ISTRIKU TUABab 16 : DiculikPerlahan kubuka mata, walau napas masih terasa sesak. Telinga terasa berdenying dengan kepala berat."Beb, kamu sudah sadar?" dua orang wanita berpakaian sexi mendekatiku. Keduanya duduk di sebelah kanan dan kiri.Pandangan buram, aku mengerjapkan mata berkali-kali dan masih tanpa suara."Apakah aku sudah mati? Bukankah aku tenggelam di laut?" lirihku dalam hati. "Apakah kedua wanita ini, setan pencabut nyawa?""Bebby, kamu kenapa? Kok bengong gitu, sih?" wanita yang hanya mengenakan bra dan celana pendek itu membelai kepalaku."Si-siapa ka-kalian? Aku di mana?" aku berusaha bangkit, tapi kepala mendadak sakit hingga harus kembali jatuh ke bantal."Berbaring saja, Beb! Jangan bangun dulu!" kini wanita yang dengan dres sepaha yang merangkul tubuhku."Aku mau pulang," ujarku sambil memegangi kepala yang ternyata ada luka. Pantas saja terasa sakit.Taklama kemudian, seorang wanita lain masuk lagi ke kamar."Beb, syukurlah kamu sudah sadar," dia langsung memel
ISTRIKU TUABab 17 : TernodaHabis sudah harga diri yang kubanggakan selama ini, kini aku layaknya tisu yang habis di sobek-sobek terus di buang dan tertimpa hujan. Lumat tak bersisa. Mungkin dunia menertawai nasibku yang malang dan mengenaskan ini, air mata yang kuteteskan saat ini bukti keterpurukan. Laki-laki juga bisa menangis, jika hatinya sudah terlalu sakit akan azab hidup yang melebihi kapasitas. Penyesalan ini serasa tiada arti, sebab aku terlanjur hancur.Ketiga setan wanita itu telah melemparku ke lembah kenistaan, seperti lintah ... mereka terus memangsaku tanpa henti. Hingga darah mengering dan tak tubuhku kurus kering. Selama berhari-hari, aku menjadi pemuas napsu wanita haus cinta itu. Tanpa belas kasian, mereka terus menyerang raga ini. Oh tuhan, inikah murkamu? Ampuni hamba, ya Alllah ....Malam itu, mereka sudah memangsaku sejak dari sore. Hingga kini ketiganya terkapar karena lelah. Tali pengikat tangan dan kaki, tinggal sidikit lagi akan bisa kulepas. Sebab aku sud
ISTRIKU TUABab 18 : MimpiLangkah kaki terhenti di depan sebuah rumah mewah. Kuamati seseorang yang wajahnya tak asing sedang berdiri di teras, ia mengantar suami dan anak-anaknya yang hendak berangkat ke sekolah."Ayah hati-hati ya berangkatnya!" wanita itu mencium punggung tangan si pria. "Kalian yang benar di sekolah! Nanti pulangnya Bunda yang jemput." Kini ia beralih kepada ketiga anak-anaknya. Dua anak perempuan dengan seragam SMA dan SMP, dan satu orang bocah laki-laki dengan seragam SD."Iya, Bunda," jawab ketiganya serempak dan berebutan mencium punggung tangan sang Bunda."Eh, Bun ... Itu ada pemulung lagi ngorek-ngorek tempat sampah kita. Kasian, ya!" ujar anak bocah itu menunjuk kearahku.Busyet, dah! Aku ini bukan pemulung! Hanya kebetulan lewat saja dan tak sengaja melihat dia. Yah, dia! Dia, Faniku! Tak salah lagi! Langsung saja kulemparkan senyuman maut padanya seraya berjalan mendekat kearah mereka."Bun, minta uang lima ribu! Adek mau kasih sama dia, kasian," oceh s
Istriku TuaBab 19 : Jadi Pemulung"Apa gak ada cara lain selain jadi pemulung?" Aku terduduk lesu."Gak ada cara lain, Om. Ya sudah, ayo ... Aku temani Om. Kasian juga, Om kan belum berpengalaman. Hari ini aku training dulu deh." Si anak yang rambut kimbal menarik tanganku.Dengan hati yang menangis, aku mengikuti langkahnya. Sedih campur terharu, tapi terlebih lagi malu. Dengan sambil menunduk, aku membuka karung agar dia dapat memasukan kaleng hasil pungutannya setelah menyusuri jalan dan mengobok-obok tempat sampah."Siapa nama kamu? Biar Om catat kebaikanmu di hati, Om.""Dul, Om," jawabnya sambil memberi komando agar aku memungut kaleng minuman yang terdapat di pinggir selokan."Nah, bagus. Om pinter, yang itu lagi, Om!" dia menunjuk kaleng yang terdapat di dalam selokan.Hem, seenaknya saja dia main perintah. Ogah! Kalau masuk selokan cuma demi satu kaleng."Buruan, Om ... Ambil!""Kamu sajalah, Dul. Om malas masuk ke situ," ujarku dengan kecut.Tiba-tiba saja, sebuah mobil mer
Istriku TuaBab 20 : Dal, Dil, Dul, Del"Ya elah, Om Otong ini. Kalau Dul punya duit, Dul gak akan mulung dulu kalau mau makan." Dia melototiku, seperti emak-emak yang memarahi anaknya."Kali aja kamu punya uang simpan, gitu." Aku merengut, mau ngambek kalau yang berbicara begitu adalah Fani. Tapi, sayangnya, hiks ... dia bukan Fani."Gak ada, Om!" bentaknya."Gak ada, ya udah. Gak usah bentak-bentak gitu dong!" ucapku tak kalah nyaring.Nih bocah suka meledak gak jelas, serasa pengen kucabuti rambutnya terus kujadikan sapu."Kalau Om mau pulang, berarti Om harus kerja dulu biar dapat buat ongkos. Kalau duitnya sudah banyak, entar Dul anterin pulang," ujarnya kembali melembut."Kamu sajalah yang kerja, Dul! Om tukang ngumpulin uangnya saja, bagaimana?" mataku membuat menatapnya."Ogah! Emangnya Dul babunya, Om!" dia bangkit dan menatapku garang."Entar Om ganti lima kali lipat," ujarku sembari menunjukan lima jari."Nggak! Dul sudah gak mempan dengan buaian janji manis."Kuhela napas
ISTRIKU TUABab 21 : PulangLangkahku terhenti dan sekujur tubuh menjadi kaku. Darah berdesir, hati mendadak suram dan nyali menciut. Apa yang harus di lakukan sekarang? Putar balik atau mencoba maju dan berpikir positif?Napas tercekat, ingin memanggil nama Fani tapi lidah serasa kelu. Tiba-tiba, kedua pasang mata yang sedang mengobrol serius itu menatapku bersamaan. Terlihat Fani menyipitkan mata memperhatikan diri ini dari ujung kepala hingga ujung kaki.Kucoba melemparkan senyum termanis yang selama ini selalu membuatnya mabuk kepayang. Fani mendekat dan menghampiriku. Hem, dia pasti akan memeluk tubuh ini. Aku jadi tak sabar."Dek, ini Mas Fahmi," ujarku dengan senyum senang."Mas, ini kamu?" Fani terlihat kaget."Harfani, saya permisi. Lain kali kita sambung lagi," ucap pria berjas hitam, menatap sekilas lalu pergi.Fani mengangguk dan menatap kepergian pria itu. Hati menjadi panas, boro-boro mau di peluk. Ia hanya menampakan wajah kaget tadi, dengan kesal aku langsung nyelonong
ISTRIKU TUABab 22 : DicuekinBeberapa hari berlalu setelah kembalinya aku ke rumah, tapi sikap Fani masih tetap cuek. Dia benar-benar sudah berubah, marahkah? Atau ada sesuatu yang disembunyikan, entahlah. Ia semakin jarang di rumah, palingan cuma satu jam setelah pulang mengajar dari sekolah saja. Itupun cuma makan dan sholat, lalu pergi lagi dan pulangnya malam."Dek, kok sudah mau pergi lagi?" tanyaku ketika melihatnya sudah bersiap untuk pergi lagi, padahal baru setengah jam yang lalu ia pulang dari sekolah."Ada murid les yang minta belajar jam 14.00, Mas. Aku pergi dulu," dia hanya menatapku sekilas kemudian berlalu.Aku hanya melengos sebal, tanpa salim kepadaku, ia pergi begitu saja. Yeah, sepertinya dia sudah mulai melupakan tradisi kami. Jangankan mau cepika-cepiki, berpamitan dengan mencium tanganku pun ia sudah tidak pernah lagi. Sepertinya ia tak menganggap kehadiranku. Sakit sekali rasanya hati ini, hiks.********Malam itu, aku sengaja menunggunya pulang. Tidak bisa se
ISTRIKU TUABab 23 : SakitPagi ini, aku meringis kesakitan ketika buang air kecil di kamar mandi. Ini tak pernah kualami sebelumnya, sakitnya luar biasa. Antara perih dan panas, apa yang terjadi pada barang mahal satu-satunya itu? Kondisi tubuh juga terasa tidak enak, tenggorokan sakit dan kepala terasa pusing. Kupegang dahi yang terasa panas, yeah ... demam ternyata.Dengan sempoyongan, aku kembali berbaring di tempat tidur. Fani sudah bersiap dengan pakaian kerja."Dek, Mas demam .... " ucapku sambil menyelimuti tubuh.Fani mendekat dan memegang dahiku, kemudian mengambil obat di kotak PPPk."Ini, Mas. Sehabis sarapan, minum obat ini! Aku berangkat kerja dulu," ucapnya tanpa senyum sedikit pun.Padahal aku sudah menatapnya dengan mata berkaca-kaca, tapi ia masih tetap cuek. Tuhan, kembalikan Faniku yang dulu. Fani istriku yang penyayang dan baik hati. Aku tidak mau Fani yang ini, aku yakin ... Fani pasti sedang diguna-guna mantan suaminya agar membenciku. Cih, sungguh licik!Hiks,