Tak mau ditipu anak kecil, Dewo segera merebut ponsel Amira untuk memastikan ucapan Arsyil. Seketika Dewo membeku, kakinya seperti mengakar di lantai, dan jari-jarinya kebas melihat nominal yang benar-benar masuk pada nomor rekening Amira.
Sementara Amira tersenyum puas saat bisa membuat Dewo mati kutu dengan adegan bohongan ini. Masalah uang itu, nanti setelah episode ini selesai tayang, Amira akan mentransfer balik pada rekening Arsyil.
“Sayang, aku lapar ...,” rengek Arsyil dengan mengembungkan kedua pipinya.
Ya ampun, gemas banget. Amira mengerjap saat sadar telah mengagumi Arsyil secara tidak sengaja.
“Ya ampun, Sayang ... maaf, ya. Aku sampai lupa. Yuk, kita makan di ruangan aku aja. Takut ada yang ganggu,” bisik Amira yang masih dapat didengar jelas oleh Dewo.
“Siap, Sayang.”
Arsyil menggenggam tangan Amira dan mengecupnya lembut di hadapan Dewo. Lagi-lagi Amira harus menahan napas dengan adegan kali ini. Fix, habis ini dia akan pergi ke spesialis jantung untuk cek kondisinya. Terkadang, cowok ganteng yang manis dan penuh perhatian memang kurang baik buat kesehatan jantung. Bikin dag, dig, dug, melulu ....
Abib baru masuk ke kafe setelah pertunjukan usai. Dia memang meminta Arsyil masuk terlebih dahulu, sebab mendadak ada telepon. Jadilah Abib mengobrol di taman kafe dan Arsyil masuk lebih dulu.
“Bib!” sapa Dewo.
Abib menoleh dan sedikit kaget melihat lelaki yang sudah melukai hati sang kakak dan juga menelantarkan keponakannya itu. Ya, Dewo baru sadar belum ada setahun, dan baru-baru ini pun ia mentransfer sejumlah uang untuk Gala. Dulu, setelah Amira mengajukan surat cerai usai melahirkan, tak sepeser pun uang keluar dari Dewo sekadar untuk Gala yang masih bayi.
“Ngapain ke sini?” sinis Abib dengan wajah tak bersahabat.
“Abang mau ketemu Gala, Bib.”
“Apa? Enggak salah denger?”
Dewo menunduk.
Abib menoleh dan menyapu pandangan ke seluruh sudut kafe. Tempat usahanya bersama sang kakak sedang ramai. Tak elok rasanya jika harus adu mulut apalagi adu fisik dengan mantan kakak iparnya itu. Tanpa Abib tahu jika tadi sudah ada pertunjukan romantis nan dramatis antara mantan suami istri dan brondong meresahkan.
“Lu pergi, deh. Gue sama Mbak Mira sibuk!”
“Tapi, Bib, Gala–“
“Gala enggak butuh lu. Paham?” potong mantan adik iparnya cepat.
Abib segera pergi dan tak lagi peduli dengan Dewo yang terus menatap kepergiannya. Sementara di sebuah ruangan, setelah pintu tertutup, Amira langsung melepas tangannya yang digenggam oleh Arsyil.
“Lepasin!”
Arsyil cengo. “Lah?”
“Menang banyak lu, ya,” ucap Amira ketus. “Cium kening, elus-elus rambut, nyium tangan gue juga.”
“Lah, yang mulai duluan, kan, Mbak Mira.” Arsyil membela diri.
“Mulai apa?” Amira seperti amnesia.
“Nempel-nempel ke lengan aku sambil manggil sayang. Aku cuma ikutin genre alur yang Mbak Mira kasih aja.”
“Genre?”
“Iya, romance comedy, bukan?”
Amira langsung memukul lengan Arsyil dengan keras.
“Ih, galak amat calon istri.”
“Apa? Coba diulang?” pinta Amira, masih dengan nada ketus.
“Dih, enggak ada siaran ulang. Tadi itu live,” jawab Arsyil. “Bisa, sih, kalau mau live streaming. Tapi, harus ada kamera dan adegan romantis tadi diabadikan.”
“Arsyiiil ...!”
Dengan cepat pria dengan kaus putih dan jaket denim itu membekap mulut Amira. Amira pun melotot karena ulahnya.
“Sssttt ... enggak usah teriak-teriak, Mbak. Di depan masih rame dan mungkin masih ada mantan suamimu. Jangan sampai dia dan orang-orang ngira kamu aku apa-apain.”
Seperti paham dengan maksud Arsyil membekap mulutnya, Amira pun tak lagi berontak.
“Nah, kalau diem, kan, enak, Mbak. Ngapain harus teriak-teriak, sih? Kayak habis nyetak goal aja!”
Lagi-lagi Arsyil mendapat hadiah pukulan dari Amira. “Dasar tengil!”
“Tapi ganteng, kan? Tajir pula!” sahut Arsyil dengan mengedikkan alis hitamnya.
“Dih, narsis!”
Arsyil tergelak dan duduk di sofa ruangan Amira, sementara ibu dari Gala itu duduk di kursi empuknya yang terdapat sebuah meja dan laptop. Ruangan 6x4 yang nyaman dan sejuk dengan sentuhan AC. Ada jendelan cukup besar yang membingkai kaca bening, langsung menghadap taman samping yang terdapat beberapa gubuk buatan atau saung-saung untuk para pengunjung.
Di bawah gubuk terdapat kolam-kolam ikan hias, sementara di depan gubuk terdapat hamparan batu hias warna putih. Atap yang menaungi adalah payung warna-warni yang didesain sangat cantik.
Usaha kafe ini dirintis Amira dan Abib sekitar tiga tahun yang lalu. Amira dan Gala harus terpisah, sebab wanita yang resmi menyandang status janda di usia pernikahan yang baru berumur tiga tahun itu terpaksa bekerja di kota. Gala dititipkan kepada ibu dan bapaknya yang saat itu masih sehat.
Dua tahun mengadu nasib dan hanya pulang di waktu-waktu yang diperlukan saja, membuat tabungan Amira cukup jika untuk membuka usaha kecil-kecilan. Ditambah modal dari orang tuanya dan juga tabungan Abib yang sedari dulu ingin mendirikan kafe, jadilah Manggala Kafe walau saat itu hanya ala kadar.
Akan tetapi, karena tanah yang dipakai adalah tanah orang tua Amira sendiri, jadilah bebas biaya sewa, tak seperti kafe milik teman-temannya. Awal-awal merintis usaha pun, Amira masih terus bekerja agar tetap ada tambahan modal untuk perkembangan kafenya.
Hingga tiga tahun sejak kafenya berdiri dan dirasa cukup, Amira memutuskan kembali ke tanah kelahirannya. Demi Gala dan ibunya yang juga sudah menjadi janda lantaran maut yang memisahkan.
“Mbak! Mbak Mira!”
Arsyil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah wanita yang sedari tadi terlihat melamun itu.
“Mbak Mir!”
“Eh?” Amira mengerjap. “Apa?”
“Aku lapar, Mbak ...,” keluh Arsyil.
“Lapar ya tinggal makan, Syil.”
“Mbak Mira lupa apa gimana? Tadi, kan, Mbak yang bilang suruh makan di sini.”
Amira menepuk jidatnya pelan. Dia lupa, bahwa tadi ucapannya hanya lantaran adegan dalam cerita dadakan yang diciptakannya sendiri.
“Kamu mau makan apa? Mbak pesenin ke dapur, biar entar diantar ke sini.”
Arsyil tersenyum tipis. Kalau sedang mode lembut panggilnya ‘aku kamu’, kalau pas mode galak jadi ‘elu gue’. Ya, Arsyil hafal betul kebiasaan Amira yang terkadang lembut, kadang pula meledak-ledak kayak petasan nikahan orang Betawi.
“Makan Mbak Mira boleh?”
Etdah, mulai lagi. Amira membatin sembari memutar bola matanya malas. Entah sampai kapan ujian berupa brondong meresahkan itu akan berakhir.
“Boleh,” jawab Amira santai.
Arsyil menegakkan punggung. “Serius boleh?”
Amira mengangguk dan berdiri, lalu berjalan ke arah sofa panjang yang diduduki Arsyil. Wanita dengan dress warna pastel di bawah lutut itu ingin tahu, sejauh mana bocah seusia Abib tersebut berani meng-ghosting dirinya.
Amira duduk di samping Arsyil dengan posisi menghadap teman adiknya itu. Arsyil sedikit mundur saat wanita di depannya seperti menyerahkan diri. Sungguh, Arsyil takut jika itu bukan Amira. Apalagi saat wanita itu maju mendekatinya.
“M-Mbak Mira mau ngapain?”
Abib lagi-lagi harus menerima telepon dari salah satu teman kampusnya yang mau reservasi kafe untuk acara ulang tahun. Tangan yang sudah menyentuh handle pintu ruangannya bersama Amira urung ia putar. Merasa haus, Abib pun bergegas ke dapur sembari menerima telepon.“Iya, Sya. Gimana?”“Bib, bulan depan pas malam minggu pertama, kafe lu gue boking, ya?”“Boleh, boleh. Untuk acara apa, Sya?”“Ultah gue, Bib.”“Wih, jatah umur lu semakin berkurang, dong, Sya?”“Sialan lu, Bib!”Abib tergelak dan meminta maaf karena hanya bercanda.“Untuk makan dan minum bisa request, kan?”“Bisa dong, Sya. Pelanggan adalah raja. Entar gue kasih diskon kalau tamunya banyak.”“Sip, sip. Entar gue
Bu Zahroh mengernyit menatap lelaki dengan kemeja lengan pendek dan celana bahan itu. Wajahnya seperti tak asing, pikirnya.“Bu ....”Dewo maju dan hendak meraih tangan mantan sang mertua untuk diciumnya. Namun, dengan cepat Bu Tami menyembunyikan tangan kiri di punggung dengan tangan kanan masih menggandeng tangan Gala. Dewo tercekat mendapati reaksi mantan mertuanya.“Ibu mau ke mana? Biar Dewo antar.”Bu Zahro langsung membulatkan mulut saat sadar, bahwa lelaki di hadapannya saat ini adalah mantan suami Amira.“Nggak perlu! Kakiku masih sehat buat jalan!” jawab Bu Tami, ketus. “Ayo, Bu!” lanjutnya mengajak Bu Zahro melanjutkan langkah sembari menarik pelan tangan Gala.“Ini Gala?”Bu Tami menyadari sesuatu dan langsung menggendong anak tampan berusia 5 tahun itu. “Bukan
“Apa?! Gala diculik?”Mendengar nama sang buah hati disebut, Amira langsung menoleh ke arah adiknya.“Gala diculik?” lirih Amira dengan mata membola dan langsung mendekati Abib.“Ibu sekarang di mana?”‘Ibu di rumah. Itu penculiknya gedor-gedor pintu terus. Cepetan pulang!’‘Nek ... Gala takut ....’ Terdengar rengekan Gala setelah kalimat Bu Tami yang terdengar panik.“Ibu, Ibu tenang, ya. Kunci semua pintu, Ibu sama Gala masuk kamar dan kunci juga pintunya. Abib sama Mbak Mira pulang sekarang juga.”Klik. Bu Tami langsung memutus panggilan.Dewo terus mengetuk pintu rumah mantan mertuanya dengan tak sabar. Niatnya hanya ingin bertemu Gala, tetapi Bu Tami malah menyebutnya sebagai penculik. Jika saja Dewo datang saat Amira dan Abib sudah di rumah,
Bahu Dewo luruh saat mendengar panggilan sang putra untuk pria yang usianya jauh di bawahnya. Hatinya hancur mendapati kenyataan. Jangankan memanggilnya papa, mengenali Dewo saja tidak. Mungkin itu tak seberapa dibanding sakit yang Amira rasakan dulu. Namun, diperlakukan sebagai orang yang tak dikenali putra kandungnya saja rasanya begitu pilu.“Papa Cil,” panggil Gala.“Iya, Sayang?”“Gala pengen main ke timezone,” pintanya setengah merengek.“Timezone yang di Mall?”Jagoan tampan itu mengangguk.“Tanya dulu sama Mama. Boleh, enggak?”Gala menoleh pada muara kasihnya yang menatap sang buah hati dengan penuh cinta.“Boleh, Ma?”Melihat kejadian yang sempat membuat Gala ketakutan, Amira pun mengangguk demi melihat senyum mereka
Semenjak kejadian di area Timezone waktu itu, Arsyil dan Amira sempat viral di jejagat maya lantaran ada seseorang yang mengabadikan moment tersebut. Walau tak sedikit yang mencibir karena usia keduanya terpaut cukup jauh, tetapi ada juga yang mendukung tanpa mau memperkeruh kolom komentar akun Bibir Dower itu. “Cantik, sih, sayang jendes.” “Cantikan juga aku ke mana-mana. Masih segel pula.” “Serius itu calon istrinya Arsyil? Kuat banget dukunnya.” “Janda semakin di depan. Perawan minggir dulu, Gan!” “Pawangnya sudah berpengalaman lahir dan batin.” “Arsyil udah kena pelet.” “Cocok, kok, Kak. Semoga selalu bahagia, ya.” “Emak ... anak perawanmu kalah sama janda.” “Apa salahnya sama janda? Yang salah itu cara berpandang kalian.” “Bung, jandanya buat gue aja. Barter sama perawan. Gimana?” Dan masih banyak lagi komentar-komentar soal hubungan mereka. Hubungan yang sebenarnya belum jelas hitam di atas putihnya. Amira sudah memperkirakan hal ini akan ramai diperbincangkan jika Ars
“Sial!”Dewo mengumpat dan mematikan ponselnya setelah melihat video berdurasi tak lebih dari 30 detik itu. Mantan istrinya yang semakin cantik sedang dipepet brondong tampan, terkenal, dan tajir.“Aku yakin kamu enggak main polosan, Mir,” ujar Dewo berburuk sangka. “Mana mungkin pria muda tertarik sama bekas orang?” lanjutnya dengan tersenyum miring.Dewo mulai berpikir keras untuk bisa kembali mendapatkan hati Amira. Pasalnya, dia adalah anak yatim piatu yang besar di sebuah panti. Setelah resmi digugat cerai oleh Amira, Dewo semakin hidup susah. Orang tua tak punya, pekerjaan pun tak ada.Gala. Ya, Gala satu-satunya alat untuknya bisa kembali hidup nyaman bersama Amira. Selain semakin cantik dan memiliki usaha kafe, Dewo tak akan kedinginan dan kepanasan di rumah petak milik temannya ini.“Mandi, Wo. Jangan main hape terus. Kerja. Hidu
“Arsyil belum tahu, Bun?”Bu Zahro menggeleng pelan.“Tahu apa?” Arsyil mengernyit dengan tatapan curiga kepada pasutri di depannya.Amira bingung mau berbuat apa. Masuk dan menyampaikan amanah dari sang ibu, tetapi takut akan mengganggu obrolan serius keluarga itu. Mau pulang pun dan membawa kembali sesuatu yang dibawanya, nanti di rumah malah dia mendapatkan ceramah.‘Ya udahlah. Kepalang tanggung, diem aja dulu. Enggak niat nguping, tapi udah denger,’ ucap Amira dalam hati.“Dia udah gede, Bun. Kasih tahu aja.”“Iya ....”“Ayah sama Bunda kenapa, sih? Tahu apa? Kalian nyembunyiin sesuatu?” Arsyil tampak tak sabar dan penasaran.Pak Beni berdehem dan membetulkan duduknya walau tak ada yang salah.“Ayah sama Bunda juga
“R-restu?” ulang Amira.“Hm!” Arsyil mulai menyendok nasi dan kawan-kawannya untuk masuk ke dalam mulut.“Emang bunda dan ayah kamu kasih restu? Kayaknya mereka tadi cuma bercerita, deh.”“Iya. Itu, kan, sekalian mereka ngasih tahu ke aku kalau ternyata aku dan ayah satu sekte. Sama-sama suka yang lebih matang. Ayah dukung aku buat merjuangain hati Mbak Mira.”Nyesss. Hati Amira adem dan bahagia mendengar kalimat dari bibir tipis Arsyil. Ada senyum tipis yang sengaja ia tahan saat melihat pria muda di hadapannya makan dengan sangat lahap.“Masakan Mbak Mira enggak pernah gagal,” komentar Arsyil.“Itu Ibu yang masak.”“Oh, calon ibu mertua juga jago masak, to. Pantes anaknya cantik.”Kening Amira berkerut. “Hubungannya apa?”