Share

Aku Egois?

Izinkan Suamimu Menikah Lagi

Bab 2.

"Mas, seandainya aku tidak mengizinkan kamu nikah lagi gimana?" tanyaku sebelum Mas Fathan masuk ke kamar mandi.

Laki-laki yang baru pulang kerja itu berbalik badan. Lalu, membawa langkahnya menuju tempat duduk kembali. 

"Apa alasan kamu tidak mengizinkan aku menikah lagi, Nabila?" Pertanyaan itu diucapkan dengan penuh penekanan. Amarah terlihat jelas di wajahnya.

Kenapa dia harus marah? Apa poligami itu bukan hanya keinginan Ibu, tapi juga hasratnya? Ya Allah … benarkah praduga ini? 

"Simple. Karena aku tidak mau dimadu!" Aku bangkit dari posisi berdiri. Kini posisi kami sejajar dengan jarak hanya hanya beberapa jengkal. Mata kami pun saling menatap tajam. 

Aku tahu ini salah karena menantang suami. Tidak seharusnya istri melawan suami. Namun, rasa sakit di dalam sini tidak lagi dapat aku sembunyikan. Biarlah Mas Fathan tahu kalau aku marah dengan keputusan sepihaknya itu. 

"Kamu egois, Nabila! Sudah tidak punya anak, tapi menghalangi aku untuk menikah dengan perempuan lain! Aku memenuhi syarat untuk berpoligami, sebab kamu tidak bisa memberikan aku keturunan!" Suara bariton itu meninggi beberapa oktaf. Ini pertama kali Mas Fathan membentakku. 

Kukepalkan tangan dengan begitu kuat mendengar kata-kata Mas Fathan Darahku pun menggelegak hingga ke ubun-ubun. Bergulung-gulung gemuruh di dalam dada. Segera kurapal istighfar puluhan kali di dalam hati. Agar bisa turun kadar emosi di dalamnya.

"Kamu yakin setelah menikah lagi istri mudamu akan langsung hamil? Bagaimana Kalau dia bernasib sama denganku? Tidak bisa memberikanmu keturunan. Apa kamu juga akan menambah bini?" Tidak sedikit pun kulepaskan pandangan ini dari wajahnya. 

Laki-laki yang dulu melamarku dengan dua gram cincin itu hanya terdiam. Lalu melemparkan pandangannya ke arah lain. Bibirnya pun terkatup rapat.

"Kenapa diam? Kamu baru sadar kalau tidak ada yang bisa menjamin istri mudamu langsung bisa hamil? Masih ingat kan hasil pemeriksaan kita. Aku dan kamu tidak bermasalah. Semua sehat. Ini hanya masalah waktu. Tapi, kenapa semua ini seolah salahku? Memangnya kamu kira aku tidak ingin segera punya anak? Aku ingin. Sangat ingin, Mas! Tapi, kalau Allah belum berkehendak aku bisa apa? Bukankah anak itu hak prerogatif Allah?" Suaraku bergetar sebab menahan emosi yang kembali mencuat.

"Kalau kamu sehat lalu kenapa kita lama tidak memiliki anak?" Mas Fathan masih tidak bisa menerima argumenku.

Astaghfirullah … kenapa suamiku bisa kehilangan kecerdasan. Bukankah semua itu kehendak Allah? Kenapa dia seolah lupa siapa yang menentukan kehidupan ini? Apa yang membuat lupa pada Tuhannya? 

" Ingat-ingat dosa besar apa yang telah kamu lakukan di masa lalu? Bisa jadi dosa itulah yang menyebabkan kita susah punya anak! Introspeksi diri jangan hanya bisa menyalahkan aku!" Tangisku pecah seketika. Dapat kutangkap ketegangan di wajah pria yang masih bergelar suamiku itu. Entah apa yang membuatnya tegang. 

Aku tidak lagi bisa menyembunyikan rasa sakit di hadapan Mas Fathan. Biarlah dia tahu kalau aku ini hanya manusia biasa yang bisa rapuh.

Pertahankanku kembali jebol. Melihatku menangis Mas Fathan mendekat lalu membawa tubuhku ke dalam rengkuhannya. Aku berusaha memberontak, tapi percuma. Tenaganya jauh lebih kuat.

"Aku … aku hanya menuruti permintaan Ibu. Izinkan aku berbakti kepada orang tua tunggal itu." Mas Fathan segera mengurangi pelukannya. Lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Setelahnya kami seperti dua orang asing yang terjebak dalam satu kamar. Kami saling diam. Tidak ada pembicaraan apa pun setelahnya. Mas Fathan yang bisanya merayuku pun kini abai. 

****

Sinar mentari pagi menyapa bumi dengan penuh kehangatan. Berbanding terbalik dengan situasi hatiku saat ini. Sejak mendengar permintaan konyol Ibu kemarin, aku tidak bisa lagi bersikap hangat dengan penghuni di rumah ini. Terlebih setelah perdebatan dengan laki-laki yang masih bergelar suami itu.

"Diminum teh hangatnya, Bu." Tanpa seulas senyum kusodorkan minuman hangat untuk Ibu yang sudah duduk di depan meja makan. 

"Masak apa, Sayang?" Mas Fathan datang menghampiri aku yang sedang menyiapkan sarapan. 

"Masak makanan kesukaan kalian." Hanya itu kalimat yang meluncur dari bibir ini.  

Mungkin, ini terakhir kali aku masak makanan kesukaan mereka. Semur daging dan sambal kentang. Ibu dan anak itu sama-sama menyukai dua menu tersebut. 

Tanpa kata, aku segera memindahkan makanan ke atas meja. Semua hening. Hanya suara derap langkahku yang terdengar memenuhi ruangan ini.

"Ini buat aku, Sayang?" Mas Fathan memegang satu gelas coklat panas. 

"Memangnya untuk siapa lagi? Bukankah itu minuman kesukaanmu?" Kujawab pertanyaan suami tanpa menoleh ke arahnya. Tentu tanpa senyuman juga.

Dari ekor mata ini dapat kulihat Ibu dan Mas Fathan saling bersitatap. 

Seharusnya mereka paham apa yang membuatku seperti ini.

"Biasanya kamu menawari dulu. Jadi, wajar kalau aku tidak tahu." Mas Fathan berbicara dengan suara lembut. Dia berhasil membuatku seperti orang yang sangat bersalah. 

Ah, terserahlah dia mau beranggapan seperti apa. Yang jelas aku butuh mengekspresikan diri. Aku tidak suka keputusan mereka.

Kini kami bertiga duduk melingkari meja makan tanpa suara. Hanya dentingan sendok yang memecahkan keheningan di antara kami.

"Tumben masakanmu tidak seperti biasa, Nabila? Rasanya hambar. " Aku mendongak. Menatap ibu yang sedang memandangku. 

Tanpa diprotes pun aku juga sudah tahu kalau masakanku kali ini berantakan rasanya. Tapi, aku tidak peduli. Sesekali memberikan masakan tidak enak pada mereka. Ingin selalu makan enak tapi tega menyakiti yang masak? Dasar manusia tak tahu malu. 

"Masak yang enak itu harus dengan cinta. Sayangnya, cintaku telah dirusak oleh kalian berdua." Ingin rasanya aku ngomong demikian. Tapi, urung. Bukan aku tidak berani membantah mereka, tapi pura-pura mengalah. Sepertinya itu lebih baik.

"Tadi tidak dicicipi jadi wajar kalau tidak enak. Kalau Ibu memang tidak suka jangan dimakan. Biar aku telepon tukang uduk. Ibu sarapan uduk saja." Tanpa rasa bersalah aku berkata demikian.

Ibu dan Mas Fathan kembali saling pandang. Seolah mereka saling berbicara melalui kontak mata tersebut.

"Nabila. Kenapa kamu berubah seperti itu? Apa yang membuatmu jadi tidak sopan dengan Ibu?" Mas Fathan menyerangku. 

"Memang apa yang aku lakukan hingga menurutmu tidak sopan, Mas?" Kutatap lekat-lekat laki-laki tersebut.

"Sudah-sudah jangan dipermasalahkan. Oh, ya, Nabila. Hari ini Ibu mau kedatangan tamu. Boleh minta tolong siapkan makan malam untuk tamu, Nabila?" 

"Nanti masakanku tidak enak, Bu? Lebih baik beli jadi saja." Entah siapa tamu Ibu. Tapi, aku sedang tidak mau direpotkan dengan makanan untuk tamu.

"Kalau beli nanti jadi boros. Sebaiknya masak saja, Sayang." Dengan penuh hati-hati Mas Fathan mengusulkan demikian. 

"Kalau menjamu tamu saja kamu sudah merasa adanya pemborosan, lalu kenapa masih berniat poligami? Padahal, memiliki dua istri itu tidak hanya tentang membagi waktu dan hati, tapi juga tentang nafkah yang dua kali lipat. Selama ini kamu hanya ngasih uang belanja padaku, tapi nanti kamu juga harus ngasih uang bulanan untuk wanita lain. Gimana, sudah siap bekerja lebih keras lagi? Dan untuk Ibu sudah siap kehilangan jatah bulanan dari Mas Fathan?" tanyaku dengan pada mereka berdua. Kuselidik raut keduanya.

Ha ha ha ....

Aku suka melihat ekspresi kalian. 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Lusi Nurma Hidayah
jhghjhhhiuyyt ghggg jgggfc ygfrs jhfhgf
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
heran yaa, kenapa banyak dicerita ini mertua kurang ajar dan luknut ? adiiku udah 17thn menikah gak punya anak tapi ibukku gak pernah nanya atw mengusiknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status