Share

6. Merinding Disko

Tak mau ditipu anak kecil, Dewo segera merebut ponsel Amira untuk memastikan ucapan Arsyil. Seketika Dewo membeku, kakinya seperti mengakar di lantai, dan jari-jarinya kebas melihat nominal yang benar-benar masuk pada nomor rekening Amira.

Sementara Amira tersenyum puas saat bisa membuat Dewo mati kutu dengan adegan bohongan ini. Masalah uang itu, nanti setelah episode ini selesai tayang, Amira akan mentransfer balik pada rekening Arsyil.

“Sayang, aku lapar ...,” rengek Arsyil dengan mengembungkan kedua pipinya.

Ya ampun, gemas banget. Amira mengerjap saat sadar telah mengagumi Arsyil secara tidak sengaja.

“Ya ampun, Sayang ... maaf, ya. Aku sampai lupa. Yuk, kita makan di ruangan aku aja. Takut ada yang ganggu,” bisik Amira yang masih dapat didengar jelas oleh Dewo.

“Siap, Sayang.”

Arsyil menggenggam tangan Amira dan mengecupnya lembut di hadapan Dewo. Lagi-lagi Amira harus menahan napas dengan adegan kali ini. Fix, habis ini dia akan pergi ke spesialis jantung untuk cek kondisinya. Terkadang, cowok ganteng yang manis dan penuh perhatian memang kurang baik buat kesehatan jantung. Bikin dag, dig, dug, melulu ....

Abib baru masuk ke kafe setelah pertunjukan usai. Dia memang meminta Arsyil masuk terlebih dahulu, sebab mendadak ada telepon. Jadilah Abib mengobrol di taman kafe dan Arsyil masuk lebih dulu.

“Bib!” sapa Dewo.

Abib menoleh dan sedikit kaget melihat lelaki yang sudah melukai hati sang kakak dan juga menelantarkan keponakannya itu. Ya, Dewo baru sadar belum ada setahun, dan baru-baru ini pun ia mentransfer sejumlah uang untuk Gala. Dulu, setelah Amira mengajukan surat cerai usai melahirkan, tak sepeser pun uang keluar dari Dewo sekadar untuk Gala yang masih bayi.

“Ngapain ke sini?” sinis Abib dengan wajah tak bersahabat.

“Abang mau ketemu Gala, Bib.”

“Apa? Enggak salah denger?”

Dewo menunduk.

Abib menoleh dan menyapu pandangan ke seluruh sudut kafe. Tempat usahanya bersama sang kakak sedang ramai. Tak elok rasanya jika harus adu mulut apalagi adu fisik dengan mantan kakak iparnya itu. Tanpa Abib tahu jika tadi sudah ada pertunjukan romantis nan dramatis antara mantan suami istri dan brondong meresahkan.

“Lu pergi, deh. Gue sama Mbak Mira sibuk!”

“Tapi, Bib, Gala–“

“Gala enggak butuh lu. Paham?” potong mantan adik iparnya cepat.

Abib segera pergi dan tak lagi peduli dengan Dewo yang terus menatap kepergiannya. Sementara di sebuah ruangan, setelah pintu tertutup, Amira langsung melepas tangannya yang digenggam oleh Arsyil.

“Lepasin!”

Arsyil cengo. “Lah?”

“Menang banyak lu, ya,” ucap Amira ketus. “Cium kening, elus-elus rambut, nyium tangan gue juga.”

“Lah, yang mulai duluan, kan, Mbak Mira.” Arsyil membela diri.

“Mulai apa?” Amira seperti amnesia.

“Nempel-nempel ke lengan aku sambil manggil sayang. Aku cuma ikutin genre alur yang Mbak Mira kasih aja.”

“Genre?”

“Iya, romance comedy, bukan?”

Amira langsung memukul lengan Arsyil dengan keras.

“Ih, galak amat calon istri.”

“Apa? Coba diulang?” pinta Amira, masih dengan nada ketus.

“Dih, enggak ada siaran ulang. Tadi itu live,” jawab Arsyil. “Bisa, sih, kalau mau live streaming. Tapi, harus ada kamera dan adegan romantis tadi diabadikan.”

“Arsyiiil ...!”

Dengan cepat pria dengan kaus putih dan jaket denim itu membekap mulut Amira. Amira pun melotot karena ulahnya.

“Sssttt ... enggak usah teriak-teriak, Mbak. Di depan masih rame dan mungkin masih ada mantan suamimu. Jangan sampai dia dan orang-orang ngira kamu aku apa-apain.”

Seperti paham dengan maksud Arsyil membekap mulutnya, Amira pun tak lagi berontak.

“Nah, kalau diem, kan, enak, Mbak. Ngapain harus teriak-teriak, sih? Kayak habis nyetak goal aja!”

Lagi-lagi Arsyil mendapat hadiah pukulan dari Amira. “Dasar tengil!”

“Tapi ganteng, kan? Tajir pula!” sahut Arsyil dengan mengedikkan alis hitamnya. 

“Dih, narsis!”

Arsyil tergelak dan duduk di sofa ruangan Amira, sementara ibu dari Gala itu duduk di kursi empuknya yang terdapat sebuah meja dan laptop. Ruangan 6x4 yang nyaman dan sejuk dengan sentuhan AC. Ada jendelan cukup besar yang membingkai kaca bening, langsung menghadap taman samping yang terdapat beberapa gubuk buatan atau saung-saung untuk para pengunjung.

Di bawah gubuk terdapat kolam-kolam ikan hias, sementara di depan gubuk terdapat hamparan batu hias warna putih. Atap yang menaungi adalah payung warna-warni yang didesain sangat cantik.

Usaha kafe ini dirintis Amira dan Abib sekitar tiga tahun yang lalu. Amira dan Gala harus terpisah, sebab wanita yang resmi menyandang status janda di usia pernikahan yang baru berumur tiga tahun itu terpaksa bekerja di kota. Gala dititipkan kepada ibu dan bapaknya yang saat itu masih sehat.

Dua tahun mengadu nasib dan hanya pulang di waktu-waktu yang diperlukan saja, membuat tabungan Amira cukup jika untuk membuka usaha kecil-kecilan. Ditambah modal dari orang tuanya dan juga tabungan Abib yang sedari dulu ingin mendirikan kafe, jadilah Manggala Kafe walau saat itu hanya ala kadar.

Akan tetapi, karena tanah yang dipakai adalah tanah orang tua Amira sendiri, jadilah bebas biaya sewa, tak seperti kafe milik teman-temannya. Awal-awal merintis usaha pun, Amira masih terus bekerja agar tetap ada tambahan modal untuk perkembangan kafenya.

Hingga tiga tahun sejak kafenya berdiri dan dirasa cukup, Amira memutuskan kembali ke tanah kelahirannya. Demi Gala dan ibunya yang juga sudah menjadi janda lantaran maut yang memisahkan. 

“Mbak! Mbak Mira!”

Arsyil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah wanita yang sedari tadi terlihat melamun itu.

“Mbak Mir!”

“Eh?” Amira mengerjap. “Apa?”

“Aku lapar, Mbak ...,” keluh Arsyil.

“Lapar ya tinggal makan, Syil.”

“Mbak Mira lupa apa gimana? Tadi, kan, Mbak yang bilang suruh makan di sini.”

Amira menepuk jidatnya pelan. Dia lupa, bahwa tadi ucapannya hanya lantaran adegan dalam cerita dadakan yang diciptakannya sendiri.

“Kamu mau makan apa? Mbak pesenin ke dapur, biar entar diantar ke sini.”

Arsyil tersenyum tipis. Kalau sedang mode lembut panggilnya ‘aku kamu’, kalau pas mode galak jadi ‘elu gue’. Ya, Arsyil hafal betul kebiasaan Amira yang terkadang lembut, kadang pula meledak-ledak kayak petasan nikahan orang Betawi.

“Makan Mbak Mira boleh?”

Etdah, mulai lagi. Amira membatin sembari memutar bola matanya malas. Entah sampai kapan ujian berupa brondong meresahkan itu akan berakhir.

“Boleh,” jawab Amira santai.

Arsyil menegakkan punggung. “Serius boleh?”

Amira mengangguk dan berdiri, lalu berjalan ke arah sofa panjang yang diduduki Arsyil. Wanita dengan dress warna pastel di bawah lutut itu ingin tahu, sejauh mana bocah seusia Abib tersebut berani meng-ghosting dirinya.

Amira duduk di samping Arsyil dengan posisi menghadap teman adiknya itu. Arsyil sedikit mundur saat wanita di depannya seperti menyerahkan diri. Sungguh, Arsyil takut jika itu bukan Amira. Apalagi saat wanita itu maju mendekatinya.

“M-Mbak Mira mau ngapain?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Siti Haroh
smngt kka author
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status