Lucas mencoba menghentikan tingkah Leona. Tapi wanita itu seakan tidak dapat mengontrol tubuhnya.
"Leona!! Hentikan!! Apa yang akan kau lakukan!!?" "Malam ini adalah malam kita berdua, Tuan. Jadi lakukanlah seperti seharusnya suami istri lakukan!!" "Dasar murahan!" umpatnya mendorong tubuh Leona, berusaha menolak. Yang ada malah Leona makin beringas. Ia membalas dorongan Lucas hingga terjatuh. Ternyata minuman jamu yang di berikan Bibi sudah di campur dengan obat perangsang, hingga Leona tidak dapat mengendalikan dirinya. Leona memberikan sentuhan panas pada Lucas, hingga pria itu tidak akan kuat menahannya. Pria mana yang tahan melihat wanita dalam keadaan seperti ini? Cinta yang seharusnya ia jaga kuat untuk Elisa pun luruh begitu saja malam itu. "Sial!! Apa yang terjadi terhadapmu, Leona?!" Lucas memicingkan sebelah mata. Wanita itu tidak menjawab, ia hanya sibuk dengan gerakan konyolnya. Sementara Lucas mengimbangi. "Kau tidak terlalu mahir, Leona! Tidak seperti aura tubuh yang kau tunjukkan saat kau menginjakkan kaki di rumah ini!" cibir Lucas. "Andai kau tahu, Tuan. Ini adalah untuk pertama kalinya." 'Mungkin memang benar yang ia ucapkan.' Lucas sepintas melihat noda merah disisi ranjang. 'Ternyata kau ...' Di sela permainan, ia mengingat Elisa. 'Maafkan aku Elisa. Semua ini atas kemauanmu. Aku akan bermain sesuai yang kau inginkan. Tampaknya kau membuat gadis kecil ini lapar,' batin Lucas. Sementara di luar kamar Leona, Elisa berdiri di depan pintu. Tubuhnya menyandar disana. Rasanya tubuhnya hampir tidak berdaya. Tanpa sadar air mata sudah membanjiri kelopak matanya. Meski ia mencoba menyeka, memaksa untuk bertahan. Ia tidak sanggup juga. Dadanya terasa sesak. Antara ingin menghujat suaminya— ada di dalam sana yang sedang melakukan malam panas bersama Leona. Ini sudah menjadi jalan dari pikirannya sendiri. Bukankah permainan ini Elisa sendiri yang memulainya? Tidak sepatutnya menyalahkan keduanya. Bahkan Lucas telah menolaknya, ia bersikeras memaksanya. Membayangkannya saja hatinya sudah rasanya teriris. Terlihat asisten yang dekat dengan keluarga mereka berjalan menghampiri. Hanya dia asisten tertua di rumah ini. Bahkan usianya sudah lebih dari lima puluh tahun. Buru-buru Elisa mengusap sisa air mata dengan telapak tangan. Meski percuma wanita itu sudah mengetahuinya dari kejauhan. Bahkan isaknya tidak mampu di tahannya. "Lebih baik, Nyonya tidak berada disini," ucapnya, berniat menyuruh Elisa pindah ke kamar. Wanita itu tahu bagaimana rasanya menjadi istri pertama. Apalagi istri kedua berada dalam satu rumah dengannya. Sungguh, jika menjadi Elisa; Bibi pun tidak akan kuat menjalaninya. Elisa hanya memberikan senyuman getirnya. "Ya, kau benar." "Beristirahatlah Nyonya, segala kebutuhan mereka saya yang nanti akan menyiapkan," kata Bibi. Elisa pun menganggukkan kepala, wanita dengan baju piyama itupun segera pergi. Keesokan harinya ... Beberapa waktu lamanya Elisa duduk di meja makan seorang diri, seperti biasanya ia harus menunggu suaminya turun ikut serta makan bersamanya. Menit berputar hampir separuh putaran. Ia menatap sendu, karena tidak terdengar derap langkah kaki yang turun dari atas tangga. Sesekali ia melirik ke atas, tidak ada tanda-tanda mereka muncul. Nasi yang tersaji di atas meja tidak tampak lagi asap yang mengepul tinggi. Asisten rumah lainnya—yang berdiri hampir setengah jam itu bertanya pada Elisa, "Nyonya, apa tidak sebaiknya saya membangunkan mereka untuk ikut sarapan bersama Anda?!" "Tidak perlu! Biarkan saja, sampai mereka bangun sendiri. Mereka adalah pasangan pengantin baru. Kita tidak boleh mengganggunya." "Baiklah Nyonya." "Kalian boleh pergi, tinggalkan aku sendiri!!" titahnya. "Baik Nyonya." Elisa terpaksa sarapan tanpa Lucas. Tidak mengapa, hari ini adalah hari bahagia untuk mereka. Semua akan ia lakukan. Dan selebihnya, ia yakin Lucas akan lebih mengutamakan dirinya dibandingkan Leona. Jam menunjukkan pukul 07.00 pagi. Silau sinar dari pantulan cahaya matahari mampu memberikan terang pada ruang kamar Leona, menembus melewati jendela kamar yang tertutup gorden. Dua matanya mengerjap beberapa kali, sampai ia terpaksa harus membuka mata itu lebar meski berat rasanya. Tubuhnya Leona terasa sakit semua, ia segera bangkit dari tidurnya. Setengah sadar, ia melihat Lucas tidur di sampingnya, tidur dalam satu selimut yang sama. "Ah——" Saat mulutnya berteriak, reflek kedua tangannya membungkam. "Leona!! Sadarlah!! Dia sekarang suamimu!! Bukan orang lain." Baru menyadari, pria itu telah mengesahkannya menjadi istri kedua. Leona mencoba menghembuskan nafas perlahan. Masih tidak percaya, ia melihat keadaan tubuhnya. "Apa yang kita lakukan semalam? Aku tidak mengingat apapun. Apa Tuan Lucas benar-benar memberikan cinta tadi malam untukku?!" Pertanyaan itu berlarian di sekitar otaknya. Pandangannya mengedar ke segala sisi ranjang. Benar, beberapa noda merah mengotori sprai yang berwarna putih itu. "Bagaimana bisa? Bukankah pria ini membenciku?! Bagaimana kita bisa melakukannya?!" Leona sama sekali tidak ingat apapun. "Dasar wanita murahan!! Berlagak amnesia dengan segala kenakalannya tadi malam!!" Tiba-tiba Lucas terbangun. Lebih tepatnya ia sudah bangun sedari tadi; karena mendengarkan ocehan Leona seorang diri. Leona segera menarik selimut menutupi tubuhnya hingga dada. "Untuk apa kau tutup!? Bukannya tadi malam kau buka tanpa rasa malu? Cih!!" Lucas lekas turun dari ranjang tanpa busana, berjalan menuju kamar mandi. Sekilas Leona memperhatikan bentuk tubuh suaminya yang karismatik itu. "Tidak boleh menyukainya, dia milik Nyonya Elisa." Tak tahu harus apa, untuk sementara waktu ia hanya berdiam saja dalam balutan selimut, sembari menunggu pria itu selesai dalam pekerjaannya. Beberapa saat pintu kamar mandi terdengar terbuka, tak lama kemudian pria dingin itu terlihat mengenakan handuk setinggi pinggang. Ia tidak berani melihat Lucas, biar saja ia mencari baju gantinya sendiri di lemarinya. Baru sadar, jika dalam lemari itu hanya berisi pakaiannya saja. "Mana baju gantiku?" "Karena terlalu banyak pekerjaan, saya lupa menyiapkan pakaian Anda, Tuan!! Maafkan saya. Saya berfikir Anda tidak akan sudi tidur satu kamar dengan saya." "Alasan!! Dasar wanita bodoh!! Lalu apa kau biarkan aku berjalan telanjang dada menuju kamar Elisa?!" "Saya akan mengambilnya untuk Anda. Tolong tunggu saya membersihkan tubuh saya terlebih dahulu!!" "Shitt, hal yang aku benci adalah menunggu." Tanpa banyak bicara lagi Lucas berjalan keluar kamar Leona menuju kamar Elisa. Beberapa assisten rumah tangga muda hampir pingsan melihat Tuannya dalam kondisi seperti ini. Ketakutan mereka lebih utama dari keinginan hati untuk memperhatikan bentuk tubuh Lucas yang aduhai membelah ulu hati. Mereka lebih memilih menundukkan kepala. "Jaga mata kalian!!" sungutnya. Berjalan cepat melewati mereka yang kebetulan sedang membersihkan tempat itu. "Duh, Tuan Lucas ... kenapa kegantengannya di bawa sendiri gitu sih?!" Salah satu dari mereka memuji. "Stt!! Jangan bicara macam-macam jika tidak ingin di pecat!" Sementara Lucas sudah sampai pada kamar Elisa. Terlihat wanita itu sibuk merapikan pakaian pada lemarinya. Lucas memeluk tubuh Elisa dari arah belakang. "Selamat pagi , Sayang?" Elisa merenggangkan pelukannya, memutar tubuhnya dan memperhatikan tubuh Exel, hanya mengenakan handuk dalam kondisi rambut basah.Tampak Lucas tersenyum, tanpa ke duanya tahu. 'Leona ... Aku akan segera menikahimu. Kita akan hidup bersama selamanya bersama buah hati kita,' batin Lucas. "Aku minta tinggalkan aku! Kumohon keluarlah, biarkan aku sendiri!!" suruhnya pada mereka berdua."Leona ... Maafkan aku, sungguh bukan ini sebenarnya keinginan ku. Namun, keadaan yang memaksa diriku untuk —""Sudahlah, Mas. Dari pada Tuan Lucas membawamu ke jeruji besi, lebih baik kamu berpisah denganku!"Leona sedih, karena tidak ada dari ke dua pria itu memprioritaskan nya. Sungguh, di dunia ini tidak ada yang benar-benar baik padanya.Sebelum Edo pergi, ia memegang tangan Leona. Sungguh Lucas tak ingin melihat mereka seperti itu. Tapi mungkin ini akan menjadi yang terakhir kali untuk itu. Ia pun membiarkan saja. Terdengar langkah kaki setelah pintu terbuka. Mereka melihat, seorang wanita datang. Ya, dia Leona, menggandeng seorang anak kecil, tak lain buah hati Leona, Vinc. Lucas kesal saja melihat wajah Elisa itu."Untuk apa
"Rumah kamu nyaman, Mas. Bersih juga." Manik mata Leona mengedarkan pandangan ke segala sisi ruangan.Tidak ada satupun pakaian tergeletak di kursi atau di gantung. Bug!Terkejut, Edo mendorong tubuh Leona jatuh ke pelukannya. Leona yang belum terlihat siap sedikit menghindari."Kenapa menjauh?" tanya Edo mengernyitkan kening."Tidak apa-apa, Mas." Ia mengangkat sudut bibirnya hambar. Tidak seperti sedang tersenyum. "Boleh kan aku minta sekarang??"Edo menaikkan alisnya ke atas. Meminta jawaban secepatnya. Wajah Leona mendadak panik. Seakan dia lupa jika pria itu suaminya sekarang. "Minta??""Ya? Kamu gak mau ya?" "Ah. T—tidak. Bukan gitu, Mas." Leona tidak siap jika pria itu meminta sekarang. 'Aduh, bagaimana ini? Aku tidak siap. Apa kau menolaknya saja?'"Mau aku buatkan kopi dulu, Mas?" Berniat mengalihkan pembahasan.Edo menggeleng. Dengan cepat ia merangkul dari belakang. Membuat Leona menarik dan menghembuskan napas berulang kali karena gugup."Bagaimana, Mas?" tanya Leona k
Leona menggeleng pelan. "Tidak, Bu. Selama ini Leona bekerja sebagai baby sitter anak ku sendiri.""Maafkan segala kesalahan Ayahmu ya Leona," ucap Nina.Leona mendongak melihat wajah sang ibu. "Ibu tidak perlu merasa bersalah begitu atas kesalahan Ayah. Ini semua sudah takdirku, Bu. Leona menerima dengan ikhlas."Wanita yang sudah tidak muda lagi itu mengelus kening Leona. Ia mengatakan untuk bersabar. "Nak, setelah pernikahan kamu dengan Edo, ibu yakin kau akan menemukan kebahagiaanmu.""Amiin ... Terima kasih doanya, Bu."***Hari yang ditunggu telah tiba, tidak digelar secara besar-besaran. Acaranya berlangsungnya pun sama persis dengan acara pernikahannya dengan Lucas. Di kantor KUA saja.Sungguh ia tidak merasa takut atau hal lain yang dipikirkan. Ia merasa tenang. Didampingi Ibu Nina dan Ben. Meskipun Ben tidak setuju jika Leona menikah dengan Edo. Tidak ada percakapan antara Ibu Nina dan Ben, hati Nina sudah sakit melihat pria itu muncul di depan matanya. Pria berpeci putih,
Leona menunjuk rumah kecil di balik sumur. "Parkir aja motor Tuan di sini," ujarnya.Menurunkan koper dan menariknya menuju pintu yang terlihat usang dan tertutup.Ia menatap Lucas sejenak. Lalu memutuskan untuk mengetuk pintu tersebut.Setelah ketukan ke tiga kalinya. Terlihat handle pintu terbuka. Leona menunggunya dengan hati berdebar. Berharap besar jika orang yang membuka pintu tersebut adalah ibunya. Sungguh selama ini ia membuang waktu dengan mempercayai ucapan sang ayah, jika ibunya telah berkhianat. Bahkan sebenarnya, ayahnya-lah yang membohonginya. Setelah pintu terbuka, barulah mereka dapat melihat wanita ringkih dengan hijab lusuh berwarna hijau. Secepat itu bulir air membanjiri kelopak mata Leona.Terlihat bibir itu bergetar hebat. Seakan ingin mengeluarkan suara namun tercekat di tenggorokan. "Leona?"Leona tidak mampu menggerakkan bibirnya. Hanya tangannya yang lembut lekas merentang dan memeluk tubuhnya. "Ibu ...""Leona anakku. Kau kah ini, Nak?""Iya Bu. Ini Leona
"Mas! Mas!! Aku bisa jelaskan padamu. Tolong dengarkan aku..." pinta Elisa. Ia memohon dengan menciumi tangannya. Namun Lucas sudah terlanjur murka.Sekali dia memberi kepercayaan pada orang lain, dan orang itu membuat noda hitam di dalamnya. Lucas tidak akan memaafkannya. Sudah beberapa kali Elisa membuat kesalahan, Lucas memberikannya kesempatan. Untuk satu ini, ia tidak akan mempercayainya."Kumohon percayalah, aku akan jelaskan semuanya." Elisa menggenggam erat lengannya meminta Lucas percaya padanya.Namun pria itu sudah menunjukkan taringnya. Hingga Elisa terduduk dan bersimpuh, Lucas tidak menghiraukannya. Saat Elisa memegang erat kakinya yang akan pergi, pria itu menendangnya hingga wanita itu menangis."Mas ... Kau mau ke mana?" Teriakan itu tidak di gubrisnya. Ia pergi saja dengan membawa kemurkaannya.Menunggangi kuda bermesin ya. Dengan cepat melesat dengan kecepatan tinggi. Tangannya menggenggam erat. Ia hantamkan pada dasboard mobilnya, Dengan seruan kata-kata kemurkaan
"Breng sek kalian!!?" ucapan kotor itu keluar juga dari mulut Leona. Masalahnya sangat berat, di tambah lagi ini."L—Leona??! Kapan kamu datang, Nak? Kenapa kamu gak bilang-bilang dulu mau ke sini?!" tanya Ben dengan terbata-bata, di sertai suara yang bergetar.Terlihat jelas sekali jika pria itu ketakutan. Ia yakin jika putrinya telah mendengar semua pembicaraannya dengan Annette. Apa lagi wajahnya Leona tidak seperti biasanya. Ben harus berhati-hati.Leona masa bodoh sekarang dengan pria itu. Sudah merasa pantas saja dia masuk penjara. Kenapa Lucas harus susah-susah mengeluarkan dari jeruji besi? Jika memang ayahnya bersalah. Ben berjalan menghampiri Leona yang menunjukkan kemarahan. Berusaha memegangi tangannya, namun Leona membuangnya begitu saja. Menolaknya kasar. Membuat hati Ben tersayat."Lepas!! Aku tak sudi melihat kalian!! Kalian berdua kejam!! Kalian yang menyebabkan ibu pergi!!" ucap Leona dengan air mata menggenang."Ayah akan jelaskan, Leona!!" pinta Ben dengan wajah
Tangis Leona pecah. Ia merebahkan tubuhnya, menarik selimut lebih tinggi sampai menutup kepala. Menumpahkan segala jeritan dalam hatinya. Sementara Edo membiarkan saja, turun dari ran jang dan mengenakan pakaiannya kembali.***Saat itu, Leona harus menemui Lucas. Ya harus menjelaskan; jika semua yang dikatakan oleh Edo adalah bohong. Langkah kakinya berat mencari Lucas di segala penjuru rumah. Ia tidak melihatnya di manapun. Sampai langkah kaki Leona, terhenti di ambang pintu belakang yang terhubung dengan taman di belakang kediamannya. Pria itu duduk membelakanginya di atas tanaman rumput yang sengaja di tanam tukang kebun. Dengan wajah yang disembunyikan di antara dua lutut nya. "Apa yang dilakukan Tuan Lucas di sana?" tanya Leona seorang diri. Tanpa menunggu lama Leona berjalan menghampirinya. Entah salah atau benar dengan lancangnya Leona menemui suami orang di tempat itu. "Tuan," sapanya. Pria itu seketika mengangkat kepalanya mendongak melihat Leona berdiri di sebelahnya
Leona masuk ke dapur, di sana sudah tersedia beberapa hidangan di atas nampan. "Selamat siang, Leona?""Nyonya? Anda belum makan siang?" "Sudah. Ini makanan untuk kamu dan Edo. Kamu tidak perlu repot masak. Kasian Edo menunggu lama nantinya. "Leona berpikir, tumben wanita itu baik pada Leona. Semenjak beberapa bulan lamanya Elisa menunjukkan taringnya, saat ini ia terlihat berbeda. Mungkin ia sudah berubah, tidak ingin memiliki pikiran negatif Leona menerima saja nampan bundar dari dua tangannya."Terima kasih Nyonya," ucapnya. "Sama-sama, lagian itu juga sisa makanan tadi kok. Tidak perlu berterima kasih." Elisa menarik satu sudut bibirnya lalu keluar.Leona tidak peduli lagi, asal cepat menghidangkan makanan ini untuk Edo. Gegas ia berjalan menuju meja makan. Terlihat ia sabar menunggu, buktinya ia tidak pergi dari kursi itu. Beberapa saat lalu, Lucas mengizinkan mereka duduk di meja yang sama. Jika Lucas dan Elisa selesai, mereka boleh memakainya."Silahkan Tuan."Manik mata pem
Hari ini Leona mencoba bicara pada Lucas kembali.Selama di kediaman Lucas, ia tidak di beri izin keluar dari kediamannya. Rasanya ingin menemui ayahnya. Waktu sudah berjalan 2 tahun dan dia belum juga bertemu dengannya.Hari ini Leona mencoba bicara pada Lucas kembali.Terlihat pria itu bersantai di teras dengan meneguk cairan hitam dari sebuah cangkir berbahan dasar porselen.Perlahan ia berjalan mendekati Lucas. Ia menyadari kehadiran Leona. "Tuan, hari ini saya izin bertemu dengan ayah saya."Pria itu menoleh, "Baiklah, aku akan suruh Edo mengantarmu.""Tidak perlu, Tuan. Saya bisa ke sana seorang diri.""Sudahlah, menurut saja!" kata Lucas. Ia pasti terkejut, karena rumah miliknya dahulu telah terjual. Edo akan mengantar Leona ke rumah Beni yang baru, meskipun tidak terlalu besar. Namun Beni sangat berterima kasih padanya. Sudah lebih dari cukup segala bantuan yang di berikan keluarga Lucas."Baiklah. Bersiaplah!!"Hari itu juga Edo mengantarnya. Selama di perjalanan Edo mengaja