Seminggu berlalu setelah Riana resmi dijadikan tersangka atas tuduhan pembakaran rumah istri dari almarhum Wandi Pranoto. Di depan polisi dan juga keluarga Bu Tami, wanita itu hanya diam tak membantah. Seolah-olah diamnya memang sebuah jawaban atas apa yang sudah dia lakukan. Bu Tami menangis di hadapan Riana. Ibu dari Amira dan Abib itu meminta maaf jika keputusan Wandi membuat ibu dari Riana frustrasi sampai gila dan akhirnya meninggal tanpa mendapatkan keadilan. Bukankah seharusnya Riana yang meminta maaf? Ah, terkadang drama kehidupan memang selucu itu. Walau Bu Tami tak salah apa-apa, tetapi sebagai sesama wanita yang perasaannya halus dan mudah tersentuh, ia tetap meminta maaf atas nama almarhum bapak dari kedua anaknya. Di akhir jam besuk, wanita paruh baya itu bahkan tak segan memeluk Riana. “Maafkan kami, Nak.” Air mata tulus mengalir dari mata Bu Tami. “Tolong maafkan suami saya, biar dia bahagia di san
Usaha Manggala Cafe tetap berjalan dan dipercayakan pada seseorang. Namun, tetap setiap bulan Amira merekap semuanya. Jadi, pundi-pundi rupiah terus mengalir dari usaha pertama Amira dan Abib pada zaman perjuangan itu. Ceile. Beruntung sekali Bu Tami memiliki anak-anak yang tetap memerhatikan dirinya. Karena kasus anak yang melupakan sang muara kasih ketika sudah mapan dan banyak uang bukan hanya isapan jempol belaka. Namun, hal itu tak terjadi pada Bu Tami.Bahkan ia mendapat jatah bulanan dari kedua menantunya. Nasya dan Arsyil selalu memberi uang bulanan untuk Bu Tami. Jika Nasya diminta tolong oleh Abib agar menyampaikannya, begitu pula dengan Amira yang meminta kepada sang suami untuk melakukannya. Katanya, agar mertua dan menantu bisa semakin akrab. Walau awalnya menolak, tetapi mereka tetap ingin Bu Tami mau menerimanya. Bagaimanapun, Arsyil bisa sukses karena peran dan dukungan seorang istri. Pun dengan Nasya yang dibantu oleh kepiawaian Abib dalam mengembangkan perusahaan
Bu Tami hanya tersenyum dan segera berdiri dari duduknya. Mencuci sayuran dengan air yang mengalir dari wastafel. Dari kursi meja dapur, Amira mengembuskan napas lemah. Apa ucapan dan pertanyaannya menyinggung perasaan sang muara kasih? Amira pun berdiri dan menghampiri ibunya. “Bu ....”“Mir, nanti sore ke makam bapak, yuk! Ibu kangen,” ucap Bu Tami tanpa menoleh ke arah putrinya. Ia masih menghadap wastafel.Amira melipat bibirnya. Mungkin ini salah satu tanggapan ibunya yang tak ingin membahas Pak haji Mukhlas. “Iya, Bu. Nanti kita ke makam bapak, ya,” jawab Amira akhirnya. Udara sore ini cukup bersahabat. Jika biasanya langit mulai berselimut mendung, tetapi berbeda dengan hari ini. Awan putih berarak seolah-olah tak memberi izin pada air dari atap bumantara untuk turun mencumbu perut bumi.Para peziarah sedang mengunjungi rumah masa depan para keluarga yang sudah mendahului. Termasuk Bu Tami yang datang ke makam sang suami untuk menghadiahi doa dan tahlil. Amira dan Arsyil pun
"Kalau takdirmu aku, kamu bisa apa, Mbak?”Amira terenyak dan mengerjapkan matanya beberapa kali saat mendengarkan kalimat dari mantan bocah SMA itu. Iya, yang melontarkan kalimat itu sudah satu tahun tak memakai seragam putih abu-abunya setelah dicoret-coret. Tak berapa lama, tawa Amira malah menyembur bak air dari mulut mbah dukun.“Gila ... gila! Keren banget ide konten lu, Syil,” ujar Amira sambil memegangi perutnya.Yang Amira tahu, sejak masuk kelas sebelas, Arsyil sudah berpenghasilan dari hasil konten-kontennya di Kamu-tube. Amira pun salah satu subscriber-nya yang suka dan merasa terhibur dengan aksi konyol Arsyil. Dia sering membuat video cosplay jadi driver taksi online yang suka mengerjai para penumpang wanita berumur. Maksudnya lebih tua darinya.Arsyil hanya menatap Amira dengan tatapan tajam. Tak ada pergerakan dari kedua sudut bibirnya yang menandakan, bahwa saat ini dia tak sedang main-main, sementara wanita yang usianya terpaut delapan tahun lebih tua dari Arsyil itu
"Jangan kayak jijik gitu, Mbak, sama brondong. Entar malah tergila-gila, lho.”“Tergila-gila?”Arsyil mengangguk.“Siapa?”Pria dengan bibir tipis itu menunjuk Amira dengan dagunya.“Aku? Tergila-gila sama kamu?”Dua jempol tangan Arsyil mengacung.“Strawberry, mangga, donat. Sorry, enggak minat!”Arsyil terkekeh. “Ah, masa?”Amira kembali menunjukkan ekspresi bergidik. Sementara teman adiknya itu malah mengeluarkan sedikit ujung lidahnya untuk membasahi bibir dan mengacak-acak rambut berponinya. Tak berlebihan jika banyak subscriber-nya bilang kalau Arsyil Miftah sebagai Sehun KW dengan kearifan lokal.“Muter-muter cari cincin, nemunya di Raja Ampat. Mbak Mira udah aku tandain, pokoknya harus dapat.”“Beli buku gratis kotak pensil. Sorry, seleraku bukan bocil,” balas Amira tak mau kalah.Arsyil menggeleng dengan menyunggingkan senyum misterius. Percik semangat dalam hatinya kian berkobar, seiring ucapan Amira yang menyebut dirinya ‘bocil’.Entah apa yang tengah menyerang hati dan pik
"Semalam kafe rame banget, ya, Bib?”“Alhamdulillah, Mbak. Habis si Arsyil bikin konten di kafe dan pesen semua menu masakan di sana, hampir tiap hari menu kita ludes. Padahal porsi selalu ditambah.”“Syukurlah, berarti omset kita bulan ini bisa nutup yang kemarin-kemarin, ya?”“Alhamdulillah bisa banget, Mbak.”Amira tersenyum bahagia dengan terus mengunyah menu sarapan.“Aku boleh kasih bonus ke Arsyil enggak, Mbak?”Amira mengernyit. “Bonus apa?”“Ya semacam makan minum gratis buat dia kalau pas main ke kafe. Gimana pun dia punya andil cukup berpengaruh, Mbak, buat usaha kita.”“Hmm ... boleh-boleh aja, Bib. Kasih aja.”“Oke, Mbak. Siap!”Kafe yang dikelola oleh Abib adalah usaha miliknya dan Amira. Modal paling banyak dari kakaknya, sementara Abib yang cukup andal dalam manajemen menjadi wakil dari Amira. Selain sebagai penyumbang modal terbesar, Amira juga sebagai kepala koki di dapur kafenya sendiri.“Mama ....”Gala datang dengan seragam PAUD-nya yang cerah. Secerah senyum khas
“L-loh, kok bisa?” Amira tergagap.“Bisa apa, Mbak?”“Lu vcall gue duluan, ya?”“Dih, mana ada?” tampik Arsyil. “Mbak Mira yang vcall aku duluan.”Amira menggeleng. “Enggak mungkin!”“Apanya yang enggak mungkin, Mbak? Lihat aja entar di log panggilan. Yang manggil duluan aku apa Mbak Mira?”Amira menangkupkan kedua telapak tangannya untuk menutupi wajah, sementara ponselnya berdiri menyandar di depan vas bunga dekat laptop. Apa iya tadi jarinya sudah menyentuh gambar kamera hingga membuat panggilan video ke nomor Arsyil? Ah, ternyata selain kaki, jari pun bisa terpeleset. Apalagi hati, terpeleset brondong. Eh! “Enggak usah malu, Mbak. Aku udah denger, kok, semua yang Mbak Mira bilang.”“Hah?” Amira membuka telapak tangannya. “Emang gue bilang apaan?”“Mbak Mira bilang gini: Arsyil harus klarifikasi kenapa sampai bilang ke Gala bakal tinggal di rumah segala. Emang dia siapa? Suami aku? Nembak aja belum.”Mata Amira melebar.“Siapin mental, ya, Mbak. Aku bakal nembak Mbak Mira di depa
“M-Mas Dewo?”Amira terpaku saat pulang dari klinik bidan tempat biasa ia cek kandungan. Pulang-pulang disuguhi pemandangan di mana dua insan berlainan jenis tanpa sehelai benang sedang adu fisik penuh peluh dan nafsu setan.Air mata Amira luruh tanpa komando. Dewo benar-benar gila. Ia bermain kuda-kudaan dengan wanita lain di kamar pribadinya dengan sang istri. Cepat-cepat dua insan yang diliputi gairah itu menarik selimut.“A-Amira?” Dewo tampak gugup. Wajahnya pias dan pucat seperti mayat. “B-bukannya kamu mau menginap di rumah ibu setelah cek kandungan?”Amira tak bisa mengucapkan kata-kata. Hatinya benar-benar remuk dihajar realita di depan mata. Saat ia dan janinnya harus berjuang dengan kondisi kehamilan yang lemah, Dewo malah bermain gila di rumah kontrakan mereka.“Mas Dewo ... aku udah basah, Mas. Ayolah ...,” desah wanita di samping Dewo dengan tak tahu malu.Dapat Amira pastikan, bahwa keduanya belum sampai dipuncak yang ingin dituju. Terlihat dari wajah Dewo yang masih di