Hai, semuanya. Selamat datang di ceritaku ini, ya. Meskipun drama keluarga, konflik yang ada di dalamnya ringan. Cocok banget untuk kalian yang hidupnya lagi enggak baik-baik aja. Hehehe. Semoga kalian suka.
Setiap ibu pasti khawatir dengan masa depan anaknya. Lebih lagi jika mereka hanya memiliki satu anak. Hal itu pula yang membuat Nyonya Anggari terus menatap putri semata wayangnya dengan tatapan iba, bukan bahagia seperti semestinya. Berkali-kali dia harus menghela napas, mendesah, meringankan dadanya yang terasa sesak setiap melihat anaknya yang berfoto dengan para tamu. Juwita memang terlihat sangat bahagia dengan senyuman yang terus mengembang indah di wajah ayunya. Tangannya juga terus menggandeng duda yang baru dia kenal seminggu yang lalu. Entah kenapa hatinya resah. Padahal dia juga yang sangat menginginkan putrinya segera menikah."Aku gak tahu anak kita bakalan bahagia sama dia apa enggak," celetuk Nyonya Anggari yang duduk di samping suaminya.Tuan Anggari tersenyum menanggapi curahan hati Nyonya Anggari. Dia mengulurkan tangan untuk memijit pundak istrinya. "Yang penting dia udah mau nikah, Sayang. Itu yang kamu mau, kan?""Ya, tapi enggak sama duda juga, Pa. Anak satu, udah
"Kak Ju, ampun cantik banget sumpah." Siapa lagi tukang heboh yang berani mendekat ke keluarga Anggari kalau bukan junior sekaligus sahabat Juwita, Hellen. Dia memeluk Juwita dari belakang dan menempelkan pipi mereka.Juwita menoleh. Dia terkejut tapi wajahnya tambah bersinar. "Astaga, gue kira lo enggak dateng." Dia langsung bangkit dan memeluk gadis yang lebih muda darinya dua tahun itu. Senyumannya berkembang ayu di wajah cantiknya. "Enggak mungkin. Gue udah sempet-sempetin nyampe tepat waktu khusus buat lo." Hellen menguyel-uyel seniornya tersebut. "Kak. Selamat, Kak. Sumpah gue ikut seneng lo akhirnya mau nikah." Tanpa semua yang ada di meja tahu, Hellen sedang setengah basa-basi sekarang. Dia sedikit khawatir dengan sahabatnya ini. Keputusan yang diambil Juwita ini berat. Tapi, dia bisa melihat kesungguhan dari sahabatnya selama seminggu ini.Juwita tertawa. Dia melepaskan pelukannya pada Hellen. "Kamu juga cepetan nyusul, ya.""Dih, mentang-mentang udah nikah. Sekarang nodong
Mentari dan langit sedang akur untuk membuat bumi terlihat lebih indah dan cerah. Entah karena alasan apa, mereka seperti mendukung sekali kebahagiaan pasangan pengantin baru kita. Warna biru dan sinar cerah adalah kombinasi yang pas untuk menikmati hari. Jevano baru saja selesai mandi setelah membereskan semua barangnya yang ada di kontrakan. Dia berniat untuk menjemur handuknya. Matanya tidak sengaja melihat sang ayah sedang memasukkan beberapa barang yang tadi belum sempat dia kemas di ruang tengah. Dia mendesah. Hari ini adalah sehari setelah pernikahan ayahnya. Dia kira, dia dan ayahnya akan tidur di kamar hotel bintang lima, mengingat acara pernikahan kemarin digelar di sana. Pun, dari yang dia dengar, hotel itu milik keluarga ibu tirinya. Bukan, bukan maksud Jevano mau memanfaatkan fasilitas bagus yang tak pernah dia rasakan selama hidupnya. Namun, kenapa tidak sekalian saja istirahat di sana, sih, padahal badannya sudah capek sekali tadi malam. Rasanya nanggung aja. Pun ay
Juwita berusaha untuk mengabaikan perasaannya. Dia menjabat dan mencium tangan suaminya saat pria itu sudah ada di depannya. Bergantian Jevano yang menjabat tangannya. "Kalian tidur nyenyak?"Jamal mengangguk."Syukurlah." Perkataan Juwita sangat manis. "Jevano?" Dia mencoba mengambil atensi anak tirinya yang hanya diam dan membuang pandang ke arah lain."Hmm?" Pemuda itu hanya melirik sebentar, masih dengan wajah datarnya."Kamu tidur nyenyak?" tanya Juwita sabar."Hmm." Hanya gumaman dan anggukan kecil dari Jevano sebagai jawaban.Mimik wajah Juwita sedikit berubah memandang Jevano. Dia merasa tidak dianggap. Dia pun menoleh dan langsung mengubah air mukanya saat sang suami mengelus lengan atasnya."Papa sama Mama?" tanya Jamal."Di dalam. Ayo masuk. Aku udah siapin makanan buat kita semua." Juwita kembali riang.Mereka memasuki rumah."Kamu yang masak?" Jamal berjalan di sebelah Juwita. Jevano membuntut di belakang."Hehehe. Enggak. Cuma bantu dikit-dikit doang, sih. Bibi yang masa
Acara sarapan di rumah utama keluarga Anggari selesai. Jamal langsung dilambai oleh mertuanya untuk mengikuti ke lantai dua. Tuan Anggari membawanya ke ruang kerja yang ada di rumah tersebut.Sepanjang langkahnya menuju ruangan itu, Jamal menerka-nerka apa yang akan dibicarakan oleh Tuan Anggari dengan dirinya. Jantungnya berdegup kencang. Dia tidak boleh salah atau paling tidak, dia tidak boleh terlihat kikuk di depan papa istrinya. Dia harus terlihat mempunyai wibawa meskipun tidak sempurna dan masih menjaga kerendahan hati.Tuan Anggari mempersilakannya masuk. Lalu, dia yang menutup pintu ruang kerja itu."Santai saja. Saya tidak akan menginterogasi kamu, Jamal." Tuan Anggari menepuk pundak Jamal dan tersenyum. Dia melangkah ke dekat jendela.Jamal mengikuti langkah mertuanya dan tetap menjaga jaraknya, sekitar tiga langkah di belakang. "Ada keperluan apa, sekiranya saya dipanggil ke sini ... Pak?"Tuan Anggari terkekeh sambil berbalik badan ke belakang. "Panggil saya Papa, Jamal.
Tuan Anggari menghela napas panjang. Dia melihat kejadian di bawah itu dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kamu urus mereka, Jamal. Berbuat bijaklah dan jangan sampai membuat salah satu dari mereka merasa terabaikan atau tersisihkan. Sejujurnya, berat menjadi seorang kepala keluarga karena kita tidak bisa langsung memihak salah satu antara anak atau istri." Tuan Anggari menepuk bahu menantunya. "Selamat menikmati kebersamaan dengan keluarga kecilmu. Papa percayakan kepada kamu, Jamal." Lalu dia meninggalkan Jamal di ruang kerjanya dan menuju kamar. Dia teringat bahwa istrinya akan pergi karena ada telepon dari seorang klien tadi dan sekarang sedang bersiap di kamar. Dia akan ikut pergi juga saja dan membiarkan keluarga baru itu memiliki momen mereka di rumahnya ini. Bersyukur juga istrinya tidak melihat kejadian ini tadi. Bisa panjang nanti urusannya. Di kolam renang ... Kini Jamal menghadap Jevano yang menunduk dalam keadaan basah kuyup di depannya.
Juwita sudah diperiksa dan dokter mengatakan bahwa kakinya tidak mengalami patah atau retak. Hanya terkilir biasa dan pasti akan sembuh dalam waktu dekat. Hal itu membuatnya lega. Setidaknya dia tidak perlu repot-repot untuk diberi gip atau apalah itu untuk tulang retak dan patah. Pasti pemulihannya akan lama juga."Cie yang abis berbuat malam pertama sampai enggak bisa jalan. Dibawa ke rumah sakit loh sampaian." Suara jahil nan familiar itu langsung masuk ke telinga Juwita.Dia menoleh ke sumber suara dan benar saja wanita dua tahun lebih muda darinya yang mengenakan seragam dokternya sedang berdiri di sana. Hellen bersendekap sambil memandangnya dengan tatapan menggoda.Juwita membelalakkan matanya sambil memeriksa sekitar, sekiranya ada orang yang mendengarkan ucapan wanita itu. Akan sangat memalukan jika ada yang mendengarkan selain mereka. Untungnya tidak ada yang peduli, semua orang sibuk dengan urusan mereka s
Jamal menutup pintu kamar Juwita di lantai dua rumah utama Keluarga Anggari itu dengan pelan. Kamar itu otomatis menjadi kamarnya juga. Keadaan rumah juga hening. Dia tidak mau membuat kegaduhan meskipun hanya suara pintu. Saat mengangkat pandangannya, keningnya berkerut karena mendapati anak laki-lakinya berdiri tak jauh dari sana. Kini, di rumah besar itu hanya tinggal keluarga kecilnya dan para pelayan. Kedua mertuanya sudah pergi sedari tadi. Bahkan Tuan Anggari sengaja mempercepat kepergiannya dengan sang istri dan tidak membiarkan wanita itu untuk mengetahui tentang kejadian yang anaknya alami. Bisa gawat nanti. Mungkin Jamal harus berterima kasih kepada mertuanya untuk itu. Jevano mendekat dengan langkah bimbang. Dia sedikit menggigit bibir bawahnya. Beberapa jemarinya tertaut sedikit bergetar. "Ayah," sapanya yang terdengar seperti tawanan yang bersalah. Jamal menghadap penuh ke anaknya. "Ada apa, Jev?" tanyanya santai. Dia melihat gelagat anakn