"Kemarin ada beberapa orang mengubur mayat di sebuah desa bagian timur Taman Pemakaman Umum Coblong. Sesudah itu mereka duduk-duduk santai di sebuah tempat. Tidak jauh dari tempat mereka, ada beberapa ekor kambing yang merumput."Suara siapa barusan?Gelap. Tubuhku terapit dalam mimpi yang gelap. Kupalingkan wajah, namun, tak ada siapa-siapa di dekatku. Tanganku seolah meraba-raba, tapi, tak kutemukan manusia. Lalu, siapa yang berbicara di dekatku?Siapa yang berbicara? Siapa yang ada di dekatku?Suara itu seperti suara layaknya sedang bercerita ringan. Ia seperti tak melihatku di dekatnya. Padahal aku sedang merasakan ketakutan yang luar biasa. Aku berpikir, jika aku pasti sedang bermimpi buruk lagi."Mendadak, ada seekor kambing yang berlari menghampiri kubur tersebut. Ia mendekatkan telinganya seolah-olah sedang mendengarkan suara. Setelah itu ia lari terbirit-birit ke tempatnya semula dan bergabung dengan teman-temannya."Mendengar kalimat yang persis seperti hikayat zaman dahulu,
بسم الله الرحمن الرحيم‘Allahumma inna nas aluka salamatan fiddin, wa ‘afiyatan fil jasad, wa ziyadatan fil ‘ilmi, wa barokatan firrizqi, wa taubatan qoblal maut, warahmatan ‘indal maut, wa maghfirotan ba’dal maut, Allahumma hawwin ‘alaina fii sakarotil maut, wa najaatan minannari, wal ‘afwa ‘indal hisab.’*Salah satu kejadian yang di alami –aku, Ajeng Imelda Ningtiyas– pada pertengahan tahun 1983, hingga pada tahun 1985 membuatku trauma/cacat psikis.***Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin mataku tak salah lihat? Di atas ventilasi yang tingginya hampir mencapai lima meter dariku, memunculkan wajah. Wajah itu mengucapkan sesuatu yang tak aku pahami, tangannya melambai, pelan, seperti memanggilku agar segera keluar.‘Allahumma inna naj’aluka fi nuhurihim wa na’udzubika min syururihim!’Seluruh tubuhku bergetar. Apa yang aku saksikan benar-benar sudah tidak di batas wajar. Bagaimana bisa ‘Eyang’ ada di dua tempat berbeda. Yang satu sedang tidur di dekatku, sementara yang lain sedang m
Dua cangkir teh terhidang di teras kayu, yang dulunya jadi tempat bermainku bersama Ibu. Pakde, baru saja mengantar Tante Mita (istri yang menyewa rumah orang tuaku) ke kota membeli beberapa obat sesuai resep Mantri sebelum Pakde berangkat kerja."Teguknya sekali saja sehari, kecuali yang itu, itu tiga kali sehari, pagi satu kali, siang dan sebelum tidur.""Neng, Eyangmu tuh ora opo-opo disana. Ada Hasim, orang tuanya, juga si Tami. Utami yo pasti jaga Eyangmu. Manut apa kata Pakdemu, Neng. Pakdemu wes khawatir. Jangan sampai kamu dirawat ke balai lagi kan ruwet, Neng." Wanita paru baya itu menekukkan alis, kesedihan jelas tergambar di raut wajahnya.Mengingat beberapa hari ini aku tidak nafsu makan, semua orang pantas merasa khawatir. Aku selalu gelisah, aku juga mudah emosi. Bagaimana jika sesuatu terjadi lagi nanti? Bagaimana aku bisa menghadapinya? Malam-malamku hanya terisi gambaran kejadian yang aku alami di rumah Eyang. Kejadian itu adalah mimpi yang paling mengerikan dalam hi
*Ada sebuah memori dari masa lalu yang masih meninggalkan memar dalam dadaku. Puing-puing kenangan yang mungkin tidak akan pernah terlupakan hingga akhir hayatku. Lagu ‘Duka Pasti Berlalu’ dari penyanyi legendaris –Nike Ardilla– aku persembahkan untuk salah satu orang yang paling berharga dalam hidup ini. Liriknya mengisahkan tentang dia yang pantang menyerah saat mengalami kegagalan panjang. Namun, tekadnya tidak pernah pupus mengejar kebahagian hingga ajal memasung usianya tanpa belas kasih.Luar biasa hatiku tersayat, keheningan malam terpecah oleh lautan air mata. Segalanya seolah terkejut mendengar kabar kematian seseorang yang begitu gemar menyejukkan hati. Pagar dan tunas di teras rumah seakan ikut berbela sungkawa. Semuanya turut menyaksikan kendaraan yang datang beriringan bunyi sirine panjang. Rasanya bumiku penuh junusan tombak air mata. Siliwangi kala itu berdarah.Setiap waktu kudengar lagu keabadian itu, aku seolah mampu merasakan kembali hadirnya di sampingku, hangat
Bang Oar bergumam kecil saat tengah melihatku linglung. Tubuhku nyaris jatuh mendengar semua yang baru saja Andi, dan kawannya ucapkan."Dek?!" Bang Hasim memanggil panik.Tangan kekar milik Bang Oar sekekita terangkat, ia mengirim sinyal pada Bang Hasim bahwa aku baik-baik saja. Padahal dadaku seperti terhantam benda berat mendengar kenyataan jika Bagas baru saja meninggal dunia.Bang Hasim dibantu yang lain menuntunku ke bale kecil, sedikit berjarak dari kawannya duduk. Disodorkannya sebotol mineral, lalu beliau memberiku minyak obat pendera sakit kepala."Tapi, Imel yakin sekali semalam yang datang ke halaman rumah Eyang mirip Bagas, Bang. Demi Allah, aku berani sumpah.""Bagas meninggal kemarin sore, Dek. Kamu mungkin berhalusinasi.""Kamu jangan merasa bersalah dan menyangkut pautkan kematiannya dengan rumah Eyang. Kematian itu sudah jauh digariskan oleh Allah. Bagas meninggal di usia mudanya karena terjadi penggumpalan darah di organ jantung." Bang Hasim seperti memberi wejangan
Nyaris saja kaki Eyang terbentur, anak tangga yang bisa dihitung jari itu terasa sangat panjang saat lengan Eyang kuseret masuk. Tak peduli lagi dengan omongan orang yang katanya aku sedang berhalusinasi, karena demi Allah, di ujung halaman itu memang ada sosok yang menyerupai Bagas.“Cepat sedikit, Yang!”Saat itu, aku tidak tahu apakah Eyang menyadari ada yang datang atau memang beliau tidak melihatnya sama sekali. “Kamu tuh kenapa, Neng? Duh, ss!”Eyang masih menengok ke belakang sembari mengeluhkan lengannya. Sementara bang Oar hanya kebingungan, tidak juga banyak tanya. Untung saja lelaki itu tak banyak protes sampai aku mencapai pintu rumah.“Abang pasti juga enggak percaya kalau dia itu kawan bang Hasim.”“Yang kamu maksud itu ada dimana?” tanyanya terheran. Keningnya turut mengerut, sama seperti Eyang. Tidak kusangka, bang Oar juga tidak percaya denganku. Pintu segera kukunci, lalu bergegas ke arah jendela. Kesekian kali aku ingin yakinkan mereka jika sosok Bagas memang ada
Saat penulis memberi QnA, dia pernah bilang hanya aku yang bisa memecahkan siapa di balik sosok bermukenah putih itu. Sejujurnya, ada seseorang yang paling kunanti-nanti selama setahun belakangan ini. Putri, anak Mbak Yauya, anak manis itu pasti punya sebuah cerita dari peristiwa yang menimpaku di masjid dulu. Sayang sekali, dia dibawa pulang ke Bandung dan kami tak sempat bertemu lagi.*Kita kembali lagi pada suatu hari saat kami menuju pulang dibawa oleh dua buah andong. Pagi sebelum Ibu Desi datang menjengukku ke Siliwangi.Sepanjang jalan Rere sibuk mencungkil kacang tanah rebus dari kulitnya sembari menyeletuk percakapanku dengan Kang sopir. Luas perkebunan kopi membuat kelopak mataku enggan berpaling. Jika siang ia memberi nuansa rindang, tak tahu kalau malam.Banyak orang yang bilang padaku kalau aku teramat bodoh harus manut Eyang pulang ke Siliwangi. Mereka tidak tahu kalau hatiku sudah mengikrarkan diri agar ikut kemana Eyang pergi. Sepanjang percakapan kami menjadikan momen
"Jangan percaya takhayul!"Eyang menahan Rere dengan suara tegas, rahangnya yang mulai keriput terlihat menegang saat aku hendak mencari kebenaran tentang apa Rere lihat. Benarkah Pakde datang? Bagaimana bisa Pakde (saudara Eyang) datang kemari?"Kok Eyang marah gitu? Rere serius! Kalau enggak percaya lihat saja sendiri." Rere beranjak menjauh sembari menghempaskan nafas kasar. Baru kali ini aku melihat Rere seperti itu pada Eyang. "Pakdemu sedang bekerja. Luar kota, jauh. Mana mungkin dia bisa datang kemari? Kalaupun dia mau datang, pasti ngirim surat dulu jauh-jauh hari.""Sudah-sudah. Imel akan periksa sendiri."Dengan menenteng pijar di meja belajar Rere aku segera meluruskan langkah. Menuju pintu dengan tatapan nyalang. Di luar sana angin berhembus seperti biasa, dingin, tapi tidak mampu menembus dinding rumah ini. Karena penasaran, aku berjalan menuju ujung teras. Kugoyangkan pelita ke segela arah agar cahayanya menyoroti halaman rumah. Namun, tidak ada tanda-tanda Pakde datang