Share

Suara Gamelan

Ini adalah rumahku. Tapi, mengapa setiap hari aku selalu dihantui rasa takut? Seperti pagi ini, aku yang lupa mengambil dompet harus berlari, berkeliling rumah yang panjangnya dua kali dari lapangan volly, lalu bersikap seperti maling yang takut ketahuan nyuri barang.

“Huft! Gusti, aku enggak bisa kayak gini.”

Anak kunci saling berbenturan, artinya pintu belakang sudah kembali terkunci rapat. Segera aku mengambil ancang-ancang, menarik nafas dalam, lalu berlari sampai pagar luar yang jaraknya seperti setengah lapangan bola. Sebenarnya sosok itu beberapa hari ini sudah jarang muncul, terakhir dia nampak saat bikin aku pingsan. Tapi, sudah hampir seminggu, rumah terlihat aman. Bahkan, sudah dua hari aku bisa tidur siang bersama Rere.

“Imel, andongnya nunggu kok, enggak usah lari maraton.” Tegur Oma dengan bibirnya yang merah, beliau hari ini sudah pulang, aku dan Eyang mengantarnya sampai perbatasan Siliwangi, di pasar lima-lima.

“Imel tak tahu kapan Imel mulai suka berolahraga, Oma.”

“Bagus juga, Neng. Apalagi puasa-puasa, gini. Duh, enaknya makan cindol tape. (cendol tape)”

“Cendol liwet di simpang lima itu, Pur. Nanti singgah yo!” Dukung Eyang.

”Lah, kita lagi puasa, Yang!” Sahutku, mereka malah tertawa, menular ke kernek andongnya.

Sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan sawah dan kincir angin. Siliwangi begitu indah, pesonanya luar biasa. Tak heran, banyak pariwisata yang berkunjung saat hari libur. Eyang terus memepet Oma agar Pakde datang, meskipun Oma menasehati agar Eyang dan aku tidak perlu khawatir lagi.

“Kamu toh liat sendiri, kamar sudah bersih, wangi, di pel tiga kali sehari, jin dalam rumah pasti tidak betah. Jin itu suka rumah dalam keadaan kotor.” Ucap Oma.

“Apa yang Oma bilang itu benar?”

“Iya, ya, Neng. Selama ini si Lija enggak pernah bersih-bersih dalam rumah, dia cuma Eyang suruh bersihin pekarangan sama bantu nyuci.” Kini Eyang menimpali, wajahnya berbinar.

“Kalau gitu suruh Bibi Lija bersihin dalam rumah juga ya, Yang. Imel bantu.” Sungutku.

“Jangan lah, Neng. Nanti kek mana si Lija kalau capek.”

“Kan enggak tiap hari, Yang. Besok bersih di luar, besoknya lagi bersih di dalem. Lagipula, rumah sebesar itu enggak bisa sekaligus juga dibersihin tiap hari.”

Kulirik Eyang, aku tahu beliau pasti menimbang-nimbang. Bibi Lija sudah jadi keluarga bagi Eyang, makanya pasti Eyang enggak enak minta ke Bibi. “Tenang, Yang. Imel bakal bantu kok, Imel juga bisa nambahin gaji Bibi. Gimana?”

“Nanti kita bicarakan lagi, Neng.” Ucap Eyang membuatku sedikit lega.

Dua jam perjalanan sampailah kami di perbatasan. Oma langsung menuju pelataran stasiun, sementara aku membantu menjinjing tas pakaiannya. Beliau berjanji akan ke rumah Eyang bersama keluarga yang lain saat Idul Fitri seperti yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Karena Eyang paling tua, sudah jadi tradisi bagi kami untuk berkumpul di rumah beliau.

“Oma titip salam buat Om dan Tante, ya.”

Oma memelukku, bergantian dengan Eyang sebelum melakukan takzim. “Pasti, Neng. Kalau Hasim?”

“Em, sekalian Oma.”

Oma terkekeh, sedikit mengejek. Sebelum pergi, Oma memberiku selembar uang tunai berwarna merah. Dulu, lembar uang itu sangat banyak nilainya, bisa makan jajan seminggu pas teraweh. “Makasih Oma, hati-hati di jalan.”

Oma berpindah tempat ke mobil, sementara Eyang dan aku beranjak pergi. Kami berencana mampir ke pasar lima-lima, pasar penuh momen bersejarah buat pribadi aku sendiri. Selain ramai, pasar itu sudah menemani langkahku dan Eyang selama bertahun-tahun. “Nah, loh, Eyang lupa kertas belanja di andong.”

“Loh, terus piye saiki, Yang?

“Kamu jalan duluan aja, tau penjual tape toh?” Aku mengangguk. Jadilah kami berpisah. Eyang keluar dan untuk pertama kali aku berani jalan sendiri di tengah pasar.

Sepuluh menit menunggu Eyang bikin kakiku keram, aku lantas mencari tempat kosong untuk sekedar merenggangkan kaki. Tiba-tiba, seseorang mendekat ke arahku dan berhenti tepat di depanku. 

“Dek?”

“Ya?” 

Lelaki itu membuka helm, seperti orang yang menyodorkan diri untuk segera aku kenali. Orang itu tinggi, rahangnya sedikit menonjol.

“Kamu cucunya Eyang Ratu?”

“Loh?”

Ia tertawa pelan, sementara dari jauh sudah muncul Eyang.

“Punten, Eyang, tak kira siapa ternyata Imel.” Sapa lelaki itu.

“Hah! Hasim? Oma-mu sudah pergi ngikut rombongan si Santoso!”

Hasim? Hasim sepupuku? Aku kira sepupuku ini berubah, ternyata tidak sama sekali. Dia masih tampan, mukanya bening.

“Udah tahu, Yang. Diberitahu Kang Juarni. Hasim kesini lagi ada projek tugas tapi tinggal bareng kawan sekelompok.”

Eyang sedikit kecewa, beliau pasti mengira Hasim akan tinggal bersama kami. Tapi, Hasim bilang akan sering mampir selama ia masih disini karena projeknya ada di Siliwangi, tak jauh dari rumah Eyang. Akhirnya karena waktunya singkat, kami berpisah di toko buah setelah aku membeli tape, sementara Hasim menuju perabot rumah.

“Yang, kata Hasim malam ini mau mampir ke rumah. Imel mau buat es buah, ya?”

“Owalah, Eyang lupa kalau kamu suka banget sama es buah. Yowess, besok juga boleh bikin es buah.”

Meskipun bahannya cuma semangka, melon, sama pepaya tapi menu itu paling bikin aku ketagihan. Selesai belanja, kami mampir membeli lampu pijar, ukurannya lumayan dengan tiga buah pijar nantinya akan aku letakkan sesuai posisi aku berlari di kelagapan malam jika sedang menghadapi bahaya. Astaga! Aku ternyata berlarut memikirkan hari Jumat yang ternyata sudah di depan mata. Meski keadaan rumah baik-baik saja, tapi tetap saja pikiran buruk selalu menghantuiku.

Sore hari akhirnya kami sampai. Rumah terlihat lengang, pasti Rere masih sibuk mencari jati diri di tengah jalanan. Huff, aku juga bingung bagaimana orang tua Rere bisa mendidik putrinya yang seperti anak bujang. Pagi sudah keluyuran, sore malas-malasan, malam tepar-teparan. Untung kalau anak itu bisa puasa.

“Ngapain toh, Neng? Sok, bantuin Eyang masak!”

“Iya, Yang. Bentar.”

Dari arah luar terdengar orang mengetuk pintu. Aku yang posisinya sudah ganti baju segera ke pintu. Ternyata benar itu Rere. Tidak seperti kemarin dulu, raut wajah anak itu kini terlihat lemas. “Kamu enggak acting kan?”

“Oalah, Mbak. Seriusan Rere ini puasa.” Dia melempar tas tipisnya, lalu masuk ke kamar. Aku tertawa kecil, meskipun dia nakal tapi tetap bisa menjalani kewajiban.

Sore itu angin berhembus sedikit kencang, aku yang sedang mengupas buah seketika tertarik menengok belakang rumah Eyang. Rumah yang diisi lahan kosong, hamparan rumput, di sebelahnya juga, kebun milik Kakung hanya berisi pohon kayu dan rumput makanan sapi. Kata Bibi, rumput itu di tanam bagi petani sapi. Sangat luas. Pasti pemiliknya punya sapi berpuluh-puluh ekor.

“Mungkin mau hujan ini ya?” Eyang menyeletuk.

“Mungkin Eyang.”

Menjelang Maghrib aku merasa rumah Eyang semakin sepi. Padahal kami bertiga, tapi mengapa aku merasa sangat kesepian? Sampah berserakan menandakan angin masih berhembus kencang. Sementara aku yang baru saja bersiap mandi berjalan keluar. Ruang tengah jauh lebih lengang, samar-samar terdengar tembang.

Yah. Lagu tembang, pikiranku saat itu ada yang mengadakan hajatan. Jadi aku langsung ke kamar, memeriksa keadaan Rere. Ternyata sudah kosong, mungkin anak itu sedang mandi. Saat keluar, suara hajatan itu berganti nada, seketika bulu kudukku merinding. Aku yang tak ingin mendengarnya lama-lama akhirnya berlari kecil, mencari keberadaan Eyang.

“Yang! Cepet keluar, ada suara gamelan!”

“Ngomong opo toh, Neng? Banyak di daerah sini ngadain hajatan ya pasti adalah.”

Akhirnya aku mengalah. Aku disuruh Eyang mempersiapkan makanan buka puasa. Hingga selesai, kami bertiga duduk di meja. Suara gamelan itu masih ada. Hingga sore itu berganti Adzan Maghrib.

“Alhamdulillah.”

“Es buahnya dikit amat, Mbak!” Padahal dua mangkok sudah tandas.

“Nanti perutmu brojol, Re. Bentar lagi ya, kita sholat dulu.”

Malam itu suara gamelan terus terdengar, ada tembang, ada gamelan, ada tembang, lalu berganti gamelan lagi. Aku terus berpikir ada acara di dekat rumah Eyang karena suaranya kadang jauh, kadang dekat, kadang jauh sekali, kadang pula sangat dekat.

***

Sampai pukul Sembilan malam selepas kami teraweh. Aku mendapati teras rumah Eyang penuh orang. Salah satu dari mereka sudah aku kenal, ternyata Hasim yang datang. Eyang langsung menyuruh teman-teman Hasim masuk dengan wajah gembira.

“Dek, aku kira kamu di rumah tadi.” Ucap Hasim setengah berbisik.

“Loh, aku sama Eyang abis dari Masjid tarwih, Bang.”

Kulihat lelaki itu mematung, barulah ia mengangguk saat aku memanggil namanya berulang-ulang. “Yaudah, Bang. Masuk dulu.”

Rere malam ini jadi penjamu tamu. Biasanya anak itu bersemayam di balik selimut. “Hasim! Temen kamu ganteng-ganteng amat!” Teriak Rere dari luar.

“Biasa aja kali, Rere Centamani Kusnaedi! Jangan malu-maluin!” Tegur Hasim, tangannya sibuk memasang lampu yang aku beli tadi.

Malam itu Rere ternyata ingin mengundang pacarnya juga, jadi dia pergi meminjam motor Hasim dengan alasan ingin membeli sesuatu juga. Jadilah rumah Eyang seperti pasar. Eyang menyuruh Hasim segera membeli kue di luar, tapi motor Hasim masih di pakai Rere membeli kartu d*mino. 

Posisi aku masih di dalam, cangkir teh belum terisi semua. Tiba-tiba salah satu teman Hasim yang perempuan datang, ia menawarkan diri untuk membantu.

“Aku Sani, Mbak. Kawan Hasim juga tapi dari fakultas lain.”

“Aku Imel. Seneng ketemu kamu.” Setelah selesai aku keluar, sementara Sani pamit dulu ke kamar mandi.

Baru beberapa saat aku melihat Sani keluar, tiba-tiba ada yang nyahut. “Tak kira tadi lagi acara disini!” Yang lain saling menyahut iya.

“Lu juga denger, Ko?” Lelaki keriting yang dipanggil Eko mengangguk.

“Emang kenapa, Bas?”

Perbincangan itu sempat terpotong. Salah satu dari mereka datang, membawa bungkusan rokok, minuman kaleng juga makanan. Hasim yang tak jadi keluar karena sudah ada yang membeli lantas membujukku untuk bergabung. Kami ditawarkan martabak. Beberapa saat aku melihat mereka menikmati hembusan kretek di tangannya.

“Ada suara gamelan! Persis dari rumah ini. Ya kan, Ko? Eko lagi-lagi menyahut iya.

Perasaanku ini semakin tak enak. Suara tawa tiba-tiba seketika berhenti. Benar yang aku dengar, ada suara gamelan tapi entah dari mana. Tiba-tiba Sani yang sedari terdiam, langsung berbisik.

“Bang! Acaranya ada di belakang rumah!” Sembari menunjuk belakang rumah Eyang. Aku semakin tercekat, begitu juga Hasim. Ia lantas bangkit mencari Eyang.

Tidak ada yang merasa aneh pada kami, karena mungkin yang lain mengira di belakang rumah Eyang ada rumah. Kecuali Sani, gadis itu terlihat pucat saat kembali dari dapur. Entah apa yang sudah lihat Sani disana. Yang aku tahu pasti, gadis itu terlihat sangat ketakutan.

“Kita tengok, yuk! Siapa tahu ada sinden!”

“Gila sih, lu, Ndi! Tau aja yang gua pikirin!”

Saat itu, keadaan rumah Eyang riuh kembali. Sorak sorai teman Hasim meminta izin ke Eyang untuk menuju tempat belakang. Baru sampai di jendela rak buku Kakung, Hasim tiba-tiba datang membekap mulutku, ia menyisyaratkanku agar tenang dan diam. Sementara Eyang dan Sani hanya bisa berdiri mematung. Mungkin mereka juga kaget dengan apa yang baru saja kami lihat. Pendopo, tempat peristihatan Bibi Lija berubah jadi panggung. Ada banyak orang dengan pakaian putih mirip kebaya tapi seperti jubah. Mereka berlenggak-lenggok, sangat kontras dengan musik tambang yang terdengar memekakkan telinga.

“Mana yang lain, Hasim?!”

“Mereka ke belakang, Yang!”

Tiba-tiba suara khas teman Hasim terdengar menjerit. Aku yang masih berdiri di jendela rak buku segera melihat ke arah panggung itu. Betapa terkejutnya aku saat melihat orang berjubah putih, jubahnya menjuntai hingga menyentuh tanah, yang berjumlah puluhan itu berhenti berlenggak-lenggok. Seperti slow motion, kepala itu berbalik arah, mengarah persis ke arah dapur Eyang.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yeni Rosdiani
Naha bulan puasa teh Aya jurig...
goodnovel comment avatar
Hilman Herdian
Nitip jejak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status