Share

Siapa yang Datang?

Izinkan Suamimu Menikah Lagi

Bab 3

Kami masih duduk di kursi makan meskipun, piring-piring kami telah tandas isinya. Dan aku masih belum niat membersihkan meja makannya. Saat ini menyerang Ibu mertua dan Mas Fathan lebih menarik bagiku dari pada beres-beres usai makan.

"Kenapa Ibu harus kehilangan jatah bulanan? Tidak bisa dong. Ibu akan tetap mendapatkan uang jajan kan, Than?" Wanita setengah umur yang tadi sempat kaget mendengar pertanyaanku hingga melongo, kini menatap anaknya dengan penuh pengharapan. 

Mas Fathan pun mengangguk. Aku diam masih menjadi pendengar dan pengamat. 

"Tidak bisa begitu dong, Bila. Kalau Ibu tidak dikasih dari aku mau dapat uang dari mana? Kan Ibu tidak ada yang mencarikan nafkah." Ucapan Mas Fathan diamini ibunya.

"Kalau begitu, mulai sekarang kamu harus siap-siap mencari pekerjaan sampingan, Mas. Masa gajimu yang hanya segitu harus dibagi empat? Aku tidak mau. Sebab, selama masih menjadi istrimu, aku pun tidak mau jatah bulanan untukku dipotong," kataku dengan wajah serius dan tanpa senyuman. Menegaskan aku tidak main-main dengan ucapan ini.

Ibu yang awalnya tersenyum mendapatkan pembelaan dari anaknya, kini wanita itu mengerucutkan bibirnya seketika. Tentu, dia keberatan dengan ucapanku. 

"Kenapa, Mas, kaget mendengar permintaanku?" Aku tersenyum sinis ke arah Mas Fathan yang sedang melotot ke arahku.

"Aku harus kerja ke mana lagi, Nabila? Kan kamu tahu sendiri waktuku sudah habis di toko itu. Kalau kamu memang ingin banyak uang ya kerja sendiri!" Mas Fathan tidak mau kalah. Dia membantahku dengan menggebu-gebu.

Tanpa kamu perintah pun aku akan kembali bekerja, Mas! Namun, tidak untuk saat ini. Nanti setelah semua tidak bisa aku kendalikan. Dan kalau aku sudah kembali bekerja, kelar hidup kalian, Mas! Sebab saat itu hidupmu tidak akan pernah kembali sama. Bisa jadi kamu akan kehilangan zona nyamanmu selama ini. Tunggu tanggal mainnya! 

"Iya, betul itu Nabila. Lebih baik kamu bekerja. Kalau Fathan kan tidak mungkin mencari sampingan. Lha wong waktunya sudah habis di toko." Ibu ikut menimpali juga akhir.

"Aku sih nggak masalah ya, bekerja. Tapi, bagaimana dengan pekerjaan rumah? Apa Ibu siap mengerjakan semuanya sendiri? Ibu kan sudah tua dan sakit-sakitan. Oh iya, aku lupa satu hal. Katanya, Ibu akan tetapi menyayangi aku kalau Mas Fathan menikah lagi. Lha ini, belum apa-apa aku sudah disuruh kerja. Lalu, apa jaminannya kalau Ibu akan menyayangi aku setelah Mas Fathan kawin lagi? Aku pasti akan tersingkirkan setelahnya, kan, Bu?

"Dan itu kamu, Mas. Kalau tidak sanggup menghidupi dua istri, maka jangan mimpi untuk berpoligami, Mas! Atau kalau kamu nekat menikah lagi, maka aku akan mundur. Ceraikan aku!" Kutatap lekat-lekat ibu dan anak yang terlihat kaget mendengar ucapanku. 

Mereka mlonggo beberapa saat. Mungkin otak mereka berusia mencerna apa yang baru saja didengarnya. Bisa jadi mereka tidak percaya aku akan mengatakan hal demikian. 

Jujur, meminta cerai secepatnya itu bukan keinginanku. Sekuat mungkin aku kan menjaga amanah Bapak. Mempertahankan pernikahan ini sekuatnya hingga aku lelah dan tidak sanggup lagi. Selain itu aku ingin membuat perhitungan dulu dengan mereka sebab sudah menyia-nyiakan pengabdianku selama ini. 

"Ka — kamu jangan main-main dengan kata cerai, Nabila. Menjadi janda itu tidak enak, Sayang. Dan ibu tidak mau kamu menyandang gelar itu. Ibu memang menginginkan Fathan menikah lagi, tapi tidak untuk menceraikan kamu." Ibu mengulurkan tangannya. Memegang lenganku yang sedang mengetuk-ngetuk meja makan.

Aku tahu mengapa Ibu tidak mau kami bercerai. Sebab mau ke mana lagi mereka akan berteduh kalau sudah terusir dari rumah ini? Kami membangun tempat tinggal di atas tanahku. Dan semua sertifikatnya pun atas namaku. Mereka pun tahu itu. Sayangnya, mereka lupa bagaimana caranya agar tetap bertahan di sini.

Kalau memang terpaksa aku akan tetap mengizinkan Mas Fathan menikah lagi. Tapi, aku ingin yang memegang kendali di rumah ini. Tidak akan kubiarkan wanita baru itu berani macam-macam. Dia, Ibu dan Mas Fathan harus ada di bawah kendaliku. Mereka tidak boleh menginjak-injak harga diriku.

"Aku tidak akan pernah menceraikan kamu, Nabila!" Tatapan Mas Fathan sulit kuartikan. Tanganku yang semula dipegang ibunya, kini sudah digenggam mas Fathan. 

"Pilihannya hanya dua, Mas. Ceraikan aku atau batalkan niat untuk berpoligami!" 

Mas Fathan terdiam beberapa saat. Lalu, pria itu menatapku sekilas. Kenapa? Bingung dengan pilihan ini? 

"Ya sudah nggak papa Ibu tidak mendapatkan jatah dari kamu, Than. Asal Ibu bisa segera menimang cucu. Biarlah jatah bulanan Ibu untuk istri keduamu.

Nabila. Jangan pernah meminta cerai dari Fathan. Ibu sayang kamu, Nak. Bahkan seandainya kamu sempurna, ibu tidak akan pernah mengizinkan Fathan menikah lagi. Ibu meminta dia kawin lagi hanya karena wanita tua ini sangat menginginkan cucu, sementara kamu tidak mampu berikannya, Sayang. Mohon pengertianmu, ya, Nak." Lagi-lagi suara Ibu lembut tapi cukup mengoyak hatiku. 

Ucapan Ibu kembali mematik emosiku. 

Segera kulepaskan tanganku dari gengaman mas Fathan. Dua manusia di depan ini harus dihajar dengan kata-kata. Enak saja mengatakan aku tidak sempurna! 

"Seandainya aku sempurna? Delapan tahun tidak kunjung hamil belum tentu aku tidak sempurna, Bu! Bisa jadi Mas Fathan lah penyebabnya. Dan satu lagi jangan terlalu melambungkan harapan yang tinggi pada menantu baru Ibu nanti. Dia juga belum tentu bisa langsung hamil. Kalau penghalang tidak bisa punya anak itu ada pada Mas Fathan, maka siapa pun istrinya tetap susah untuk memiliki anak!

Bagaimana kalau istri kedua juga tidak bisa hamil, Bu? Ibu akan mencari menantu yang ketiga? Lalu, Mas Fathan akan memiliki gelar laki-laki doyan kawin, begitu? Mas, Bu, saranku. Kalian introspeksi diri dulu. Dosa apa yang telah kalian perbuat di masa lalu? Sebab sedikit banyak aku pernah mendengar kalian pernah …." Sengaja aku tidak melanjutkan kalimat ini. Biarlah mereka mengingatnya sendiri.

Suaraku bergetar sebab menahan sesak di dalam dada. Namun, aku lega setelah memuntahkan amarah di dalam sini. Segera, kutinggalkan meja makan tanpa kupedulikan lagi bagaimana ekspresi keduanya. Lekas, kubawa langkah kaki menuju kamar.

Dibawah ranjang tubuhku melorot. Air mata yang sejak tadi kutahan kini kubiarkan membanjiri pipi. Menangis bukan berarti kalah dan menyerah. Kalau kamu tidak mau melepaskan aku begitu saja, maka aku pastikan hidupmu tidak akan tenang.

Kenapa akhir-akhir ini Ibu sering sekali menghina aku? Apa karena ini cara dia untuk menjatuhkan mental ini, lalu setelahnya ia akan menekan aku untuk menyetujui pernikahan anaknya lagi? Kalau seperti itu maunya, lihat saja bagaimana aku akan selalu mengingatkan dosa-dosa kalian di masa lalu.

****

Setengah tujuh malam bel di derdering nyaring. pertanda tamu yang dinantikan Ibu pun datang. Segera, kubawa langkah kaki ke arah depan untuk membuka pintu. Aku tersentak kaget melihat siapa yang ada di depan pintu. Benarkah dia? 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sunarya
ngomong ngomong yang bener
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
sibuk mengancam dalam hati. apa gunanya bacot g berguna mu. yg harus kamu lakukan tegas sebagai istri dan g usah menye2. belum apa2 sdh menangis. dasar tukang drama
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status