Share

PART 02

       Sepeninggal Fadli, dan setelah menyelesaikan makanannya, Jasman pun berkonsentrasi pada layar hapenya, berselancar di dunia Maya. Karena dia masih belum mood untuk memosting status F*-nya, maka dia hanya menelusuri status teman-temannya saja. Sekalipun tak sempat untuk memberikan komentar, setidaknya ia selalu berusaha untuk menitipkan jempol pada status-status yang ia jelajahi. Sementara kedai sate semakin ramai oleh pelanggan. Ini memang waktunya orang-orang untuk istirahat dan makan siang.

       Jasman tidak begitu memperhatikan para pelanggan kedai yang masuk, karena ia masih asyik masyuk berinteraksi dengan teman-teman dumay-nya, serta membalas beberapa pesan di messenger-nya. Mulutnya komat-kamit, terkadang tersenyum, atau tertawa kecil.

       Pada saat ia kembali menyedot pipet es jeruknya dan memandang ke arah depan, sekilas ia melihat seorang wanita yang masih relatif muda—mungkin usianya sekitar 35 tahun--yang duduk berlawanan arah dengannya di depan sana. Entah sejak kapan wanita yang berpenampilan ala kalangan sosialita itu masuk ke situ, ia tak tahu.

       Ketika pandangan mereka bentrok satu sama lain, dengan cepat Jasman dan wanita itu sama-sama membuang pandangan mereka ke arah lain.

       Jasman agak merasa rikuh juga. Ia pun menggeleng-geleng pelan sembari mengembalikan pandangannya pada layar handphone-nya.

       Dan hal yang sama pun kelihatannya dialami juga oleh si wanita cantik. Sesungging senyumnya terlukis di bibirnya indahnya bak sepasang permata rubi,  merah merekah. Sembari ia menempelkan tisunya pada beberapa bagian wajah cantiknya ia kembali mencuri-curi lirik kepada si pemuda, Jasman.

      “Ibu mau makan?” pertanyaan sang pelayan restoran membuyarkan semua yang ada dalam pikirannya.

       “Oh, iya. Satenya jangan terlalu matang, ya Mas?” jawab wanita itu dengan suaranya pelan tapi terdengar jelas.

      “Oh baik, Bu. Lalu minumnya...?”

      “Fruit juice saja mungkin, ya? Ya, itu saja.”

       “Baik, Bu.”      

       Sembari menunggu pesanan, wanita cantik itu mengambil handphone dalam tasnya, lalu membuka layarnya. Namun seolah-olah ada sesuatu  kekuatan yang membuatnya lagi-lagi mengarahkan pandangannya ke arah si pemuda ganteng berambut panjang yang diikat ke belakang  itu. Benaknya sedang menaksir usia si pemuda. Yang jelas masih jauh di bawahnya. “Mungkin dia mahasiswa kampus di sekitar sini,” batinnya.  Karena si pemuda terlihat sedang asyik dengan layar hapenya, si wanita pun tak segan-segan untuk memandangnya lekat-lekat.

       Akan tetapi, di luar dugaan, pemuda yang tengah ia perhatikan, tiba-tiba mengangkat wajahnya dan otomatis melihat ke arahnya. Si wanita cantik tak mampu menyembunyikan salah tingkahnya, dan kulit wajahnya yang putih halus langsung bersemu merah. Tepi untungnya si pemuda, Jasman, mengangguk pelan ke arahnya dengan sikap hormat sembari tersenyum.

       Jasman hendak mengembalikan perhatiannya pada layar hapenya, tetapi arah pandangan Jasman tertahan oleh kehadiran tiga orang laki-laki ke dalam kedai. Satu orang bertubuh agak gemuk yang dibalut oleh jas tuxedo.  Topi fedora berwarna abu terang yang dilingkari dengan pita lebar berwarna hitam yang dikenakannya membuat wajahnya yang sebenarnya cukup tampan itu jadi terlihat arogan sekaligus berwibawa. Tampang dan penampilan golongan jetset. Sementara dua pria muda yang mengikutinya bertubuh tinggi, putih,dan memili face lebih mirip orang Korea. Rambut keduanya dicat warna pirang anjing. Jaket kulit hitam yang dikenakannya  tetap tak mampu menyembunyikan otot kedua lengan mereka yang besar dan kokoh. Jadi keduanya mirip-mirip anggota mafia. Atau bisa jadi keduanya adalah sepasang body guard-nya laki-laki yang ber-tuxedo.

       Saat laki-laki berpenampilan kaum jetset itu melangkah mendekati si wanita muda, Jasman langsung menduga mungkin ia adalah suami dari si wanita cantik. Atas dugaan itu, ia pun lantas kembali pada layar hape-nya. Emde Mallaow baru saja memosting sebuah cerpen. Ia selalu menyukai  setiap postingan dari laki-laki yang masih satu daerah dengannya itu.  Kebetulan juga Bang Emde Mallaow termasuk seniornya juga, karena beliau pernah kuliah di kampus yang sama juga dengannya.

       Konsentrasi Jasman agak teralihkan oleh suara berat laki-laki di depannya terhadap di wanita muda yang didatanginya.

      "Maaf, karena aku akhirnya menemukanmu juga," ucap pria itu. Suaranya dingin dan tanpa tekanan, tetapi mengandung daya amarah.

       Jasman sebenarnya tak ambil peduli, karena toh sama sekali bukan urusannya. Bahkan ia berusaha untuk tidak mau mencuri dengar dengan ucapan laki-laki terhadap si perempuan. Namun karena jaraknya tak jauh, maka kata-kata laki-laki itu tetap jua tertangkap dengan baik oleh telinganya.

      "Sampai ke ujung dunia pun kaupergi menghindar, aku akan tetap menemukanmu! Aku tidak akan pernah berhenti untuk mencari dan mendapatkanmu lagi. Kamu tidak akan pernah melepaskanmu! Karena itu, kamu tidak bisa pergi begitu saja dari kehidupan aku. Ingat itu!" Suara berat namun tegas di laki-laki mengisyaratkan bahwa si perempuan agar tidak  lagi menghindarinya.

       "Sudahlah Mas," jawab si wanita dengan suara halus dan pelan. "Melanjutkan hubungan kita tidak akan membawa kebaikan, selama orang-orang di sekitar Mas menolak mentah-mentah keberadaanku di samping Mas. Lagi pula, selama ini aku sama sekali tidak merasakan cintanya Mas terhadap aku. Jadi Mas, lupakan aku. Mas harus legowo dan membiarkan aku pergi dengan nyaman dari kehidupannya Mas."

      "Tidak! Tidak bisa!" suara si pria sontak naik, membuat mata semua orang yang ada dalam kedai itu tertuju kepadanya.

      Demikian juga Jasman. Ia memandang ke punggung si laki-laki itu, karena saat itu laki-laki itu sedang berdiri membelakanginya.

      "Kamu jangan membuat kesabaranku hilang dengan keputusan sepihak mu. Kamu selalu menghindar untuk bertemu aku. Sekarang akan menemuimu di sini. Aku harap, kamu jangan membuatku kecewa dan marah. Jangan bersikap bodoh! Selama ini sudah memintamu baik-baik, kenapa kamu masih juga keras kepala?!"

       "Sudah cukup Mas!" bentak si wanita. Terpancing juga emosinya jarupanya. "Selama ini aku sudah cukup bersabar bersama Mas. Namun jika batas perjanjian itu sudah berakhir, tentu aku pun sudah bebas untuk menentukan arah hidupku sendiri! Jadi, selama ini aku menghindar untuk bertemu lagi dengan Mas itu sudah tindakan yang wajar dan tepat. Seharusnya Mas paham, bahwa aku benar-benar sudah ingin pergi buat selamanya dari kehidupan Mas!"

      "Baik!" ucap si pria, "Tapi ada beberapa hal penting yang harus kita bahas dan selesaikan. Setelah itu kamu boleh pergi pergi ke mana pun yang kamu mau, entah ke neraka sekalipun!"

     "Ya monggo, Mas bicarakan saja sekarang!"

      "Tidak! Kita harus bicarakan di tempat lain. Kamu harus ikut dengan kami!"

      "Kami...?"

      Belum sempat si wanita cantik menyelesaikan ucapannya, dua orang pria muda yang berdiri memeluk dada di belakangnya mendehem nyaris bersamaan lalu   melangkah ke depan dengan sikap tenang dan santai. Keduanya memang tidak berbicara, namun sorot mata dan tampang tenang mereka  seolah-olah memberi sinyal pada si wanita cantik  bahwa mereka sangat berbahaya, sangat kejam dan tak berperikemanusiaan. Tampang-tampang pembunuh berdarah dingin.

       Saat salah satu dari dua body guard itu berkata dengan pelan dan berat, "Ayolah Nyonya, ikut kami. Jangan membuat bos kami jadi hilang kesabarannya!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status