Share

Bab 2 BERHARAP SEMUANYA HANYA MIMPI

"Inalilahi wainalilahi rojiun," ucap Paman Dude ketika sudah selesai menyentuh pergelangan tangan Rendi.

Wanita muda berparas cantik itu menjerit histeris, menangis terisak-isak tak terima jika sang suami telah pergi untuk selama-lamanya.

Dian memeluk jasad sang suami begitu erat di pangkuannya. Sambil mencium pipi suami yang amat di sayanginya untuk yang terakhir kali.

Dian begitu syok tak terima jika sang suami yang amat dicintainya harus dinyatakan meninggal dunia.

Akhirnya Dian pun tak kuasa, ia lemah dan jatuh pingsan.

Tak percaya nasib suaminya begitu tragis, kalau saja hari ini tidak ada Sari si janda kembang itu mungkin Dian pun tak akan menjadi janda di tinggal mati.

***

Di tengah kerumunan tetangga dan kerabat dari Emak Jamilah yang sedang melayad rumah duka, terlihat Diandra yang masih terbujur kaku di atas ranjang. Wanita muda itu masih belum sadarkan diri, sedangkan sang nenek sudah berusaha agar cucu satu-satunya terbangun kembali.

Wanita paruh baya itu mengusap pipinya yang telah basah dengan cairan yang terus luruh dari pelupuk. Hari ini baginya teramat sakit, hatinya begitu hancur. bagaimana tidak, suami Diandra telah meninggal dunia dan Diandra sampai detik ini belum sadarkan diri.

"Kasihan sekali Dian ya Mak, baru saja menikah, sudah jadi janda lagi," bisik Bu Marni yang terharu melihat keadaan itu.

Mak Jamilah mengambil air dingin lalu ia berdoa memohon agar cucunya cepat sadarkan diri. Sebab tak kuasa kalau harus ditinggalkan. Tiada lagi yang selalu menemani hari-harinya selain Dian.

'Ya Allah sadarkanlah cucuku, aku tak sanggup kalau harus kehilangan dia. Aku mencoba ikhlas untuk kehilangan Rendi -suami cucuku tapi aku belum sanggup kalau kehilangan Dian,' ungkap batin Mak Jamilah berdoa, dari lubuk hatinya yang paling dalam ia memohon agar secepatnya Dian di sadarkan.

Setelah itu Mak Jamilah meniupkan pada air yang saat ini sedang di genggaman tangan yang telah keriput itu.

Mak Jamilah mengeluskan pelan air tersebut pada kening dan seluruh badan cucunya, berharap doanya di Kabul oleh yang Maha Kuasa.

Setelah beberapa menit akhirnya tubuh Dian bergerak pelan.

"Mas Rendi, Mas Rendi." Hanya nama itu yang pertama kali keluar dari mulut Dian. Membuat Mak Jamilah dan ibu-ibu yang lainnya menjadi iba dan terharu.

"Alhamdulillah Mak, Dian sadar. Tapi Dian panas sekali, mungkin karena terlalu syok makannya jadi demam begini," ujar salah seorang tetangga Mak Jamilah, Bu Syaidah manusia yang paling alim sekampung.

"Alhamdulillah," ucap Mak Jamilah amat terharu, "Terimakasih Ya Allah."

"Nak bangun," perintah Mak Jamilah sambil terus mengeluskan air pada wajah Dian yang masih bergumam menyebut nama sang suami.

Dengan pelan wanita muda itu membuka mata, dia mulai celingukan mencari keberadaan sang suami yang tak ada disisinya lagi.

Dian berusaha bangkit dari rebahnya dibantu juga oleh Bu Saidah yang masih menemani Mak Jamilah.

"Mak, Mas Rendi mana?" tanya Dian begitu pilu, membuat Mak Jamilah tak kuasa untuk menjawab semuanya yang telah terjadi.

"Bukankah kamu sudah tau Dian? Kalau suamimu sudah pergi untuk meninggalkan kita selamanya," ungkap Bu Saidah membantu menjawab pertanyaan Dian.

"Dian pikir yang terjadi pada Mas Rendi itu hanya mimpi semata Mak! Apakah benar Mak, Mas Rendi meninggal, Mak dan Bu Saidah pasti bohong 'kan? Kalian lagi ngerjain Dian, lantaran mau bikin surprise ulang tahun Dian 'kan. Dian tau kok," ungkap Dian seraya air mata yang tak hentinya mengalir ke pipi.

Seharusnya hari ini adalah hari spesial baginya, akan tetapi malah sebaliknya. Di hari ulang tahunnya ini Dian malah harus kehilangan orang yang amat di cintainya.

Dian menggelengkan kepala sebab tak percaya dengan hari ini, wanita berhidung mancung itu berharap bahwa semuanya hanyalah mimpi semata. Akan tetapi ini nyata adanya.

"Mak, katakan kalau Mas Rendi tidak meninggal?!" ungkap Dian penuh penekanan.

Mak Jamilah hanya menggelengkan kepala iya mengiyakan apa yang memang sudah menjadi takdir.

"Suamimu telah beres dikuburkan Nak, tadi kamu tak sadarkan diri terlalu lama, dan kalau menunggu kamu sadar pun, pasti kamu tak kuasa melihat pemakaman suamimu sendiri," papar Bu Hajah Karmila mengingatkan.

"Tidak! Suamiku tidak meninggal! Kalian semua bohong!" Tangis isak Dian tidak bisa di ingatkan. Hati istri mana yang bisa menerima jika suami yang amat dicintainya harus pergi dahulu meninggalkannya seorang diri.

"Eling Nak (sadar). Ini sudah guratan takdir dari Gusti Allah bahwa kalian harus berpisah secepat ini, sekarang kamu shalat ashar Nak. Doakan Rendi, ikhlaskan suamimu pergi, agar dia bisa tenang di alam sana. Menangis tidak akan membuat suamimu bahagia disana. Sabar ya Nak, semoga Allah memberimu kesabaran yang luar biasa," tutur Mak Jamilah mencoba menyadarkan sang cucu yang masih tidak terima dengan kepergian sang suami yang sangat cepat itu.

"Benar kata Mak Jamilah, lebih baik kamu berdoa memohon pengampunan agar dosa suamimu dimaafkan dan semoga Rendi tenang dialam sana," ujar Bu Saidah.

Dengan berat hati Dian bangkit dari duduknya, walaupun badannya kini terasa lemas, namun bagaimanapun caranya shalat ashar adalah kewajiban, jadi ia harus melaksanakan terlebih dahulu.

Mak Jamilah tersenyum kecil ketika melihat cucunya mau melaksanakan sholat, setidaknya Dian masih kuat untuk menghadapi kenyataan yang begitu pahit ini.

Setelah Dian melaksanakan shalat, ia masih betah duduk di hamparan sajadah sambil menengadahkan kedua tangannya. Maka saat itu juga bulir-bulir bening mengalir tanpa permisi.

"Ya Allah aku mohon, ampuni dosa suamiku, tempatkan dia di tempat yang paling indah di surga-Nya. Semoga amal ibadahnya diterima. Amin." Pada saat Dian mengucapkan Amin, saat itu juga air matanya semakin deras.

Jika saja takdir bisa di tukar, lebih baik Dian harus kehilangan nyawanya sendiri, dari pada harus kehilangan nyawa suami yang amat disayanginya itu. Pernikahannya terlalu indah untuk ditinggalkan. Namun, apalah daya kami umat manusia hanya bisa tabah dan pasrah, semuanya hanya Allah yang mengatur. Kalau di ibaratkan kita hanya jadi pemeran, bukan sutradara.

"Dian kamu makan dulu, jangan biarkan cacing di perutmu kelaparan kasihan mereka," ajak Mak Jamilah.

Dian menoleh pelan pada kediaman sang nenek yang masih di ambang pintu menunggunya. Matanya yang keriput itu terlihat bengkang lantaran telah tak hentinya menangis.

Wanita yang Dian anggap sebagai ibunya itu telah tua, jika saja melihat Dian selalu terpuruk seperti ini pasti Mak pun akan ikut frustasi sama seperti Dian.

"Baik Mak, tapi Dian mau melipat dulu mukena. Mak tunggu saja bersama ibu-ibu yang lainnya," sahut Dian sambil melepas mukena yang telah melekat menutupi tubuhnya.

Dian menyimpan kembali mukena itu pada lemari kamarnya yang biasa Dian simpan di tempatnya.

Pada saat menyimpan mukena, lagi-lagi Dian harus melihat fotonya bersama sang suami di masa dulu.

Pipi yang sempat beberapa saat mengering karena di lap. Akhirnya air mata luruh kembali bersama rasa sesak di dada.

"Mas, mengapa secepat ini kamu harus meninggalkan aku. Aku pikir kita akan secepatnya punya anak. Mas kamu pernah bilang sama aku, kalau kamu akan menjagaku dan selalu menemaniku. Tapi nyatanya apa? Kamu malah pergi lebih dulu," ungkap Dian begitu sendu sambil tangan memegang foto.

"Dian ayo makan," ajak Mak Jamilah ketika Dian masih belum menghampirinya.

Mak Jamilah khawatir kalau cucunya di tinggalkan sendiri, maka dari itu ia akan terus bawel dan selalu menemaninya.

"Iya Mak sebentar," kata Dian sambil menyimpan lagi foto bersama suaminya itu.

Dian melangkah dengan penuh kesedihan untuk menghampiri Mak Jamilah yang terus memaksanya agar makan.

"Makan ya Nak, kasihan perutmu sudah terus berbunyi dari tadi," papar Mak Jamilah.

"Mak nanti antar aku ke makam Mas Rendi ya?"

Mak Jamilah hanya menganggukkan kepala saat cucunya meminta permintaan yang amat sederhana.

***

Di gundukkan tanah yang masih memerah ini, Dian berharap suaminya tenang di alam sana. Dian janji, bahwa al fatihah selalu ia kirimkan untuknya setiap saat, setiap jam bahkan Mungkin setiap detik.

Dian membuka tutup botol Aqua yang di bawanya, lalu menyiram gundukan tanah merah tersebut dengan air bening. Ia selalu berharap bahwa semuanya hanyalah mimpi, akan tetapi wanita muda itu harus sadar dan lebih sabar lagi bahwa Rendi memang telah tiada.

'Andai kamu tau bahwa hatiku hancur berkeping-keping. Rasanya aku tak bisa hidup tanpamu, rasanya sakit, bagaikan terperosok dalam jurang yang amat dalam lalu di cabik-cabik oleh belati berkarat,' batin Dian merintih.

Dian menatap nama yang terpampang di batu nisan. Semoga suaminya bahagia disana, doa nya selalu menyertai Rendi.

Dian menghela nafas yang terasa berat . Tak kuasa bila ia terus disini memandangi nama di batu nisan itu.

"Mak, ayo kita pulang."

Setelah menaburi bunga pada gundukan tanah yang masih merah itu, semakin Dian merasakan nyeri yang teramat dalam.

"Sabar ya Dian. Semoga kamu kuat menghadapi semua ini. Mak tau kamu wanita yang kuat, yang tangguh dan kamu bisa menjalankan hidup tanpa suamimu itu," papar Mak Jamilah menasehati sang cucu.

"Mak aku menyesal. Dulu aku selalu teledor padanya, bahkan untuk mencium tanganya saja aku malas karena aku terlalu fokus dengan ponsel sebab selalu sibuk main game, dan selalu bangun tidur kesiangan. Aku menyesal Mak. Rendi pria yang terbaik yang aku kenal," ungkap Dian ketika mengenang almarhum suami.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status