Share

Part 03 - “Orang Pinter”

Part 03 - “Orang Pinter”

Aku berjalan mondar mandir sambil menggigitin kuku sebagai bentuk kebiasaanku kalau sedang panik.

Oh ya ampun, gimana bisa baru seharian sm si Jun, gue udah megang …. Ah jangan dilanjutkan.

Sekarang mending mikirin kenapa itu orang bisa masuk dan mandi? Apa nggak ada permisinya gitu. Dikira semalam beneran udah gentle, taunya? 

“Sonia! Bisa jelasin apa maksudnya tadi?!” tuntutnya membuatku terperanjat saat mendengar suara baritonnya.

Aku berbalik dan melirik sedikit dirinya. Terlihat ia kini sudah berpakaian dengan rambut yang dibiarkan sedikit acak-acakan dan beberapa tetesan air masih berjatuhan ke bajunya.

“Loh, saya yang harusnya tanya bapak ngapain di sini?!” balasku tak ingin disalahkan sepenuhnya.

“Kamu itu selain tidur kayak kebo, apa matamu juga buta?” Pak Arjun mendekatiku dan mulai memasang wajah galaknya. “Nggak lihat saya lagi mandi main nyosor aja itu tangan. Sengaja ya mau godain saya?!” tudingnya berlebihan

“Ih! Jangan ke ge-eran deh, Pak!” sahutku sambil mikir sejenak. “Saya kalau tidur emang susah dibangunin, terus sekalinya bangun ya kebiasaan saya gitu, nyalain shower biar airnya hangat. Lagian bapak mau mandi kenapa pintu nggak dikunci?” Aku berusaha mencari cela untuk membenarkan diri.

“Saya sempat kunci, tapi macet. Terus saya coba buka lagi malah rusak itu engselnya. Terus kenapa saya nggak liat kamu, ya karena mata saya lagi kena shampoo!” balasnya memberi penjelasan yang sangat masuk akal dibanding alasanku yang semuanya didasari atas kebiasaan buruk.

“Lagian kamu tuh, dibangunin susah banget, saya harus minta tolong resepsionis bukain pintu kamar kamu. Abis itu saya bangunin kamu, tapi tetap nggak mau bangun. Ya udah saya mandi,” tambahnya lagi yang membuatku tersudut bahwa ya memang semua ini kesalahanku yang tidur kayak kebo.

“Ya, udah deh, saya minta maaf karena ceroboh dan nggak sengaja pegang ….”

“Udah lupain yang tadi!” Dia menyela. “Mending sekarang kamu mandi, saya mau sarapan di bawah.”

“Ehhh, Pak.” Aku menahannya yang hendak keluar.

“Apa lagi?!” tanyanya galak.

“Itu, semalam saya pesan kamar ini tanpa sarapan,” kekehku tak merasa bersalah.

Pak Arjun hanya menghela napasnya kasar. Lalu ia kembali melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar. Akan tetapi, aku tak tahan dan nggak mau buat dia dikira habis ngapa-ngapain di kamar ini sama aku.

“Pak,” panggilku lagi. Pasti baginya aku sudah sangat menyebalkan karena merusak paginya hari ini.

“Apa lagi, Sonnn …!” erangnya dengan suara geraman yang tertahan.

“Itu …, anu, Pak. Resleting bapak belum ketutup. Saya kasih tahu karena saya nggak mau—”

Tanpa menunggu aku melanjutkan ucapan, dirinya langsung berbalik membelakangiku dan menutup resleting yang masih terbuka.

“Makasih!” jawabnya ketus. “Udah buruan mandinya, abis itu kita cari sarapan dan lanjut jalan. Dua puluh menit nggak selesai, saya tinggal kamu!” titahnya sambil menunjukkan dompet dan ponsel yang sudah diambilnya.

Lalu pak Arjun keluar dan dengan segera aku bergegas masuk ke kamar mandi.

-

Selang dua puluh menit kemudian. Aku turun menuju lobi dan melihat pak Arjun tengah berada di depan sedang menerima panggilan selular dari seseorang sambil berkacak pinggang ia menunjukkan ekspresi kesal hingga akhirnya ia menyudahi panggilan teleponnya saat berbalik dan melihatku sudah mendekat.

“Sudah check out?”  tanyanya langsung.

“Sudah, Pak.”

“Ya udah, ayo kita cari sarapan.” Dia memimpin jalan menuju mobilnya tanpa basa basi lebih.

Entah siapa dan apa yang membuat mood-nya pagi-pagi jadi dingin kayak udara di Bogor pagi ini. Bener kata orang tentang kota Bogor yang disebut sebagai kota hujan. Karena sejak semalam sudah hujan sekarang kalau aku perhatikan langit, awan hitam kembali datang dan siap membuat kota ini diguyur hujan kembali.

“Mau makan apa kamu?”

Aku menoleh saat akhirnya si Jun membuka suara usai berjalan kurang lebih lima menitan setelah keluar dari hotel. 

“Terserah Bapak aja,” jawabku membiarkan dia saja yang memilih, karena aku memakan segala jenis makanan.

“Nggak ada nama makanan terserah bapak aja. Tentuin sekarang lihat di sekitar kamu!” tegasnya kembali galak.

Aku hanya mampu mendelik daripada menjawab disaat moodnya sedang up and down. Bisa-bisa nanti aku beneran di depak dari mobilnya dan ditinggal tanpa tahu arah pulang kayak butiran debu.

“Itu aja deh, Pak. Bisa kayaknya kita nepi dan makan di dalam mobil kalau-kalau bapak nggak nyaman makan di pinggir jalan,” ujarku menunjuk pondok tukang nasi uduk.

Arjun hanya mengangguk dan mulai menepikan mobilnya ke pondok nasi uduk yang aku tunjuk. Aku melepaskan sabuk pengaman dan bersiap untuk ke luar dari mobil.

“Bapak, ikut turun atau saya yang pesenin?”

“Kamu aja yang makan, saya nggak biasa makan nasi pagi-pagi.”

“Ya, kalau gitu bilang dari tadi, Pak. Ya udah kita cari ma—”

“Udah kamu beli sana. Saya nggak mau nanti pas lagi asik nyari tempatnya kamu ribut mau makan lagi.” Pak Jun menyela lengkap dengan alasannya dia mau ngasih aku sarapan.

“Ya udah saya beli untuk makan di jalan, biar kita cepet ketemu tempatnya,” putusku tanpa menunggu jawaban bergegas turun dan membeli satu bungkus nasi uduk.

Beberapa menit setelah membeli dan kami kembali berjalan, aku baru saja menyelesaikan sarapanku.

“Udah kenyang?” tanyanya.

“Udah, Pak.”

“Bagus deh, karena kita sudah sampai,” katanya memarkirkan mobil di depan sebuah rumah sederhana.

Kami turun dan bergegas masuk lalu seorang wanita paruh baya menyambut kami dengan ramah. Aku memerhatikan rumah tersebut dari luar sampai ke dalam tampak biasa saja, tak seperti bayangan rumah dukun seperti yang sering aku lihat di acara sinetron azab yang judulnya panjang.

“Silakan diminum, Non,” kata wanita bertubuh gemuk yang sejak tadi menyambut kami. Seorang ibu-ibu yang tampak biasa saja, beneran nggak terlihat seperti ‘orang pinter’.

“Bapaknya ada kan, Bu?” tanya Pak Jun.

Ah, akhirnya aku paham. Ternyata memang bukan si ibu yang jadi orang pinternya.

“Ada, dia tahu ada yang mau dateng, perempuan dan laki-laki yang pernah ke sini. Katanya saya disuruh sambut dulu, karena dia lagi berdoa sebentar.” Ibu paruh baya itu tersenyum setelah mengucapkan kata-kata yang membuatku cukup tercengang.

“Beneran tahu, apa ngarang karena kita udah di depan mata?” Aku berbisik pada pak Arjun saat wanita itu masuk ke belakang rumahnya setelah pamit untuk mengecek si Bapak yang dimaksud ‘orang pinter’.

“Hush, diam kamu!” Pak Arjun malah galak.

Tak berapa lama menunggu kami pun disuruh masuk ke tempat si bapak orang pinter. Kali ini barulah aku merasakan atmosfer ala-ala dukun saat melihat ke sekeliling ada beberapa kris dipajang pada dinding ruangan. Lalu ada sebuah meja yang diletakan kembang dan kopi serta beberapa botol kecil wangi-wangian yang dijual di tukang kembang warna merah putih untuk biasanya ditabur di makam seseorang.

“Jadi gimana, Dek Arjun? Sempat nyasar ya?” tanya si bapak orang pinter tadi.

“Iya nih, Pak. Kami sempat nyasar dan malah jadi nginap dulu semalam.”

Tunggu, itu si bapak emang dikasih tahu ya sama si Jun kalau kita nyasar? Jujurnya aku nggak percaya sama hal-hal kayak ginian. Namun, jika mendengar sesuatu yang diketahui orang pinter ini tanpa kita kasih tahu, rasanya mau percaya atau nggak sih.

“Iya, saya dibilangin katanya ada pasien nyasar, tapi udah dibantu arahin pagi-pagi tadi pas mau jalan,” ujar lagi si bapak. “Gimana Neng nasi uduknya enak?” tanyanya padaku yang makin tercengang akan pertanyaan itu.

Dia beneran tahu apa gimana? Apa ada bekas makanan di bibirku?

“I-iya, Pak,” jawabku sekenanya. Karena aku ngerasa agak hambar aja tadi masakannya, katanya sih kalau gitu aura makananya udah dihirup sama mahkluk halus. Padahal mah emang masaknya kurang bumbu aja kali ah.

Lanjut si bapak pinter itu noleh ke pak Jun. “Jadi, mau tanya apa, Dek. sampai jauh-jauh datang ke sini. Tanpa ajak nenek kamu juga lagi, kan jadi nyasar,” kata si bapak berperawakan sedikit kurus dengan janggut putih memakai peci hitam. Kulitnya sudah mulai keriput walau terlihat masih sehat dan segar.

Si bapak pinter ini hanya mengenakan kemeja batik dan celana panjang hitam dengan kain sarung yang dililit pada pinggangnya.

“Oh, ini kemarin kan kata Bapak, saya disumpah orang makanya yang deketin saya janda melulu. Nah saya kemarin siang lagi ngecek restoran tempat usaha saya, kebetulan banget ketemu Sonia -mantan mahasiswi saya di kampus- Dia ngaku ada nyumpahin saya dapat jodoh janda anak satu,” tutur pak Jun.

Si orang pinter itu tersenyum sambil ngangguk. Entah bagian mana yang lucu?

“Paham, Bapak. Jadi kamu bawa ke sini mau minta dihilangkan gitu sumpahnya?” tanyanya kok tepat? Tau deh nih bapak-bapak, makin lama makin bikin aku nggak bisa mikir pakai nalar lagi, karena kayak ada yang bisikin dia dari semua yang disampaikannya.

“Iya, Pak. Kira-kira bisa tidak ya, Pak?”

“Nggak bisa, Dek Arjun,” katanya langsung. “Kata ‘Eyang’ bukan perempuan ini yang sumpahnya kena ke kamu. Soalnya saya lihat perempuannya seumuran mama kamu.”

Tuh kan bener, jadi dari tadi si bapak manggut-manggut sambil ngelirik meja sajen itu mungkin ada mahkluk yang kasih tahu dia.

“Jadi, gimana ya Pak supaya ….”

“Nggak bisa dibatalin sumpahnya, Dek Arjun. Tapi ini perempuan, siapa tadi namanya, Neng?”

“Sonia, Pak.” Aku menjawab.

“Tapi Neng Sonia ini nanti yang bisa bantu kamu. Dia ini punya aura bagus.”

Fix kali ini aku percaya deh sama dia. Emang banyak orang tua yang kalau ketemu aku, bilangnya auraku ini bagus. Walau aku nggak paham maksudnya gimana itu aura bagus. Aku tahunya Aura kasih, yang semok gitu dadanya, kekehku ngawur. Maaf mba Aura.

“Maksudnya gimana, Pak?” tanya pak Arjun yang juga mewakili isi kepalaku.

“Ini si Neng Sonia kalau deket kamu, kamu bisa ketemu jodoh. Entah itu janda atau gadis, tapi yang jelas kamu bakal seneng nanti hidupnya, usahanya juga makin lancar.”

Pak Arjun dan aku saling menatap. Aku tersenyum kikuk masih belum paham gimana maksudnya si bapak pinter itu.

“Maksudnya aku harus jadi mak comblangnya, Pak Arjun kah?” tanyaku berbisik.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status