannya hampa dan penuh penyesalan. Murni pun sudah mengerti mungkin sang kakak sudah mengetahui kabar tentang pernikahan mantan istrinya yang akan segera di gelar. Murni menghela napas berat. "Mas, hidup nggak berhenti di Soraya dan Adel. Mas harus bangkit. Kalau Mas terus begini, Mas nggak akan pernah bisa memperbaiki hidup."Dani tertawa miris. "Bangkit buat apa? Soraya udah bahagia, Adel juga pasti udah nyaman sama Bara. Aku cuma bayang-bayang
Ruangan tiba-tiba sunyi.Bu Rasyid menelan ludah, hatinya nyeri melihat putranya yang seperti ini. "Dani, Ibu enggak mau lihat kamu terpuruk. Bangkit, Nak. Kalau kamu enggak mau buat dirimu sendiri, setidaknya buat Adinda."Dani terdiam, bibirnya menegang. Hatinya ingin membantah, tapi entah kenapa, rasa lelah yang lebih mendominasi."Stoplah, Bu. Adinda itu enggak buat aku semangat. Yang buat aku semangat itu Adel anak kandungku!""Dan, Adinda anak kandung kamu. Jangan kaya gitu," protes Maya. "Iya, anak haram!"Sebuah tamparan mengenai pipi Dani. "Lagi tampar Mbak. Puas Mba sekarang dah buat hidup aku hancur!" Teriakan Dani membuat Maya takut. Bu Rasyid pun mencoba menenangkan Dani. Sementata itu sepertinya Maya mengurungkan niat awal saat dia datangnya.Soraya mempersiapkan untuk makan malam bersama di rumahnya. . Dia mengundang Bara karena ucapan terimakasih kasih sekaligus ingin membahas sesuatu dengannya. Soraya akan menjawab pertanyaan Bara apa mau menjalanj masa dengan deng
"Kamu lihat kam Dan, siapa yang duluan move on? Lihat, Soraya bersama pria makan malam di restoran."Dani menarik napas saat membaca pesan masuk dan melihat gambar foto Soraya dan Bara yang sedang makam malam. Dadanya kembali terbakar saat melihat keduanya sangat akrab setelah siang tadi dirinya juga merasakan hawa panas yang menjalar keseluruh tubuh.Dani menggenggam ponselnya erat. Matanya menatap foto itu lekat-lekat, seolah mencari celah bahwa ini hanya kebetulan, hanya pertemuan biasa. Tapi nyatanya, senyum Soraya terlalu lepas, terlalu bahagia. Dan Bara… pria itu jelas bukan sekadar teman.Rahangnya mengatup, dadanya terasa sesak. "Cepat banget dia move on," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Pikirannya berkelindan. Siang tadi, melihat Soraya di kantor sudah cukup menyakitkan. Tapi kini, melihatnya makan malam bersama Bara—seakan dunia menamparnya dua kali dalam sehari.Ponselnya kembali bergetar."Kamu diam aja, Dan? Atau masih berharap bisa balikan? Lihat kenyataan, dia u