Share

Izinkan Suamimu Menikah Lagi
Izinkan Suamimu Menikah Lagi
Penulis: Farid-ha

Permintaan Konyol Ibu Mertua

Izinkan Suamimu Menikah Lagi

Bab 1

"Nabila. Izinkan suamimu menikah lagi, Nak." Permintaan Ibu mertua serasa suara petir di siang bolong yang menyambar telingaku. Aku tersentak kaget mendengarnya. Sehingga tanpa sadar gelas yang berisi jus wortel untuk ibu pun terjatuh ke lantai. 

Gelas itu hancur seiring dengan remuknya hati ini. Delapan tahun aku mengabdikan diri pada suami dan ibu mertua yang sudah kuanggap ibu kandung sendiri. Tapi, siang ini beliau tega memintaku melakukan hal konyol tersebut. Apa yang saat ini beliau pikirkan? 

Segera ku bersihkan serpihan beling dengan perasaan hancur serupa pecahan gelas ini. Aku tidak menyangka ibu akan mengatakan hal itu. Hal yang sama sekali tidak ingin aku dengar dalam hidup ini.

"Nabila. Duduk dulu, Nak." Ibu menarik kursi yang ada di sebelahnya. Lalu, tempat duduk itu pun ditepuknya setelah melihatku kembali masuk ke dapur usai membuang sampah.

"Maaf jusnya tumpah, Bu." Hanya itu kata yang mampu ke luar dari bibir ini setelah duduk di dekat Bu Saropah — ibu mertuaku. 

"Nggak papa, Nduk. Itu semua memang salah Ibu. Wajar kalau kamu kaget hingga tanpa sadar menjatuhkan gelas. Ibu tidak mempermasalahkan itu, Nak. Ibu hanya minta satu hal saja. Sekali lagi Ibu mohon dengan sangat padamu, Nak. Izinkan Fathan menikah lagi, Sayang. Hanya dia harapan Ibu satu-satunya." Ibu menggenggam kedua telapak tangan ini. 

Aku terdiam. Tidak tahu lagi harus berkata apa, sebab di dalam sini ada yang sedang remuk redam. Aku merasakan sesak seketika. Serasa ada batu besar yang ditekan dengan kekuatan penuh ke arah dada ini. 

Delapan tahun bersama Ibu dan Mas Fathan dalam suka maupun duka. Bahkan tanpa syarat aku menerima mereka yang tidak memberikan modal apa-apa dalam pernikahan ini. Lalu, tiba-tiba kini ibu meminta aku mengizinkan anaknya membawa masuk orang ketiga. Di mana hati dan perasaan Ibu?

 Kenapa Ibu tidak bisa bersabar sedikit saja? Atau setidaknya memberikan aku batas waktu. Apabila sampai batas yang ditentukan aku belum bisa memberikan cucu maka Mas Fathan akan berpoligami, misalnya. Sepertinya itu lebih bisa aku terima dan tentu aku lebih mempersiapkan diri jauh-jauh hari dari pada yang secara tiba-tiba seperti ini. Poligami itu butuh ilmu. Dan itu tidak bisa dipersiapkan dalam waktu singkat.

Permintaan Ibu kali ini teramat sangat konyol. 

"Ibu tahu ini sulit untukmu, Sayang. Tapi, ibu tidak memiliki pilihan lain. Ibu hanya ingin cucu, Nabila. Kamu tahu hanya Fathan satu-satunya anak Ibu di sini. Jadi, siapa lagi yang bisa memberikan keturunan kalau bukan dia?" Suara ibu bergetar. Wajahnya pun berubah sendu. Entah apa yang membuatnya terlihat terluka seperti itu? 

Aku membeku di tempat. Tidak tahu harus berbuat apa terhadap ibu. Sebab aku sendiri butuh ditenangkan.

"Sudah delapan tahun ibu bersabar, Nak. Tapi, belum juga ada hasilnya. Kasihanilah wanita tua yang sudah penyakitan ini. Izinkan Fathan menikah lagi dengan perempuan yang sehat." Ucapan ibu lembut dan halus tapi mampu mengoyak hatiku dengan sempurna.

 Perempuan yang sehat? Seolah aku ini berpenyakitan! Kata-kata itu bagaikan perasan air jeruk nipis yang disiramkan di atas luka hatiku yang baru saja Ibu ciptakan. Perihnya tiada terkira. 

 Kenapa semua ini seolah salahku. Memang belum ada anak di antara kami. Tapi, bukan berarti aku tidak sehat! Hasil pemeriksaan dokter pun tidak ada masalah baik aku maupun Mas Fathan sama-sama sehat. Dan Ibu tahu itu. Tapi, ucapan beliau tadi seolah mengisyaratkan aku ini penyakitan. Kenapa Ibu berubah menjadi mertua jahat seperti di cerbung- cerbung yang aku baca? Selain soal cucu apalagi yang melatarbelakangi perubahan sikapnya?

"Bu. Aku tidak penyakitan, dokter pun bilang tidak ada masalah dengan rahimku. Ini hanya masalah waktu, Bu.

Delapan tahun kosong itu bukan mauku, Bu! Bukan hanya Ibu yang ingin, aku pun sama, sangat merindukan hadirnya buah hati di antara kami. Tapi, Allah belum mengizinkan itu. Lalu aku bisa apa?" Kujawab Ibu dengan suara bergetar dan lirih. 

Baru kali ini aku membantah beliau. Selama delapan tahun menjadi menantunya, aku selalu sendiko dawuh padanya. Bahkan aku selalu mengalah dan menekan ego kuat-kuat demi menyenangkan beliau. Tapi, saat ini aku tidak bisa tinggal diam dan menurut begitu saja. 

 Aku yakin suatu saat nanti bisa hamil. Karena dari hasil pemeriksaan kami berdua pun sehat. Ini hanya masalah waktu. Apa Ibu tidak bisa menunggu barang sebentar saja? Siapa tahu aku akan hamil setelah ini. 

"Ya, Ibu ingat. Tapi, kalau kamu sehat pasti sudah hamil dari dulu, Nabila. Memang, dokter bilang sehat. Tapi, kenyataannya apa? Sampai detik ini kamu masih belum bisa memberikan Ibu cucu. Bisa jadi itu karena kamu banyak dosa sehingga tidak dikasih anak sama Tuhan!" Suara ibu meninggi dan terdengar tidak mau dibantah.

Hatiku mencelos saat mendengar Ibu membentak dan mengatai aku banyak dosa. Sungguh, aku tidak bisa mempercayai wanita yang selalu lemah lembut itu tega membentakku dan menyakiti dengan kata-katanya.

Pertahanku jebol pada akhirnya. Tanpa permisi air mata ini membasahi pipi. Selama menjadi menantunya, baru kali ini Ibu membentak dan menghinaku. Ini belum ada madu, bagaimana nanti kalau sudah ada istri kedua Mas Fathan? Apa aku tidak semakin terasingkan? Belum lagi kalau wanita entah siapa itu bisa langsung hamil. Aku pasti semakin tersisih.

Aku tidak menyangka wanita yang terlihat menyayangiku itu tega menorehkan luka yang teramat dalam melalui lisannya. Apa rasa sayang ibu padaku sudah mulai memudar? Kalau Ibu sudah tidak sayang lagi dengan aku, lalu bagaimana dengan anak lelakinya itu — Mas Fathan? 

Mengingat nama Mas Fathan muncul pertanyaan di dalam hati, apa pria itu juga menginginkan berpoligami? Hatiku kembali merasakan ngilu saat membayangkan pria yang kucintai dengan sepenuh hati itu membagi cintanya dengan orang lain. 

"Maaf, Bu. Aku tidak bisa membuat keputusan sekarang. Aku mau istirahat dulu." Segera, kutinggalkan wanita yang telah melahirkan Mas Fathan. Tujuanku kali ini adalah kamar.

***

Aku tidak keluar kamar setelah peristiwa tadi hingga Mas Fathan pulang dari tempat kerja.

"Sayang. Kamu sakit?" Mas Fathan mendekati aku yang sedang duduk di atas ranjang. Lalu diciumnya keningku dengan lembut.

Kucium punggung tangan suami dengan takzim seperti biasa. Selama dia masih baik dan tidak menunjukkan perubahan sikap maka selama itu pula aku masih berusaha untuk menjadi istri yang baik. Selebihnya, kita lihat saja nanti.

"Mas. Aku kan belum bisa memberikan keturunan sampai saat ini. Apa Mas Fathan masih bisa setia?" Kucoba untuk memancingnya. Lelaki yang baru saja meletakkan tas kerjanya itu terlihat menghela napas panjang.

"Ibu memintaku untuk menikah lagi." 

Deg!

Berarti mereka sudah mempersiapkan ini semua? Ya Allah … dan Mas Fathan tidak berdiskusi denganku terlebih dahulu sebelum aku tanya. Innalillahi … tega kamu, Mas! Dadaku kembali bergemuruh mendengar pengakuan Mas Fathan. 

"Dan kamu menyetujui permintaan Ibu, Mas?" Kutatap dengan lekat mata beriris hitam legam itu.

Dengan berat Mas Fathan menganggukkan kepalanya. Sempurna sudah lara di hati ini.

Baiklah, Mas. Aku turuti apa mau kalian. Tapi, ada syarat yang aku tentukan. Dan setelah itu terjadi aku pastikan hidupmu tidak akan lagi sama. 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Yusrani
Bagus alur ceritanya
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
jgn2 kamu g bisa hamil krn tinggal sama mertua dan merangkap jadi babu
goodnovel comment avatar
Rezky Wardianto
bagus thor, lanjutkan...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status