Share

Suami Pilih Kasih

Author: Galuh Arum
last update Last Updated: 2025-06-18 13:58:57

Pertengkaran semalam masih menyisakan rasa jengkel di hati ini. Aku masih sangat tidak mood dengan Soraya dan sengaja pindah tidur di kamar tamu. Walau pun dia terlihat lebih baik, ya mana bisa membuat mood aku baik lagi setelah dia menghina keluargaku. Apalagi kata-katanya tentang Mba Maya.

Tidak seperti biasa, pagi ini tidak terdengar suara nyaring penggorengan dan harum masakan. Apa dia belum bangun? Tapi, x dia masih tidur.

Sengaja aku ke kamar utama untuk memastikan apa Soraya masih tidur apa tidak. Namun, saat aku lihat hanya Adel yang masih tertidur. Jarum jam menunjukkan pukul 06.00, kemana Soraya?

Loh, ada suara apa itu? Dari ruang tamu. Gegas aku melangkah ke ruang tamu.

Aku berdiri di ambang pintu ruang tamu, masih belum sepenuhnya sadar dengan apa yang kulihat. Soraya, dengan kaus longgar dan celana olahraga, tengah mengikuti gerakan instruktur senam dari layar ponsel yang disandarkan ke dinding.

Biasanya, pagi begini dia sudah ada di dapur, menyiapkan sarapan atau membangunkan Adel. Tapi sekarang?

"Sejak kapan kamu rajin olahraga pagi?" tanyaku, masih heran.

Soraya hanya tersenyum sambil mengangkat tangannya ke atas, meregangkan tubuhnya. "Baru tadi kepikiran. Lagipula, bagus kan buat kesehatan?"

Aku mengerutkan kening. "Tapi, sarapan?"

Dia menghentikan gerakannya sejenak, menatapku dengan ekspresi santai. "Mas bisa bikin sendiri, kan?"

Aku terdiam. Biasanya dia akan langsung melesat ke dapur jika aku menyebut soal sarapan. Tapi kali ini… berbeda.

"Kenapa sih, Ay?" Aku mencoba membaca raut wajahnya.

Soraya hanya terkekeh pelan, lalu kembali fokus pada senamnya. "Nggak kenapa-kenapa, Mas. Aku cuma lagi ingin melakukan sesuatu buat diriku sendiri."

Aku tidak tahu kenapa, tapi jawaban itu membuat aku jengkel. Kenapa ada apa dan mengapa dia menjadi seperti bukan Soraya.

"Ay, kamu kenapa sih? Ini masih pagi loh, jangan buat aku sakit kepala." Aku memijat pelipis yang mulai pening kembali karena ulah Soraya.

"Iya, ini memang masih pagi. Memang kenapa?"

"Kamu tanya kenapa?"

"Iya."

"Ay, buatkan aku sarapan. Aku mau kerja, kamu paham enggak?"

Soraya menghentikan gerakannya, lalu menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Dia tidak langsung menjawab, hanya menghela napas perlahan seolah menimbang sesuatu di kepalanya.

"Kamu mau sarapan apa?" tanyanya akhirnya, suaranya datar.

"Ya terserah, seperti biasa aja," jawabku cepat.

Soraya mengangguk kecil, lalu berjalan melewatiku menuju dapur. Aku mengembuskan napas lega, berpikir dia akhirnya menurut. Tapi baru beberapa langkah, dia berhenti dan berbalik menatapku.

"Oh ya, Mas," katanya dengan senyum tipis. "Mulai besok, kayaknya kamu harus belajar bikin sarapan sendiri."

Aku mengernyit. "Maksud kamu?"

Dia mengangkat bahu ringan. "Aku mau fokus ke hal lain. Aku juga mau mulai kerja lagi, jadi nggak bisa selalu masakin kamu tiap pagi."

Jantungku berdegup lebih cepat. "Kerja? Kerja di mana?"

Soraya tersenyum kecil, lalu tanpa menjawab, dia melanjutkan langkahnya ke dapur. Aku terpaku di tempat. Rasanya seperti ada sesuatu yang perlahan berubah di rumah ini, di antara kami. Dan untuk pertama kalinya, aku tidak tahu harus berkata apa.

**

"Mas, Adel demam," ujar Soraya. Dia datang menggendong Adel. Baru saja aku mau tenang sarapan, sudah di buat tidak mood. "Kasih obat demam lah. Bagaimana sih?"

"Ini sudah dua hari. Panasnya naik turun," ucap Soraya. "Tadi saat aku bangun cek sudah tidak demam. Tapi setelah aku masuk kamar tadi ternyata dia demam lagi. Bisa antar aku ke dokter?"

"Aku sibuk ada meeting, kamu bawa ke puskesmas saja. Sayang BPJS enggak di pake. Kan sudah di bayar dari kantor."

Loh, kok Soraya tidak menjawab apa pun. Apa yang salah dari ucapanku. Benarkan kalau sakit ya ke puskesmas aja. Ke dokter "Aku sibuk ada meeting, kamu bawa ke puskesmas saja. Sayang BPJS enggak di pake. Kan sudah di bayar dari kantor."

Loh, kok Soraya tidak menjawab apa pun. Apa yang salah dari ucapanku. Benarkan kalau sakit ya ke puskesmas aja. Ke dokter anak mahal, pernah beberapa waktu lalu Adel sakit, ke rumah sakit dan bill pembayaran sebesar 800.000. Biaya dokter aja 250.000 dan sisanya obat. Heran kok ya mahal amat. mahal, pernah beberapa waktu lalu Adel sakit, ke rumah sakit dan bill pembayaran sebesar 800.000. Biaya dokter aja 250.000 dan sisanya obat. Heran kok ya mahal amat.

"Kenapa kamu diam saja?" tanyaku heran.

"Mas, penghasilan kamu itu besar loh. Menurut aku, kamu cukup diandalkan untuk ke dokter anak. Ini sudah lebih dari 3 hari demamnya. Mungkin Adel butuh cek darah." Lagi, Aya menjelaskan.

"Iya sudah ke puskesmas minta tujukan ke Rumah sakit. Aku tahu penghasilan aku cukup, tapi buat apa ada BPJS kalau kita enggak pakai berobat? Apa aku salah bicara?" Ku teguk minuman lalu kembali melanjutkan makan.

"Ini urgent dan kamu masih mikir pakai BPJS? Aku bisa Terima kalau kita orang tidak mampu, tapi bagi aku itu sudah di luar nalar. Buat anak perhitungan amat sih Mas. Enggak punya empati!"

Aya berbalik badan dan masuk ke kamar dengan suara pintu yang terbanting. Ada aja si kelakuan istriku. Penghasilan akh memang besar, tapi bukan untuk di gunakan sesuatu yang sangat mahal. Apalagi ke dokter anak yang harganya lumayan menguras dompet. Belum lagi tes darah total, bisa-bisa aku mengeluarkan uang banyak.

"Ay, aku jalan ya. Sudah telat nih."

Tidak ada jawaban, paling nanti juga baik lagi. Adel pun mungkin setelah minum obat demam akan kembali sehat.

**

Aku baru saja tiba di kantor, belum sempat melangkah masuk ke ruangan ketika ponselku bergetar di saku. Aku menghela napas, bersiap menghadapi telepon pagi-pagi begini. Tapi begitu melihat nama Mbak Maya di layar, perasaan tidak enak langsung muncul.

"Hallo, Mbak?"

Suara tangis di seberang membuat jantungku mencelos. "Adinda, Dan… Adinda kecelakaan!"

Dunia seolah berhenti berputar sejenak. "Apa? Maksud Mbak apa?"

"Dia… dia tertabrak motor waktu nyebrang di sekolahnya. Sekarang dibawa ke rumah sakit. Dan, cepat ke sini!"

Astaga… apa lagi ini?

Tanpa pikir panjang, aku buru-buru masuk ke ruanganku, mencari Irma, sekretarisku. "Irma, tolong atur ulang semua janji hari ini. Aku harus ke rumah sakit

Ada ada saja, kenapa bisa sih Mbak Maya ceroboh menjaga Adinda. Aku sungguh-sungguh cemas dengan keadaan Adinda. Kupacu mobil dengan kecepatan tinggi agar sampai lebih cepat.

Sesampainya di RS, aku langsung menghampiri Mba Maya dan Ibu. Ibu memeluk aku sembari menangis.

"Dan, Adinda sudah ditangani Dokter. Tapi ada satu masalah," ujar Mbak Maya.

"Apa?"

"Mba belum urus administrasi, karena itu Adinda belum dapat kamar dan katanya kekurangan darah juga. Jadi, tadi ada tambahan biaya beli darah dan mungkin kamu bisa cek darah kali aja bisa donor," kata Mbak Maya.

Bukan masalah donor d@rah, tapi ini keselamatan Adinda. Gegas bersama Mba Maya aku ke administrasi untuk mengurus supaya cepat ada tindakan tambahan dari dokter.

"Mas, Mas Dani!"

Aku menoleh ke sumber suara. Ternyata Soraya bersama Adel, sedang apa mereka di sini?

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istriku Ternyata Pewaris   keholangan sesuatu yang berharga

    Seno hanya tersenyum tipis, sorot matanya penuh arti. "Tunggu saja, Aya. Dani akan tahu bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang berharga."*"Apa semua sengaja du atur Mas Seno supaya aku bertemu Dani lagi?" tanya Aya pada Satya. "Bisa jadi, Seno itu tidak akan berhenti membuat kejutan untuk calon mantan suami kamu. Walau, aku rasa kamu sudah muak bertemu dengan dia lagi. Tuh, lihat mukanya sudah asem. Bisa bayangin kan dia enggak akan fokus nanti," ucap Satya. Yang di katakan Satya benar, baru saja kemarin bertemu dengan Soraya bersama Bara saja Dani sudah kacau. Apalagi sekarang dirinya bersama dengan Satya yang di kenal adalah adik dari Seno. Gebrakan apa lagi ini, pikir Dani dengan menelan ludah. Kali ini dirinya tidak begitu sulit bergerak karena tidak ada Vira. Jadi, dia memutuskan untuk berbicara dengan Soraya sebelum masuk ke dalam ruangan meeting. "Masih ada waktu 30 menit."Dani menghampiri Aya yang sedang sendiri, Satya izin untuk ke WC. "Nomor aku kamu blokir, sekar

  • Istriku Ternyata Pewaris   Penyesalan

    Setelah mengirim pesan pada Aya, Dani pun merebahkan tubuh di kasur. Hatinya nya galau, kecemasan muncul saat itu apalagi mengingat Pandangan Soraya pada Bara. Tatapan mata itu yang selama ini hanya melirik dirinya, kini beralih menatap intes pria lain."Apa selama ini aku terlalu sibuk memikirkan bagaimana caranya mencari uang untuk menutup mulut Mba Maya juga ibu tentang kekhilafan aku malam itu sampai lupa dengan Soraya juga kewajiban aku? Apa benar aku Ayah yang tak bertanggung jawab?" Dani menjambak rambutnya sendiri. Lalu bangkit berjalan bolak balik dengan tangang yang gementar cemas. "Ini tidak bisa terjadi. Kenapa sebaliknya malah Aya yang menggugat perceraian?" Dani menghela napas berat. Dulu, dia pikir bisa mengendalikan segalanya. Dia pikir Soraya akan selalu ada, menunggunya, bertahan meski dia mengabaikannya. Tapi sekarang? Soraya bahkan tidak menoleh lagi ke arahnya. Tatapan yang dulu hanya miliknya kini beralih ke pria lain—Bara."Apa selama ini aku yang terlalu bodo

  • Istriku Ternyata Pewaris   Rencana

    Soraya tersenyum tipis, menuangkan teh ke cangkirnya. "Sudah kuduga Mas akan bertanya seperti itu. Dani memang memilih jalan yang lebih menguntungkan untuknya. Aku? Aku hanya kesalahan dalam perjalanan hidupnya."Satya mendecakkan lidah. "Brengsek juga laki-laki itu. Kalau saja aku tahu lebih awal, sudah kuhabisi dia dari dulu!"Seno mengangkat tangan, memberi isyarat agar Satya menenangkan diri. "Tenang. Tidak perlu pakai emosi. Kita bisa menghancurkannya dengan cara yang lebih cerdas."Soraya menatap kakaknya dengan penasaran. "Maksud Mas?"Seno tersenyum miring. "Kita lihat saja nanti. Aku sudah punya rencana."Soraya menghela napas, menatap kedua kakaknya dengan penuh kepercayaan. Apapun yang akan terjadi, dia tahu satu hal pasti—kali ini, dia tidak akan menghadapi semuanya sendirian."Apa rencana dari Mas Seno untuk membalas Dani?" tanya Soraya. Seno menyesap tehnya dengan tenang, tatapannya tajam ke arah Soraya dan Satya. "Aku tidak akan gegabah. Dani itu serakah, tapi bodoh. D

  • Istriku Ternyata Pewaris   Teka Teki

    Sepanjang pertemuan Dani tidak bisa fokus. Pandangannya terus tertuju pada Soraya. Bagaimana bisa, wanita itu yang belum resmi menjadi mantan istrinya sudah datang bersama dengan pria lain. Dan sejak kapan Soraya pintar berbicara juga tentang per bisnisan? Selama ini Dani hanya tahu Soraya hanya bisa di dapur dan sama sekali buta tentang pekerjaan yang digelutinya. Soraya tersenyum tipis, dia mentertawakan Dani dalam hati. Baru permulaan saja dia sudah masuk dalam permainan. Apalagi jika dia tahu dirinya adalah salah satu dari anggota keluarga Seno. Bisa mati berdiri bukan?Soraya melirik sekilas ke arah Dani, senyum kecil tersungging di sudut bibirnya. Dia bisa melihat bagaimana ekspresi pria itu berubah-ubah—antara kesal, bingung, dan mungkin sedikit terkejut.Bara yang duduk di sebelahnya ikut memperhatikan Dani yang tampak gelisah. Dia mendekat sedikit dan berbisik, "Sepertinya ada yang tidak bisa menerima kenyataan kalau istrinya bukan ibu rumah tangga biasa."Soraya tertawa pe

  • Istriku Ternyata Pewaris   Rencana Maya

    Dani menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Dia harus profesional. Ini adalah kesempatan besar baginya.Seno bangkit dari tempat duduknya, menyambut Pak Darmawan dengan jabatan tangan hangat. "Pak Darmawan, silakan duduk."Pak Darmawan tersenyum. "Terima kasih, Pak Seno. Saya sudah mendengar banyak tentang perusahaan Anda."Seno melirik sekilas ke arah Dani, lalu kembali tersenyum tipis. "Semoga semuanya berjalan lancar."Dani mengambil tempat duduk di samping Vira, tetapi pikirannya masih saja terganggu. Matanya sesekali melirik ke arah Soraya dan Bara, yang terlihat begitu akrab. Bara bersandar santai, berbicara dengan tenang, sementara Soraya tertawa kecil menanggapi.Dani mengepalkan tangan di bawah meja. Bara… siapa pria itu baginya? Sejak kapan mereka dekat?Soraya menyadari tatapan Dani, tetapi dia pura-pura tak peduli. Dia justru semakin menampilkan sikap santainya, berbicara dengan Bara tanpa beban."Apa kita mulai?" suara Seno menarik perhatian semua orang di rua

  • Istriku Ternyata Pewaris   Bertemu Mantan

    Dani yang sedang berbincang dengan Pak Darmawan tiba-tiba menghentikan ucapannya begitu matanya menangkap sosok Soraya di lobi kantor Seno. Langkahnya refleks melambat, napasnya terasa sedikit lebih berat.Soraya, dengan senyum tipis dan wajah tenang, berjalan berdampingan dengan Bara. Tidak ada raut kesedihan atau kemarahan seperti terakhir kali mereka bertemu. Dia tampak anggun, lebih berkelas, dan lebih… bebas.Vira yang berdiri di samping Dani ikut menoleh, mengikuti arah pandangan Dani. Begitu melihat Soraya, rahangnya langsung mengatup."Kenapa dia ada di sini?" gumam Vira pelan, cukup untuk didengar Dani.Pak Darmawan, yang menyadari perubahan suasana, mengernyit. "Kalian kenal wanita itu?" tanyanya.Dani mengalihkan tatapannya dengan cepat. "Bukan urusan penting, Pak."Sementara itu, Bara menoleh ke arah Soraya yang masih berdiri tegak. "Kamu mau lanjut atau ingin pergi?" tanyanya dengan nada tenang, meskipun dia bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara.Soraya meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status