POV ARUMHanya satu kata yaitu gundah!, aku berniat untuk membalas mereka semua, tapi nyatanya aku terjebak dalam permainanku. Aku bahkan tak bisa membalas lebih kejam ataupun setara, kenapa begitu mudahnya aku bisa menghapus semua luka-luka itu yang tersemat bak duri menancap bertahun-tahun.***Sore ini aku menghampiri Resti di kamarnya, ia tampak melamun memandang jauh keluar jendela. Aku menghampirinya karena sempat bingung kenapa seharian dia tidak keluar kamar."Ada apa? Kamu sangat terlihat bersedih semenjak hari itu?" tanyaku, Resti menoleh menyunggingkan senyum."Tak ada apa-apa mbak, Resti hanya ingin sendiri saja," tukasnya, aku menghenyak di kasurnya dan coba melihat mimik wajahnya lebih dekat."Sepertinya ada yang menganggu pikiranmu?" desisku.
POV ARUM"Duduk!" perintah mas Hadi. Dengan langkah gontai aku melangkah dan menghenyak."Kurasa saya tidak perlu mengajukan banyak pertanyaan lagu untukmu," ujarnya, aku masih bungkam."Karena saya sudah tahu betul bagaimana cara kerjamu. Tapi sekarang kembali lagi padamu, apa kamu masih ingin bekerja untukku?" tanyanya, aku sedikit menghela nafas dan coba melihat wajahnya."Aku datang untuk interview, aku berharap bapak bisa profesional disini," tukasku, mas Hadi tampak manggut-manggut."Oke baiklah, saya akan profesional. Mengingat saya cukup mengenalmu, dan selama yang saya tahu, kamu cukup berpengalaman dan memiliki kinerja bagus," ucapnya sambil memandangku lekat. Aku masih tak habis pikir melihat raut wajahnya, dan bahasa dia yang tidak bersahabat, apa it
"Dari mana saja kamu Rum?" bentak mas Tama saat aku memasuki pintu rumah. Aku melirik jam didinding sudah menunjukan pukul 23:45 malam."Tadi aku..." ucapanku di cegat oleh mas Tama."Tadi apa? Kerja apa hingga larut malam begini? Kamu baru kerja beberapa hari saja sudah pulang larut malam begini." bentakknya,."Mas, yang jelas aku tak ngapa-ngapain, tadi itu Risa menghubungiku ngajakan nongkrong, hingga lupa waktu."ujarku, muka Mas Tama memerah meredam amarahnya, entah apa alasannya dia gak mau mendebatku lagi. Aku menghela nafas panjang dan membuntutinya kekamar.***POV TAMAArum aku tau kehadiran dia dirumah ino tak lebih hanya mengasihani aku, aku salah jika memohon padanya untuk tetap tinggal hati pikirannya sekarang tak lagi denganku. Aku sering temui ia melamun dirumah ini, dan bahkan dia sangat
POV HADISelepas mengurus salah satu perusahaanku itu, aku kembali menemui Caca di rumah, dia pasti sangat marah padaku karena tak membawa Arum. Tapi tak apa, semoga ke depannya aku bisa meyakinkan putriku itu nanti."Papa..." teriak Caca saat aku baru turun dari mobil, gadisku itu berlari ke garasi mengejarku."Ya sayang?" sambutku langsung merangkul dan menggendongnya, tawa riang dan senyum Caca sejenak mengusir lelahku."Kok Caca panggil Pipi, papa nak?" tanyaku menurunnkannya."Mulai hari ini, Caca akan panggil Pipi, Papa ya? Kan Caca panggil Mama sama Mama Arum. Biar cocok," ujarnya, mendadak aku bungkam."Oh, iya Pa? Mama mana? Tadi Caca dah telpon Mama?" ucapnya lagi, kembali aku gendong putriku itu masuk kerumah."
POVARUMMalam berlalu, sang fajar berkunjung juga mengusik tenangku. Ini pagi pertama aku hidup seorang diri, mataku sembab karena menangis semalaman. Sedih saja saat mengingat garis nasib yang sudah tertorehkan. Kecintaanku pada mas Tama membutakan segalanya, aku menghancurkan banyak hati demi untuk hati seorang Tama. Aku telah membuang kebahagiaanku bersama mas Hadi demi dia. Kini aku seorang diri tanpa cinta tanpa keluarga. Mas Hadi sudah tak sudi melihatku. Ini memang kesalahanku. Aku benci mas Tama! Aku benci hidupku."Pagi neng?" sapa buk Hasna saat aku hendak menaiki mobil."Pagi Buk, mari buk saya berangkat kerja dulu ya?""Iya Neng, Hati-hati," sahutnya, aku menyu
Malam berkunjung, Mas Hadi terdengar berteriak memanggil pembantunya."Bik...,bibik.!" panggilnya dari kamar, entah berapa kali mas Hadi berteriak hingga aku mengcek ke dapur, kenapa pembantunya tidak datang-datang juga. Aku berjalan ke dapur dan mendatangi kamar Art itu."Bik, itu Mas Hadi memangg-" Ucapanku terhenti melihat dia gigil diatas kasur sembari bersembunyi dengan selimut tebal."Bibik kenapa?" desisku."Saya demam non, maaf. Inem juga tadi sudah izin pulang. Tolong bantu aku bilangin sama tuan," lirihnya gemetar. Sesaat hatiku terenyuh."Bibik....!" teriak mas Hadi makin lantang. Bergegas aku temui dia di kamar."Ya sudah bik, istirahat saja ya?" ucapku sembari bergegas.Sesampai di pintu kamar Mas Hadi, aku berd
POV TAMASore berkunjung, aku dan Geby beranjak pulang dengan menenteng barang bawaan yang lumayan untuk Luna dan bayi dalam kandungannya. Anak itu tampak ceria menenteng kresek berisikan nasi bungkus."Sini nak, kamu pasti capekkan," sigapku menganggkat badan gadis itu Menggendongnya pulang.Sesampai di rumah mataku terbelalak melihat Luna tergeletak tak sadarkan diri."Luna!" teriakku menurunkan geby. Bergegas aku rangkul wanitaku itu dan menepuk-nepuk lembut pipinya."Sayang?" lirihku. Geby juga tampak menangis histeris."Mama...," pekiknya menangis. Tak habis pikir aku mengendongnya ke atas kasur dan menyadarkannya."Luna.. Bangun lah," desisku, menepuk-nepuk pipinya sedikit kencang. Sayup-sayup matanya terbuka, berusaha ia getarkan bibirnya yang t
POV HadiSatu hari berlalu, Caca sudah mendingan. Namun dia tak mau bicara denganku."Sayang, kamu makan dulu ya Nak?" desisku menyodorkan sendok makan ke mulutnya sedikit ia menggerakkan lehernya."Gak mau...!" singkatnya, aku sedikit berdesih."Sayang kamu harus makan biar cepat sembuh nak?" ujarku."Caca gak mau sembuh! Caca mati aja," tukasnya, aku menelan liur, serek kerongkongan dan meletakkan piring itu lagi."Kamu gak mau sembuh? Baik lah! Berarti kamu tidak sayang pipi!" ucapku sedikit tegas. Anak itu tak bergeming hingga percakapan itu diselip oleh suara seorang dari pintu masuk."Caca...!" panggilnya, sontak saja wajahku berubah melihat Raina berdiri."Kamu...! Buat apa kamu datang lagi kesini!"