Share

JANDA CANTIK SANG CEO AROGAN
JANDA CANTIK SANG CEO AROGAN
Penulis: Emde Mallaow

PART 01

       RING ROAD Barat, Taman Tirto, Bantul.

       Cuaca terik dan kering di bulan Juni. Angin selatan yang cukup kencang membentuk be berapa tornado kecil di sekitar pelataran sebuah kampus yang sangat luas. Ups...! Jasman cepat mengatupkan kedua matanya seraya selembar daun kering yang melayang dan menerpa wajahnya.

       Seorang teman satu fakultas dengannya merangkul lehernya dari belakang. Ia bernama Fadli, namun akrab dipanggil Fadel. “Pulang, yuk!” ujarnya, mengajaknya pergi dari tempat itu.

      “Eh, lu. Piye hasile? Sudah diterima judul skripsi, lu?”

      “Alhamdulillah, akhirnya lolos, bro!” sahut Fadli seraya tersenyum senang.

      “Wah, selamat ya, bro, gua ikut senang?”ucap Jasman tersenyum sembari menyodorkan tangan kanannya ke Fadli dan disambut dengan genggaman erat oleh Fadli.

      “Terima kasih, bro!”

      “Sama-sama, bro,” sahut Jasman sembari membalas rangkulan pada leher Fadli. Keduanya melangkah menuju timur, menyusuri halaman depan kampus yang luas,

        “Lu sendiri gimana hasilnya?” tanya Fadli.

        “Dosen pembimbing gue ada seminar lagi hari ini. Lusa sore sudah janjian ketemu.”

       “Hm. Mudah-mudahan ntar kita bisa wisuda bareng, ya?”

       “Aamiin...!” Mendadak Fadli menahan langkahnya sehingga langkah Jasmanmu tertahan, tampaknya ia sedang mengingat sesuatu.

    “Kenapa...?” tanya Jasman.

      "Lu nggak ke parkiran dulu?"

        "Oh, motor gua lagi di bengkel," sahut Jasman sembari menatap wajah lawan bicaranya.

       "Kok nasib kita sama, sih? Kapan lu gadainya?”

     “Kemaren." 

     “Gua dua hari yang lalu.”

       Sekilas Fadli menoleh ke wajah Jasman, "Ah, biasalah itu, bro. Bukan anak kost namanya kalau belum pernah menginjakkan kakinya di kantor pegadaian."

       Keduanya pun tertawa kecil. Udara terasa semakin panas dan kering. Sepanas dan sekering isi dompet mereka.

     "Gua butuh uang yang cukup buat skripsi, biaya hidup, serta tetek-bengek lainnya. Gua belum bisa menerima kiriman dari kampung setidaknya dalam satu dua bulan di depan. Bokap gua lagi sakit keras dan perlu biaya perawatan yang tentu saja tak sedikit," Jasman sedikit curhat. Ia dan Fadli sudah berteman akrab sejak sama-sama menjadi mahasiswa di kampus ini. Mereka berdua merasa senasib, karena sama-sama sebagai mahasiswa perantau.

      "Nggak apa-apalah. Semoga skripsi kita cepat beres," Fadli memberi semangat.

      "Aamiin. Terus lu nggak pulang ke Aceh dulu sebelum pendadaran?"

       "Belum, bro. Rencana gua sekalian setelah wisuda saja."

       Setelah keluar dari gerbang kampus, seharusnya keduanya akan menyeberangi Ring Road. Namun sontak Jasman menghentikan langkahnya sembari mencengkeram pundaknya Fadli. Di seberang sana, di hadapannya sana, di natara kerumanan pejalan kaki lainnya, ia melihat Ningrum, mantan kekasihnya. Gadis yang juga kuliah di kampus yang sama dengannya tetapi beda fakultas itu tidak sedang berjalan sendirian, tetapi berdua bersama seorang cowok di sampingnya, pacar barunya. Namanya Hendri Soma, anak kampus lain. Ningrum terlihat menikmati sikap romantis yang diberikan oleh cowok barunya itu kepadanya. Demikian erat tangan cowok itu menggenggam tangan Ningrum saat keduanya berjalan menyeberangi jalan.

      Kendati saat ini dirinya tak lagi menjadi kekasih gadis cantik yang berdarah ningrat Jogja itu, namun ketika melihat pemandangan yang romantis demikian, tak urung membuat dada Jasman bergemuruh dan rahangnya terasa kencang dan keras, sekeras kepalan tangannya. Marah akibat rasa cemburu yang membuncah, membuat pemuda ganteng pemegang sabuk hitam dari beberapa jenis seni beladiri yang berbeda ini tetap jua terpancing emosinya. Ingin rasanya saat itu ia memberi pelajaran kepada kekasih baru sang mantannya itu!

      "Eits, jangan cari perkara!" Fadli mencegat, sembari merangkul tubuh Jasman dan membawanya pergi dari tempat itu, menuju ke arah Utara. “Sabaaar, sabaar...!”

      Rupanya pemuda Aceh itu telah melihat dan mewaspadai gelagat dan kondisi tersebut. Dan ia merasa bersyukur karena Tuhan mengirimnya tadi untuk menemani pulang sang sohibnya yang tampan nan perkasa itu. Jika tidak, tentu Jasman bisa saja menghajar kekasih baru mantan kekasihnya tanpa ada yang melerainya. Ia nggak bisa membayangkan tubuh pacar barunya Ningrum yang bergaya alay sempoyongan ke sana ke mari karena dihajar oleh tangan kekar dan berbulunya Jasman. Ckckckck.

      Shohibnya ini, sekalipun seorang yang sudah berlabel pendekar dari beberapa aliran beladiri yang pernah digelutinya, namun terkadang masih suka memperlihatkan emosi darah mudanya, seperti yang ditampakkannya barusan. Ya, mungkin sikap yang wajar saja. Laki-laki mana pun akan merasakan sangat sakit jika kekasih yang sudah lama dipacarinya tiba-tiba harus dipaksa pindah ke lain hati...Ah, bukan, maksudnya, pindah ke cintanya laki-laki lain. Dalam hal hati dan cintanya Ningrum kepada Jasman, sebagaimana keyakinan Jasman sendiri, tak akan berpindah ke lain hati. Hati mereka sama-sama tak akan berpindah ke hati yang lain. Mereka telah mengikrarkan untuk senantiasa menjada cinta mereka itu. Lalu di sebuah kedai sate kambing keduanya mampir.

      Untuk menenangkan emosi sahabatnya itu, Jasman mengajaknya untuk mampir ke sebuah restoran sate kambing. Restoran yang berada tak jauh dari kampus mereka itu tidaklah luas selayaknya sebuah restoran. Bentuknya memanjang tetapi ruangannya cukup bersih dan tertata dengan apik. Malah mirip sebuah kafetaria. Ia dan Jasman mengambil meja di bagian pojok barat belakang, berdekatan langsung dengan hamparan persawahan yang saat itu padinya tengah menguning.

      "Sudahlah, bro, nggak usah dipikirkan lagi," nasihat Fadli seraya menepuk punggung Jasman, ketika dilihatnya temannya itu mendadak menjadi pendiam. "Lagi pula lu nggak punya alasan untuk memberi pelajaran terhadap cowok barunya Ningrum itu. Dia nggak tahu apa-apa. Lagi pula kalian kan sudah resmi putus. Yeah, kecewa dan cemburu itu pasti masih ada, tapi apa gunanya menyiksa perasaan terhadap orang yang tengah mencintai orang lain?!"

Jasman memandangi wajahnya Fadli. Sebiji jerawat di ujung hidungnya tampak sudah matang. "Sepertinya kalimat lu yang terakhir pernah gua baca di status F******k-nya seseorang. Kalau nggak salah...di status F*-nya Bang Emde Mallaow...?"

      "Iya memang!"

      Keduanya pun tertawa.

      Dua porsi sate kambing berikut nasi dan dua gelas es jeruk terhidangkan di meja di hadapan mereka.

      "Gua tidak sedang memikirkan dia atau kejadian tadi," ucap Jasman sembari mengaduk es jeruknya.

      "Lantas?" tanya Fadli, seolah kepada tumpukan sate di hadapannya.

      "Jasman memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya, lalu satu tusukan sate. "Lu punya kenalan yang bisa dimintai kerjaan nggak?"

      Fadli mengunyah, lalu berkata, "Kalau di Jogja nggak ada, bro. Kalau di Banda Aceh ya banyak. Memangnya lu mau kerja apaan?"

      "Ya kerja apa saja, asal halal dan bisa untuk mencukupi kebutuhan gua selama tak dapat kiriman dari kampung. Kebetulan juga gua sudah bebas teori, jadi daripada nggak ada kesibukan ya bisa diisi dengan bekerjalah."

      Fadli manggut-manggut. "Ya coba ntar gua cari info ke teman-teman gua, bro, siapa tau ada."

      "Ok, terima kasih sebelumnya, bro."

      Handphone Fadli berbunyi. Panggilan telepon. "Ya, halo...? Hm, ok gua balik sekarang kalau begitu. Lu tunggu dulu di situ, ya?"

      "Ada teman, sudah ada di kost," Fadli memberitahukan pada Jasman, lalu merampungkan makanannya.

      "Ya lu balik aja dulu, gi."

      "Terus lu?"

      "Gua di sini aja dulu sebentar, ingin santuy-santuy dulu," sahut Jasman. Disedotnya es jeruknya dengan pipet.

      "Well, kalau gitu. Gua tinggal, ya? oh ya, biar gua traktir."

       Jasman memperlihatkan jempolnya, “Terima kasih, bro.”

      “Ok, bro, santuy aja.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status