“Bib, bulan depan ada yang reservasi kafe?” tanya Amira.
“Iya, Mbak. Nasya mau rayain ultahnya di sini.”
“Nasya siapa?”
“Teman kampus, Mbak.”
“Oh ....”
Amira kembali mengecek laptopnya sebelum pulang sebentar dan kembali lagi setelah salat Isya nanti. Kemungkinan kafe akan lebih ramai dari hari biasanya jika malam minggu. Amira akan bersih-bersih lebih dulu dan kembali lagi nanti. Sebelum beranjak, ponselnya berbunyi tanda ada pesan masuk. Amira membukanya dan mendapati pesan dari Arsyil.
[Hai, calon ibu dari anak-anakku kelak. Kasih aku semangat, dong, buat mencari nafkah demi sesuap nasi dan sebongkah berlian.]
Amira menggeleng dan hanya tersenyum tipis. Walau kata Arsyil kedua orang tuanya telah memberi lampu hijau, tetapi Amira sendiri belum yakin jika Pak Beni dan Bu Zahro b
Dewo mati-matian menahan malu setelah sedikit dipermalukan oleh Amira. Beberapa pelanggan yang mendengar percakapan mereka tentu saja ikut terkekeh. Amira tak habis pikir dengan pria bermuka tebal itu. Bisa-bisanya menyapanya dengan kalimat ‘hai, mantan’ di tengah keramaian kafe yang sedang berlangsung.Walau sudah dipermak dan di make over seperti apa pun, Amira tak akan mau menjelajahi wisata masa lalu dengan Dewo. Mantan is mantan. Dia bukan pahlawan yang perlu dikenang, apalagi dibanggakan. Jika diperbolehkan, Amira akan menjual mantannya itu ke toko Oren. Kalau bisa jadi duit, kenapa harus jadi kenangan?“Dasar, manusia species non insecure! Bacotnya tinggi, introspeksinya rendah!” gerutu Amira dengan sedikit membanting nampan kayu yang dibawanya.“Kenapa, Mbak?” Abib yang baru keluar dari toilet mendekati kakaknya.“Ada Dewo di depan.”&nbs
Menyadari sesuatu, Amira langsung meminta Abib menggantikan posisinya di kasir. Amira langsung menggandeng tangan Arsyil dan segera masuk ke dalam ruangannya.“Udah kangen banget, ya, sama aku?” Arsyil menaik-turunkan alisnya menggoda Amira.“Iya, kangen pengen nampol ketengilan lu!” jawab Amira kesal.Arsyil terkekeh. “Aku makin suka kalau Mbak Mira galak. Makin gahar. Rarwww!”“Emang gue macan?”“Iya, ma-can. Manis dan cantik.”Amira mengibaskan tangan dan berlalu duduk di kursi kebesarannya.“Baru pulang? Kenapa langsung ke sini?”“Soalnya semangatku ada di sini.”“Siapa?”“Mbak Mira lah, masa Abib?”“Yang nanya?”
Dewo dan Abib melotot saat melihat dua insan yang tengah berciuman itu. Dengan cepat Abib kembali menutup pintu ruangan dan menarik Dewo untuk menjauh. Sementara Arsyil yang kaget saat bibirnya menempel dengan bibir Amira tak mau semua berlalu sia-sia. Dengan penuh gairah dan cinta yang membara, perlahan Arsyil melumat bibir Amira dengan lembut. Melihat kelopak mata lawannya yang terpejam, Arsyil semakin yakin, bahwa Amira tengah menikmati moment ini. Naluri yang berbicara ditambah setan yang ikut berkolaborasi di dalamnya, kedua tangan Amira mengalung sempurna di leher Arsyil yang putih. Mendapat perlakuan seperti itu, tentu saja Arsyil tak mau kalah. Dilingkarkannya pula kedua tangan pada pinggang wanita itu. Keduanya beralih posisi sambil berdiri dan semakin memperdalam ciumannya. Abib berhasil menarik baju Dewo hingga kini posisi mereka sudah jauh dari ruangan itu. Dewo mengempaskan tangan Abib agar lepas dari bajunya. “Kamu lihat, kan, Bib! Apa yang mereka lakuin?” berang Dewo
“Brengsek!” umpat Dewo kesal setelah sampai rumah Ahmad.Ahmad hanya menggeleng dan segera berlalu ke kamarnya meninggalkan Dewo. Lalu, keluar lagi dan menyulut sebatang rokok.“Udahlah, Wo. Terima kenyataan aja. Hukum tabur tuai itu pasti akan terjadi.”“Maksudmu apa, Mad, ngomong begitu?” Dewo kesal. Bisa-bisanya temannya itu seolah-seolah ikut menyudutkan dirinya.“Benar kata mantan adik ipar lu. Saat ini, Amira itu wanita merdeka. Dia single. Mau dekat sama siapa aja ya terserah dia. Ngapain lu marah dan cemburu?”Dewo terdiam, sedangkan Ahmad merasa rileks saat menghisap rokok dan mengembuskan asapnya ke udara.“Lu sempat liat Amira ciuman sama calon suaminya? Dan lu marah? Lucu sekali ....” Ahmad terkekeh.“Benar kata si Abib, lu cuma liat mantan istri lu ciuman, seda
“Kang Joni bisa, kan, bantuin saya?” pinta Dewo dengan wajah memelas.Joni hanya terkekeh pelan, lalu mengajak lelaki yang katanya juga mau pakai dukun untuk menjerat mantan istrinya itu masuk ke dalam rumah.Baru saja duduk, istri Joni yang katanya beberapa kali menolak diajak rujuk itu mendekati suaminya dan langsung melahap bibir Joni dengan rakus. Dewo meneguk ludah. Agresif sekali wanita itu, pikirnya.“Bentar, Sayang ... tunggu di kamar, ya. Mas enggak lama, kok.”“Cepetan ...,” rengek si wanita, membuat inti dari tubuh Dewo pun menggeliat tak tenang.Joni mengangguk setelah menciumi leher istrinya. Dasar, keong racun! Dewo mengumpat dalam hati.“Kamu mau mantanmu seperti dia?” tunjuk Joni mengarahkan dagunya pada sang istri yang kembali ke kamar.“Iya, Kang.”
“Ada perlu apa?”“A-anu, Ki. Saya mau minta tolong.”“Ya sudah pasti minta tolong, kalau minta uang kamu salah orang, saya bukan sultan!” sahut Danu.“Eh. I-iya, Ki.”Dewo merasa dukunnya sengaja bercanda agar suasana tidak mencekam. Bukan apa-apa, tadi di pintu masuk desa, Dewo sudah disambut oleh hantu permen Sugus yang bergelantungan seperti belatung daun pisang.Di sisi kiri, ada lincak lebih besar dengan karpet merah dan segala macam pernak-pernik perdukunan. Seperti nampan berisi kembang setaman dan gerabah anglo khusus untuk membakar kemenyan. Namun, kenapa mereka tidak langsung duduk di sana saja?Melihat lelaki di hadapan yang sempat melirik area eksklusif bapaknya untuk bekerja, Danu berdehem. “Kita ngobrol dulu. Saya perlu tahu apa maksud dan tujuan kamu datang ke mari.”Dewo mengangguk. Yakin dan percaya, bahwa pria muda di hadapannya adalah dukun sakti yang dimaksud Joni. Buktinya, dia bisa tahu isi kepalanya. Begitu pikir Dewo.“Begini, Ki. S-saya ingin mantan istri saya
“Yank? Ayok!” Arsyil yang sudah berjalan lebih dulu kembali menghentikan langkahnya untuk memanggil sang kekasih.Amira masih tertegun di tempat dengan pandangan lurus ke depan. Arsyil pun menghampiri.“Ayok! Itu Gala udah nungguin.”Amira menatap Arsyil. “Itu yang jaga gerai gula kapas Dewo bukan?”“Dewo?” Kening Arsyil berkerut dan langsung menatap karyawan gerai yang sedang melayani dua anak. Gala dan satu anak lagi bersama orang tuanya.“Dewo siapa, Yank?”“Dewo ... bapaknya Gala,” jawab Amira lirih, malas sebenarnya mau menyebut nama dan gelar itu.“Emang kerjaannya penjual gula kapas?”“Bukan, sih. Tapi, sekilas mirip mas-mas itu.”Arsyil tak menjawab dan langsung menarik lembut tangan sang kekasih. Ada rasa cemburu yang mulai mengusik hatinya. Walau mantan is mantan, tetapi ada yang menyebut mantan adalah alumni hati yang suatu saat pasti bakal reuni. Belum lagi kalau sampai tertawan pesona mantan, seperti salah satu novel online yang ditulis seorang author yang belum bisa move
Senyum Amira mengembang sempurna mendengar kalimat dari bibir pacarnya. Jujur, Dewo bukanlah lelaki yang manis seperti Arsyil. Entah apa dulu yang membuat Amira menjatuhkan hati dan mau dinikahi Dewo. Perkenalan yang singkat dan rasa kagum itu muncul ketika Dewo rajin salat berjamaah ke masjid. Dewo juga selalu melindungi dan mengayomi adik-adik di panti asuhan tempat dia dibesarkan.“Syil,”“Iya, Sayang?”“Apa kamu yakin hubungan ini akan bertahan?”Kening Arsyil berkerut. “Maksud kamu?”“Kamu masih sangat muda. Kenapa harus mengejar cinta seorang janda?”“Kamu enggak yakin sama keseriusan aku?”Amira menggeleng. “Bukan. Bukan aku enggak yakin sama keseriusan kamu, tapi ... aku ragu kalau keluarga besarmu akan merestui hubungan kita ini.”