"Rere itu mati tidak wajar, Bang. Aku tahu semua itu karena sosok ... "Lelaki yang tingginya melebihi tubuhku beberapa senti itu tertunduk, menatapku lekat lantas ia meraih ke dua bahuku dengan satu tarikan nafas."Maaf, Dek. Selama ini Abang meremehkan mitos orang tua. Kekhawatiran itu terbatas karena tidak mau menyalahkan siapa pun di antara kita. Setiap Abang datang ke rumah Eyang, Abang rasakan juga, cuma tidak tega harus mencurigai keluarga." Begitu terangnya, dia menyapu bibirnya dengan lidah sekilas lalu menghela nafas panjang."Lalu, kita harus apa? Imel sekarang sudah ragu pulang ke rumah. Imel takut dia mengambil banyak nyawa," keluhku.“Dulu, rumah Eyang bukan rumah pribadi seperti sekarang. Menurut cerita orang tuaku, orang-orang datang dari berbagai kota demi bisa bekerja di pondok pesantren Kakung. Termasuk yang berpengaruh besar adalah orang pekerja pilihan Eyang, yaitu Santoso.""Beliau hilang, tidak tahu rimbanya ke mana. Bersama istrinya dia hanya meninggalkan surat
Eyang yang melahirkan Ayahku, beliau sosok wanita yang sangat adil dan bertanggung jawab atas hidup anak dan saudaranya. Aku merupakan cucu yang sebatang kara, cucu yang dulunya begitu dirindukan kehadirannya, karena rumah Ayah yang paling jauh. Semenjak aku kembali ke Rumpang, Eyang jarang menyuruhku untuk tidur bersama. Tapi, nyaris tiap hari aku di ajak Eyang seranjang … Semenjak teror itu selalu datang.Teror itu membuat aku sering berhalusinasi, kadang kala aku bisa melihat wajah Eyangku yang putih menjadi gosong, tubuhnya seakan-akan hidup di tubuh orang lain. Aku sering bertanya-tanya, mengapa wajah bersahaja itu kerap berwujud pocong dan bermukenah putih? Dia sering ikut dengan kami salat di tengah malam, juga selalu merasuki tubuhku hingga aku merasakan hampa yang mendalam.Sering hatiku berkata, suatu saat penghuni rumah Eyang akan menembus dinding nadiku hingga aku mati seperti Rere. Pertanyaannya adalah, pocong itu mirip dengan Eyang. Dia adalah Eyang? Atau Eyang adalah …
“Neng milih saja. Balek kampung besok sama Pakdemu iki kalau mau. Eyang panggil adiknya Hasim saja tinggal di sini. Kakungmu selalu berpesan jangan biarkan rumah kosong, Neng.”“Imel sudah janji mau ngikut Eyang.”Nekat. Jujur saja, rasanya aku tidak bisa di sisi Eyang. Kesempatan ini juga sudah berpihak kepadaku, Paman Tuwuh sudah memutuskan semuanya. Aku bisa meninggalkan Eyang atau tidak. Tapi, bagaimana dengan setelah aku pergi? “Yang, rumah ini tidak bisa dijual, ya?”Begitu pelan aku berbicara. Setengah berbisik, setengah lagi membujuk. Di sana ada hanya satu penghalang, yaitu penghuni kamar tidurku. Dia sudah hidup dan berkuasa di banding pemilik tanah ini sendiri. Eyang bahkan sudah merasa terjebak dihuniannya.“Siapa yang menjamin orang-orang dikemudian hari bisa selamat kalau rumah ini berpindah tangan Neng? Adikmu itu cerminan baru untuk perjalanan hidup orang lain. Jangan sampai sembrono, sebelum kita berusaha keras. Eyang akan mati di tanah Kakungmu sendiri bila tiba wak
*Aku melanjutkan kisahku, kisah yang sudah lama, namun masih berada di halaman pertama. Menemani bayangku, kekuatanku, nekadku dan mimpiku, aku akan terus berada di rumah ini ... Bersama Eyang. Kala itu, rintangan silih berganti datang. Jika ada yang mencari-cari di mana letak inti segala masalahku, jangan cari itu di hari ini. Karena semuanya seperti slide video yang berulang-ulang kali terulang. Teror yang sebenarnya baru di mulai ....***Bang Oar.Suara lelaki itu terdengar entah dari mana. Aku menoleh ke anak tangga di mana Eyang masih berdiri bersama wajah-wajah baru lainnya. Kucari keberadaan Bang Oar tetapi tak ada. Sontak kuarahkan tubuhku, kembali ingin berlari dengan sekuat tenaga.Saat itulah, nadiku berhenti berdetak, sosok pocong sudah berdiri tak berjarak dari wajahku. Mungkin, tak ada bisa melukiskan bagaimana aku menghadapi situasi terumit di detik berikutnya. Saat aku dibius bau bangkai dari sekujur tubuhnya. Kafan yang sangat amis, belatung juga kaki seribu, sepert
“Eyang?” Langkahku perlahan maju, entah apa yang sudah terjadi sejak aku meninggalkan rumah kurang dari dua puluh empat jam lalu. Aku terus melangkah pelan ke arah beliau karena ia memanggilku setengah berbisik. Dengar, dengar suara itu, suara Eyang seperti gendang yang terpantul di sudut-sudut ruang kosong. “Teka kene lan ndeleng, Watri ndedonga. Watri. Watri … “(Kemari dan lihat, Watri berdoa.)“Ngomong opo toh, Yang? Watri siapa?” tanggapku segera. Aku terus menjawab bisikan Eyang, sementara langkahku terasa ragu membelah ruang.KREEEKKK“Allahu Akbar.”Benar ada wanita di dalam kamarku, seperti yang dikatakan Eyang, sosok itu tengah mengangkat keduanya tangannya sembari mengumandangkan takbiratul ihram. Besar suaranya, tubuhnya pun sangat mirip dengan … Eyangku. Sontak rasanya tungkai lulutku jatuh, ‘Watri’ yang dibisikkan Eyang sudah hidup seperti teramat nyata di hadapanku. Suara kain berpadu bungkusan kue jatuh berserakan, jantungku berdentum hebat, bibirku mulai melupakan ra
*Dua hari sebelum kedatangan Bang Hasim dari lokasi proyek. Bacanya tidak mesti terburu-buru.***Kita kembali pada malam ketika aku mulai terbiasa memegang alat dapur dan mengenal bumbu masakan, tanpa arahan Eyang. Eyang hanya duduk di kamar, sepanjang hari hanya termenung menenun kain, bibirnya saja yang tak berhenti menyuruhku mengerjakan pekerjaan rumah. Biasanya beliau tak suka berlama-lama seperti itu, dia sangat aktif, dia juga tidak mengizinkanku mengolah tungku api berlama-lama. Hujan tidak pernah mengguyuri tanah Rumpang hampir sebulan lamanya, hanya saja angin kencang selalu datang merambah disepanjang bangunan siang dan malam.Aku tediam cukup lama sewaktu Eyang menyuruhku menurunkan kain gorden dari talinya, sore itulah aku melihat puluhan orang berjalan beriringan ke arah barat mengikuti senja. Karena posisi teras dan jalan raya sangat jauh, makanya aku hanya bisa memperhatikan dari balik jendela. Mereka mengenakan sarung batik, sarungnya disanggul rapi hingga menutupi
Rumpang di penghujung tahun.Keringatku menetes deras mengikuti ritme jantung yang seakan masih memburu. Mimpi aneh itu kembali berulang seperti potongan serial sinema yang berantakan. Beberapa saat aku memperbaiki perasaan. Aku membelalakkan mata saat pintu kamarku tiba-tiba diketuk pelan. Suara Eyang yang tadinya hanya menepuk kasur terhenti lantas berganti sapaan. Ia datang sembari mendorong pintu dengan deritan pelan. Kukira sudah lewat tengah malam, tapi, alarm panjang dari ruang tengah tiba-tiba terdengar. Dan ini artinya malam masih sangat panjang.Kepalaku masih sangat sakit, ngilunya menjalar turun ke pelipis. Ingatanku perlahan terkumpul, aku ingat saat Eyang memukuliku hingga aku terbanting ke dasar lantai.“Neng,” sapanya dengan suara parau.Bisakah aku percaya dengan Eyang saat ini? Rasanya sangat berat memutuskan siapa yang sedang aku hadapi. Seandainya aku benar meninggalkan Eyang ke masjid, mungkin tadi Eyang sudah dibun*h. Membayangkan gerak-geriknya di pojok lemari i
*Om Tuwuh disebut Paman juga. Om Tuwuh suaminya Tante Mita, tidak ada hubungan keluarga denganku atau Ayahku. Hanya saja Om Tuwuh pernah bekerja lama dengan almarhum Ayah dulu, sering berkunjung ke rumahku sampai Ayah suka berpesan pada mereka agar selalu menjagaku. *Pakde dari saudara Eyang bernama Raden Purnomo, kakak dari Pur Linggi, adik dari Raden Ratu –Eyangku. Mereka hanya tiga bersaudara; Eyang, Pakde dan Oma Pur. Ayah Bang Hasim bernama Raden Mukti, Sri Utami nama istrinya yang bersaudara dengan Ayahku dan Ibu Rere. Utami punya tiga anak, Bang Hasim, Hasan dan si bungsu yang meninggal saat masih dalam kandungan. Selebihnya, aku dan Rere sama-sama tunggal. *Kang Agus yang aku sebutkan saat bermusyawarah di rumah Rere adalah saudara Ayahnya Rere, mereka punya lima suadara yang tinggal diberbagai daerah. Dia dan keluarganya sangat percaya mitos, sama seperti Pakde yang menghendaki adanya jin di dalam mukenah yang selalu tergantung. Kata saudara Ibuku dulu, keluarga besar itu