Abib lagi-lagi harus menerima telepon dari salah satu teman kampusnya yang mau reservasi kafe untuk acara ulang tahun. Tangan yang sudah menyentuh handle pintu ruangannya bersama Amira urung ia putar. Merasa haus, Abib pun bergegas ke dapur sembari menerima telepon.
“Iya, Sya. Gimana?”
“Bib, bulan depan pas malam minggu pertama, kafe lu gue boking, ya?”
“Boleh, boleh. Untuk acara apa, Sya?”
“Ultah gue, Bib.”
“Wih, jatah umur lu semakin berkurang, dong, Sya?”
“Sialan lu, Bib!”
Abib tergelak dan meminta maaf karena hanya bercanda.
“Untuk makan dan minum bisa request, kan?”
“Bisa dong, Sya. Pelanggan adalah raja. Entar gue kasih diskon kalau tamunya banyak.”
“Sip, sip. Entar gue kabarin lagi.”
“Oke, Sya. Siap!”
Setelah menenggak air dari galon di dapur, pandangan Abib menyapu segala penjuru. Mencari keberadaan Arsyil yang tak terlihat batang hidungnya.
“Ke mana itu bocah? Kayaknya motornya masih di depan.”
Kemudian ia duduk di salah satu kursi kosong yang baru ditinggal pelanggan. Kedua tangannya masih sibuk membalas pesan demi pesan dari banyak kontak di aplikasi hijau.
Sementara di sebuah ruangan dingin karena sentuhan AC, dua anak manusia berlainan jenis dan terpaut umur yang lumayan jauh masih sama-sama terpaku. Amira ingin menguji seberapa besar nyali bocah tengil di hadapannya jika ia pura-pura menyerahkan diri, sedangkan Arsyil mati-matian menahan gejolak kala benda pusaka miliknya mulai menggeliat ingin keluar dari persembunyiannya.
“M-Mbak Mira mau ngapain?”
“Dih, gayanya aja L-men, dideketin malah kayak anak SGM. Sok-sok’an mau nerkam. Dideketin mlempem.” Suara hati Amira berbisik.
“Katanya mau makan Mbak. Disuguhin, kok, malah takut?” tantang Amira yang sejujurnya juga deg-degan.
“Shit!” Arsyil mengumpat dalam hati. “Kalau halal, udah gue tubruk lu, Mbak!”
Arsyil menaruh ransel di depan tubuhnya untuk menutupi sesuatu yang berdiri tegak, tetapi bukan pohon pinang pas tujuh belasan. Kening Amira mengernyit dan bibirnya mengulas senyum tipis, setipis sandal hotel. Dia paham apa yang akan terjadi pada pria dewasa saat berdekatan dengan wanita, apalagi kalau sudah terkontaminasi oleh nafsu. Amira ingin tahu, sejauh mana Arsyil akan berani kepadanya.
Niat hati ingin memberi kejutan, tetapi malah Amira yang terkejut. Apalah daya cecak di atas plafon yang sudah diam-diam merayap sambil ikut menahan napas, malah terpeleset jatuh dari pegangannya saat terpukau melihat ketampanan Arsyil. Fix, cecaknya cewek.
‘Pluk!’
“Aaa ....” Amira berteriak.
Saat terperanjat, cecak yang jatuh di rok wanita itu pun kaget dan kecewa, kenapa jatuhnya enggak di pangkuan Sehun KW dengan kearifan lokal saja? Si cecak salah perhitungan sepertinya.
Karena teriakan Amira, si cecak pun langsung kabur daripada entar dituduh sebagai biang kerok. Amira pun langsung nemplok di tubuh Arsyil macam cecak. Arsyil yang mendapat serangan mendadak hanya bisa pasrah. Kapan lagi dipeluk-peluk sama wanita mungil dengan kulit bening itu?
Di luar ruangan, Abib dan beberapa pegawai Manggala Kafe sedikit kaget mendengar teriakan dari ruangan sang atasan.
“Mbak Mira masih di dalam?” tanya Abib pada salah satu waiter.
“Kayaknya masih, Mas.”
“Ngapain dia teriak-teriak?” gumam Abib lirih, tetapi masih didengar oleh sang waiter.
“Dicek aja, Mas. Di dalam kayaknya bareng Mas Arsyil.”
“Hah? Arsyil?”
Pelayan lelaki itu mengangguk dan permisi, sebab sedang membawa minuman dan makanan pesanan pelanggan. Cepat-cepat Abib bergegas sebelum di dalam terjadi hal yang iya-iya.
Amira terpaku dan terpukau dalam waktu yang hampir bersamaan, saat jarak wajahnya dan wajah Arsyil hanya sejengkal saja. Detak kehidupannya bertalu tak karuan. Mirip organ tunggal di acara hajatan. Hal yang sama pun juga tengah Arsyil rasakan.
Bohong kalau Amira tak tersihir oleh pahatan mahakarya Tuhan di depan matanya. Selain indah dan sempurna, pria itu juga masih jejaka. Kan, mupeng jadinya.
Sadar jika posisi mereka sangat intim, Amira mulai bergerak untuk turun dari pangkuan Arsyil. Namun, pria dewasa yang sedari tadi mati-matian memadamkan nalurinya tak mau itu terjadi. Tangan Arsyil menahan tubuh mungil Amira agar tetap berada di pangkuannya.
“Mau ke mana, Mbak?” tanya Arsyil dengan suara parau.
Amira menelan ludah saat menyadari perubahan suara Arsyil. Duh, mampus! Sange ini bocah, batinnya.
“Lepas, Syil!”
“Siapa yang datang lebih dulu?”
“I-iya, sorry!” Amira tergagap saat melihat kilat penuh gairah di mata sang Youtuber.
Dapat Amira rasakan sapuan hangat dari napas Arsyil dan juga aroma maskulin yang menguar dari tubuh pria itu.
“Syil, u-udah. Hari ini lu menang banyak.”
“Menang apa, Mbak?” Suara Arsyil kian parau.
“L-lu udah cium kening gue, elus-elus rambut gue, cium tangan gue, d-dan sekarang–“
“Mbak Mira yang mulai, bukan aku,” potong Arsyil cepat, tetapi dengan suara yang pelan dan seksi.
“Syil, kalau setelah ini terjadi apa-apa lagi, Mbak akan minta kamu buat tanggung jawab!”
Mata Arsyil berbinar. “Oke, entar malam kita nikah.”
Ceklek!
“Allahuakbar!” seru Abib. Melihat sahabat dan kakaknya yang beradegan seperti seorang bapak memangku anak gadisnya yang masih SD.
***
“Gala tadi di sekolah belajar apa?” tanya Bu Tami kepada sang cucu.
“Pelkenalan sama menggambal,” sahut Gala yang masih samar menyebut huruf R hingga terdengar L.
Neneknya tersenyum dan menggandeng tangan sang cucu menuju warung dekat rumah. Ke mana pun Bu Tami pergi, Gala akan selalu diajak serta. Walaupun ke warung hanya membeli micin dan terasi.
“Bu Tami!”
Gala dan neneknya menghentikan langkah dan menoleh ke belakang.
“Eh, Bu Zahro. Mau ke mana, Bu?” sahut Bu Tami saat melihat ibu dari Arsyil berjalan ke arahnya.
“Mau ke warung Mpok Rusmi.”
“Owalah, sama kalau gitu. Barengan aja, hayuk!”
“Hayuk, Bu.”
Bu Tami dan Bu Zahro melanjutkan langkah menuju warung sembari berghibah ria. Sesekali juga menyapa tetangga yang duduk-duduk di teras sembari berjejer memegang kepala temannya. Mencari para kutu-kutu durjana.
“Eh, si Gala capek enggak? Uti gendong, yuk!” Bu Zahro menyapa Gala.
Gala hanya menggeleng pelan dengan tetap menggandeng tangan neneknya.
“Duh ... kalau lihat Gala suka keinget sama Arsyil waktu masih kecil. Ganteng imut-imut begini.”
Bu Tami hanya tersenyum.
“Si Eka kapan pulang, Bu? Betah, ya, di Korea?” timpal ibunya Amira.
“Entahlah itu anak. Semenjak istri dan anaknya meninggal, susah sekali disuruh nyari pengganti. Malah lari ke Korea buat kerja.”
“Enggak pa-pa, Bu Zahro. Siapa tahu pulang-pulang bawa si Kim Ji-soo buat dikenalin ke Ibu.” Bu Tami terkekeh.
“Eh, Bu Tami juga K-popers, to?”
“Enggak juga, sih, Bu. Saya malah kepoin itu Shah Rukh-khan yang makin tua makin meresahkan.”
“Ih, iya, Bu. Benar itu. Tatapannya bikin emak-emak blingsatan.”
Nenek-nenek zaman now itu terus terkekeh, hingga seorang lelaki berdiri tak jauh di hadapan mereka. Lelaki itu tersenyum dengan sedikit menunduk dan menyebut nama Bu Tami. Namun, senyum ceria di wajah ibunda Amira dan Abib itu lenyap seketika.
“Ngapain kamu ke sini!”
Bu Zahroh mengernyit menatap lelaki dengan kemeja lengan pendek dan celana bahan itu. Wajahnya seperti tak asing, pikirnya.“Bu ....”Dewo maju dan hendak meraih tangan mantan sang mertua untuk diciumnya. Namun, dengan cepat Bu Tami menyembunyikan tangan kiri di punggung dengan tangan kanan masih menggandeng tangan Gala. Dewo tercekat mendapati reaksi mantan mertuanya.“Ibu mau ke mana? Biar Dewo antar.”Bu Zahro langsung membulatkan mulut saat sadar, bahwa lelaki di hadapannya saat ini adalah mantan suami Amira.“Nggak perlu! Kakiku masih sehat buat jalan!” jawab Bu Tami, ketus. “Ayo, Bu!” lanjutnya mengajak Bu Zahro melanjutkan langkah sembari menarik pelan tangan Gala.“Ini Gala?”Bu Tami menyadari sesuatu dan langsung menggendong anak tampan berusia 5 tahun itu. “Bukan
“Apa?! Gala diculik?”Mendengar nama sang buah hati disebut, Amira langsung menoleh ke arah adiknya.“Gala diculik?” lirih Amira dengan mata membola dan langsung mendekati Abib.“Ibu sekarang di mana?”‘Ibu di rumah. Itu penculiknya gedor-gedor pintu terus. Cepetan pulang!’‘Nek ... Gala takut ....’ Terdengar rengekan Gala setelah kalimat Bu Tami yang terdengar panik.“Ibu, Ibu tenang, ya. Kunci semua pintu, Ibu sama Gala masuk kamar dan kunci juga pintunya. Abib sama Mbak Mira pulang sekarang juga.”Klik. Bu Tami langsung memutus panggilan.Dewo terus mengetuk pintu rumah mantan mertuanya dengan tak sabar. Niatnya hanya ingin bertemu Gala, tetapi Bu Tami malah menyebutnya sebagai penculik. Jika saja Dewo datang saat Amira dan Abib sudah di rumah,
Bahu Dewo luruh saat mendengar panggilan sang putra untuk pria yang usianya jauh di bawahnya. Hatinya hancur mendapati kenyataan. Jangankan memanggilnya papa, mengenali Dewo saja tidak. Mungkin itu tak seberapa dibanding sakit yang Amira rasakan dulu. Namun, diperlakukan sebagai orang yang tak dikenali putra kandungnya saja rasanya begitu pilu.“Papa Cil,” panggil Gala.“Iya, Sayang?”“Gala pengen main ke timezone,” pintanya setengah merengek.“Timezone yang di Mall?”Jagoan tampan itu mengangguk.“Tanya dulu sama Mama. Boleh, enggak?”Gala menoleh pada muara kasihnya yang menatap sang buah hati dengan penuh cinta.“Boleh, Ma?”Melihat kejadian yang sempat membuat Gala ketakutan, Amira pun mengangguk demi melihat senyum mereka
Semenjak kejadian di area Timezone waktu itu, Arsyil dan Amira sempat viral di jejagat maya lantaran ada seseorang yang mengabadikan moment tersebut. Walau tak sedikit yang mencibir karena usia keduanya terpaut cukup jauh, tetapi ada juga yang mendukung tanpa mau memperkeruh kolom komentar akun Bibir Dower itu. “Cantik, sih, sayang jendes.” “Cantikan juga aku ke mana-mana. Masih segel pula.” “Serius itu calon istrinya Arsyil? Kuat banget dukunnya.” “Janda semakin di depan. Perawan minggir dulu, Gan!” “Pawangnya sudah berpengalaman lahir dan batin.” “Arsyil udah kena pelet.” “Cocok, kok, Kak. Semoga selalu bahagia, ya.” “Emak ... anak perawanmu kalah sama janda.” “Apa salahnya sama janda? Yang salah itu cara berpandang kalian.” “Bung, jandanya buat gue aja. Barter sama perawan. Gimana?” Dan masih banyak lagi komentar-komentar soal hubungan mereka. Hubungan yang sebenarnya belum jelas hitam di atas putihnya. Amira sudah memperkirakan hal ini akan ramai diperbincangkan jika Ars
“Sial!”Dewo mengumpat dan mematikan ponselnya setelah melihat video berdurasi tak lebih dari 30 detik itu. Mantan istrinya yang semakin cantik sedang dipepet brondong tampan, terkenal, dan tajir.“Aku yakin kamu enggak main polosan, Mir,” ujar Dewo berburuk sangka. “Mana mungkin pria muda tertarik sama bekas orang?” lanjutnya dengan tersenyum miring.Dewo mulai berpikir keras untuk bisa kembali mendapatkan hati Amira. Pasalnya, dia adalah anak yatim piatu yang besar di sebuah panti. Setelah resmi digugat cerai oleh Amira, Dewo semakin hidup susah. Orang tua tak punya, pekerjaan pun tak ada.Gala. Ya, Gala satu-satunya alat untuknya bisa kembali hidup nyaman bersama Amira. Selain semakin cantik dan memiliki usaha kafe, Dewo tak akan kedinginan dan kepanasan di rumah petak milik temannya ini.“Mandi, Wo. Jangan main hape terus. Kerja. Hidu
“Arsyil belum tahu, Bun?”Bu Zahro menggeleng pelan.“Tahu apa?” Arsyil mengernyit dengan tatapan curiga kepada pasutri di depannya.Amira bingung mau berbuat apa. Masuk dan menyampaikan amanah dari sang ibu, tetapi takut akan mengganggu obrolan serius keluarga itu. Mau pulang pun dan membawa kembali sesuatu yang dibawanya, nanti di rumah malah dia mendapatkan ceramah.‘Ya udahlah. Kepalang tanggung, diem aja dulu. Enggak niat nguping, tapi udah denger,’ ucap Amira dalam hati.“Dia udah gede, Bun. Kasih tahu aja.”“Iya ....”“Ayah sama Bunda kenapa, sih? Tahu apa? Kalian nyembunyiin sesuatu?” Arsyil tampak tak sabar dan penasaran.Pak Beni berdehem dan membetulkan duduknya walau tak ada yang salah.“Ayah sama Bunda juga
“R-restu?” ulang Amira.“Hm!” Arsyil mulai menyendok nasi dan kawan-kawannya untuk masuk ke dalam mulut.“Emang bunda dan ayah kamu kasih restu? Kayaknya mereka tadi cuma bercerita, deh.”“Iya. Itu, kan, sekalian mereka ngasih tahu ke aku kalau ternyata aku dan ayah satu sekte. Sama-sama suka yang lebih matang. Ayah dukung aku buat merjuangain hati Mbak Mira.”Nyesss. Hati Amira adem dan bahagia mendengar kalimat dari bibir tipis Arsyil. Ada senyum tipis yang sengaja ia tahan saat melihat pria muda di hadapannya makan dengan sangat lahap.“Masakan Mbak Mira enggak pernah gagal,” komentar Arsyil.“Itu Ibu yang masak.”“Oh, calon ibu mertua juga jago masak, to. Pantes anaknya cantik.”Kening Amira berkerut. “Hubungannya apa?”
“Bib, bulan depan ada yang reservasi kafe?” tanya Amira.“Iya, Mbak. Nasya mau rayain ultahnya di sini.”“Nasya siapa?”“Teman kampus, Mbak.”“Oh ....”Amira kembali mengecek laptopnya sebelum pulang sebentar dan kembali lagi setelah salat Isya nanti. Kemungkinan kafe akan lebih ramai dari hari biasanya jika malam minggu. Amira akan bersih-bersih lebih dulu dan kembali lagi nanti. Sebelum beranjak, ponselnya berbunyi tanda ada pesan masuk. Amira membukanya dan mendapati pesan dari Arsyil.[Hai, calon ibu dari anak-anakku kelak. Kasih aku semangat, dong, buat mencari nafkah demi sesuap nasi dan sebongkah berlian.]Amira menggeleng dan hanya tersenyum tipis. Walau kata Arsyil kedua orang tuanya telah memberi lampu hijau, tetapi Amira sendiri belum yakin jika Pak Beni dan Bu Zahro b