"Aku tidak tahu, Bibi. Sungguh, ini kesalahan. Aku tidak mengerti." Ayumi merintih dan memohon ampun. Ia tidak punya ingatan tapi tahu benar kalau apa yang dilakukannya menjijikkan.
"Aku kasihan padamu! Aku mencoba mengerti bebanmu! Sebagai satu-satunya keluarga dari ibumu, aku mencoba membantu! Aku datang kesini berharap kita bisa dekat lagi meski berpisah lama, tapi kau malah menusukku dari belakang! Kau menjijikkan!"
Karina terus menghujamkan hinaan, dan semua benar. Ayumi tahu semua itu pantas untuknya. Ayumi meninggalkan tanah kelahikan ibunya---di Indonesia---saat kecil karena harus mengobati penyakitnya di Jepang. Ia baru bertemu Karina lagi setelah dewasa, saat Karina menikah dengan Hideki. Ia satu-satunya keluarga Ayumi selain Hideki, tapi kini perbuatannya yang menjijikkan menghancurkan hubungan itu.
“Air mata buaya! Kau tidak pantas menangis! Aku yang pantas!" Karina mendorong bahu Ayumi dan membuatnya terhunyung.
Untung ia masih bisa bersandar agar tidak terjatuh. Mendengar amarah Karina, kaki Ayumi mulai lemas juga. Seakan terbebani juga oleh rasa bersalah menggunung yang saat ini menimpali bahunya.
“Kau ingin aku kasihan melihat tangisan itu? Kau ingin aku memaafkan setelah semua itu? Jangan bermimpi!” Karin membentak sambil menarik tangan Ayumi dari wajahnya.
Ayu menggeleng. "Maaf, tapi aku benar-benar tidak tahu, Bibi. Ingatanku aneh. Aku tidak paham kenapa hal itu terjadi. Aku tidak pantas dimaafkan, tapi aku juga tidak tahu."
Ayumi masih tidak mengerti kenapa bisa terbangun bersama Hideki yang telanjang. Tapi bukan hanya telanjang, Ayumi tahu sesuatu itu telah tejadi, karena bagian bawah tubuhnya masih terasa sedikit nyeri. Ayumi tidak naif, perbuatan menjijikkan itu benar-benar terjadi.
“Kau pikir aku bodoh?! Bagaimana kau tidak ingat telah melakukan hal seperti itu? Hanya itu alasan yang kau punya untuk membela diri? Tidak ingat? Bagaimana bisa kau tidak ingat setelah tidur dengan pamanmu sendiri?!” Hardikan Karina menusuk lagi.
“Tidak mungkin!” Ayumi menutup telinganya. Kenyataan itu terlalu kejam untuk didengarnya. Ayumi tidak bisa menghapus bukti dari tubuhnya dan kenyataan tadi, tapi cacian Karina yang paling menyakiti. Seolah menyayat dosa itu dan memperlihatkan di depan mata Ayumi agar semakin malu.
"Tidak suka mendengarnya? Lalu bagaimana denganku? Aku yang melihat kalian berdua telanjang! Apa aku harus menusuk mataku sendiri untuk menghapusnya?! Ini tusuk pakai jarimu!"
Karina menarik tangan Ayumi, dan memilih telunjuk, menekan jari itu pada matanya. Meminta Ayumi melakukannya. Ayumi tentu menarik tangannya dan menggeleng sambil terisak.
"Kenapa tidak?! Apa yang kau lakukan tadi malam dengan suamiku lebih keji! Lebih buruk dari sekadar menusuk mataku! Kau menghancurkan hidupku!"
Bentakan yang sekali lagi menambah rasa bersalah dalam diri Ayumi. Dia hanya bisa menggeleng dan terus menutup telinga, tidak ingin mendengar aib yang mengerikan itu.
“Akui saja kalau kau memang jalang! Kau menikmati tidur bersama pamanmu sendiri. Kau bukan hanya jalang, gila juga berarti!" Karina berkacak pinggang dan mendorong kepala Ayumi dengan telunjuknya.
“Aku akan mengatakan pada Kaitto bagaimana kau yang sebenarnya! Kau tidak lebih dari wanita menjijiikan!”
“Jangan, Bibi. Aku mohon jangan!" pekik Ayu, sambil meraih lengan Karina. Langsung terbayang bagaimana hinaan ibu mertuanya selama ini.
Saat Ayumi tidak melakukan apapun saja, ia sudah menempelkan banyak sebutan buruk pada Ayumi, bagaimana sekarang? Belum lagi Kaitto, ia akan marah. Ayumi tidak ingin menanggung semua itu.
“Kenapa jangan?! Aku yakin ibu mertuamu itu akan bahagia. Selama ini tuduhannya benar. Kau memang wanita sial! Sudah terbukti sekarang!” Karina mengibaskan tangan, tidak ingin Ayumi menyentuhnya.
"Jangan mengatakan ini semua kepada mereka. Aku mohon, Bibi.” Ayumi mengejar tangan itu, ia akan memohon dengan sungguh-sungguh karena Masaki depannya ada di sana.
“Takut? Seharusnya kau memikirkan ini sebelum menggoda suami orang! Apalagi pamanmu sendiri!" Karina mendorong kening Ayumi dengan jarinya lagi.
"Aku tidak menggoda. Aku tidak ingat apa yang terjadi!” Ayumi menjeritkan kenyataan itu sekali lagi dengan putus asa. Ia ingin Karina mengerti apa yang terjadi, meski benar juga ia telah tidur dengan pamannnya sendiri.
“Kau seharusnya malu masih mencoba untuk membantah! Kau bukan hanya wanita murahan penggoda suami orang, tapi kau sudah melawan hukum alam sampai-sampai kau menggoda pamanmu sendiri!”
"Aku tidak menggodanya." Jeritan itu tidak lagi bersuara keras, Ayumi hanya mampu merintih. Kalah oleh jijik dan rasa bersalah. Tidak lagi mampu mengingkari fakta.
“Kau itu aib sekarang! Tidak usah banyak tingkah. Tinggalkan Kaitto sebelum kau menjadi beban menjijikkan bagi keluarga terhormat itu!”
Karina juga tidak lagi berteriak, tapi tubuh Ayumi menggigil. Bayangan meninggalkan Kaitto adalah mimpi buruk. Itu kehidupannya. Ayumi tidak tahu harus melakukan apa. Dunianya akan runtuh. Bayangan itu yang membuatnya gemetar ketakutan.
“Hentikan omong kosongmu!”
Ayumi yang ada ditengah pusaran badari putus asa, tersentak mendengar bentakan rendah itu. Hideki keluar, dan tampak sudah lebih rapi.
"Hentikan bagaimana? Kau ingin aku diam setelah melihat suamimu tidur dengan keponakannya!” Karina berteriak marah tepat di depan wajah Hideki.
“Kau menyebut hal menjijikkan itu sebagai omong kosong setelahnya. Kau sama gilanya dengan Ayumi berarti! Setidaknya jelaskan padaku, bukan malah menegurku!"
Hideki tidak bergerak meski Karina terus berteriak. Ia memandang dengan mata datar seolah teriakan Karina berada di alam lain yang berbeda dengannya.
“Kita berpisah sekarang! Ceraikan, dan beri kompensasi untuk rasa sakit hati ini!"
Hideki masih datar tidak bergerak, tapi Ayumi tersentak dan panik. Ia menyadari satu hal---menambahkan rasa bersalah lain yang sudah menumpuk.
“Apa kau serius?” Hideki mengernyit, merasa konyol mendengar permintaan Karin. Bukan perceraiannya, tapi kompensasi.
“Kalau kau berani menolak, aku akan mengatakan apa yang terjadi pada keluarga Kaitto!" ancam Karina. Ia tahu Hideki mempertanyakan permintaan uang itu.
Tapi pertengkaran mereka ditanggapi berbeda oleh Ayumi, kengerian. Ancaman itu kembali membuat Ayumi menggigil. Ayumi tadinya merasa perpisahan Hideki dan Karina akan menambah rasa bersalah---berharap mereka akan mempertahankannya, tapi kini tidak lagi.
Ayumi bisa membayangkan bagaimana ibu mertuanya akan menguliti tubuhnya dengan hinaan, sementara Kaitto akan marah padanya. Kalau Karina melaksanakan ancamannya, maka masa depan rumah tangannya juga akan hancur.
Ayumi tidak ingin ini terjadi, seperti apapun rumah tangannya saat ini, ia tidak bermimpi berpisah dari Kaitto. Ayumi mencintainya. Kaitto adalah cinta pertamanya. Ia hanya pernah membayangkan masa depan bersama Kaitto.
"Jangan..." Ayumi berdilema. Ia tidak ingin pernikahan Karina dan pamannya berakhir, tapi di sisi lain, Ayumi tidak ingin pernikahannya sendiri mati.
Gumaman itu hanya didengar oleh Hideki, lalu ia perlahan membungkuk di dekat telinga Karina.
“Kau mungkin bisa menipu Ayumi dengan sandiwara itu, tapi kau pikir aku akan menjadi naif juga? Bekas dupa yang kau bakar masih ada di dalam lemari.” Bisikan Hideki amat lirih, hanya Karina yang mendengar.
Karina yang tadi amat percaya diri, menarik kepalanya menjauh dari Hideki dan terkejut. Tidak menduga Hideki mengetahuinya. Karina sudah menyembunyikan dupa itu ditempat aman seharusnya. Tidak akan terlihat dan tidak berpotensi menimbulkan kebakaran.
Tapi Hideki memang sengaja mencarinya. Ia tidak segera keluar karena ingin menemukan benda yang menjadi sumber aroma aneh yang diciumnya tadi malam. Aroma yang perlahan membuatnya gila. Sampai sekarang pun, Hideki merasa kepalanya belum jernih.
“Aku tidak tahu apa tujuanmu, tapi jangan harap aku mengabulkan permintaanmu!" Hideki bukan tidak ingin berpisah, tapi ia tidak mau Karina mendapatkan keinginannya setelah semua kekacauan itu. Lagipula ia setuju Ayumi berpisah dari Kaitto. Pria itu sampah.
"Aku tidak akan menceraikanmu!” Hideki berseru lebih keras dan Ayumi memekik, keputusan itu berarti pernikahannya yang hancurnya.
"Aku akan memberi tahu apa yang kau lakukan dengan Ayumi pada keluarga Kaitto!" Karina berseru dan berbalik membuka pintu depan
Tapi tangan Hideki lebih cepat, ia menyambar lengan Karina dan menariknya masuk lagi, sambil mendorong pintu shoji itu sampai menutup."Jangan berani-beraninya kau melakukan hal itu!" desis Hideki. Ia tidak peduli pada pernikahan Ayumi, tapi tidak ingin Karina melakukan hal yang membuat Ayumi menangis berhari-hari."Oji-san!" Ayumi berseru panik, karena Karina kini menjerit kesakitan. Hideki bukan hanya menarik, tapi meremas lengan Karina sekuat tenaga."Jangan menyakiti, Bibi!" Ayumi menarik tangan Hideki, berusaha membebaskan Karina. Perlahan tangan Hideki merenggang, bukan karena tarikan Ayumi, tapi tangisannya."Oji-san, aku tidak mau berpisah dari Kaitto. Aku tidak mau kehilangan dirinya. Aku mohon, terima permintaan Bibi."Ayumi setelah itu memohon.Hatinya beberapa detik lalu masih berdilema, tapi mimpi buruk berpisah dari Kaitto lebih menakutkan untuknya. Ayumi tahu permintaannya itu mungkin lebih dari sekadar kurang ajar---meminta pamannnya melepaskan istrinya adalah gila.Baya
Ayu segera merapat ke sudut kamar mandi dan meremas ponselnya. Tidak ada yang bisa dilakukannya. Tubuh Ayu menegang, sementara matanya terus menatap Hide yang terlihat sangat marah.Dengan suara bergetar, Ayu berbisik, "Ojisan ..."“Oji-san!” Ayu menjerit, saat tangan Hide dengan kasar merebut ponselnya.Tanpa berkedip, Hide melemparkan ponsel itu ke tembok kamar mandi, ambyar menjadi kepingan.“Kenapa kau melakukannya?” Ayu meratap sambil jatuh terduduk, mengambil puing-puing ponsel yang tidak mungkin bisa dipakai lagi. Ponsel itu bahkan tidak lagi menyala, dan layarnya retak.“Aku sudah mengatakan padamu untuk tinggal disini! Kau tidak pantas kembali pada keluarga itu!” Hide mendesis, lalu memaksa tubuh Ayu berdiri, tapi Ayu menepis tangannya.“Tidak. Aku ingin kembali. Aku harus bersama dengan Kaito!”Hide menarik wajah Ayu mendekat, mencengkeram pipinya dengan tangan. “Apa yang kau sukai dari pria itu? Pria itu lemah! Dan dia sama sekali tidak membuatmu bahagia!”“Aku bahagia bers
Ayu mengusap air matanya, mengambil dua buah koper yang ada di dekat kaki, memakai keduanya sebagai penahan agar bisa berdiri. Ayu merasa tidak punya tenaga lagi. Dengan mata kosong, Ayu berjalan meninggalkan gerbang. Ayu tidak tahu harus melakukan apa, atau harus bagaimana. Dan Ayu tidak tahu bagaimana Kaede mengetahui apa yang terjadi. Karin seharusnya tidak bicara lagi, karena sudah mendapatkan uang yang ia inginkan, dan keinginannya untuk pergi dari Hide pun dipenuhi. Tapi sekarang sudah tidak penting siapa yang memberitahu Kaede, apa yang ditakutkan Ayu menjadi nyata. Ayu menghela nafas panjang, berusaha menahan tangis dan berjalan tertatih. Secara fisik, tubuhnya tidak sakit, tapi hatinya memar dan berdarah. Ia bahkan tidak mampu berdiri tegak. Ayu berjalan tanpa memandang kemanapun, tapi menghentikan langkah saat menyadari ada mobil familiar berhenti di sampingnya. Hide tidak pergi. Semenjak tadi, Hide masih ada di depan rumah Kaito. Dan tentu melihat bagaimanakah Kaede meng
Ayu tidak tahu berapa lama waktu yang dia habiskan untuk duduk diam di sudut kamarnya itu, karena saat tersadar, suasana di sekitarnya telah berubah gelap. Ayu bergerak menyalakan lampu, mengambil tumpukan futon dari dalam almari geser dan menggelarnya di lantai untuk tidur.Tapi meski sudah berbaring dan merasa sangat letih, Ayu tidak bisa tertidur. Selain gelisah dan ketakutan pada Hide, Ayu juga ketakutan pada masa depannya sendiri. Ayu belum pernah merasa begitu tersesat tanpa harapan, seolah seluruh dunia tak ingin menerimanya. Ayu lalu memejamkan mata, menarik nafas panjang beberapa kali. Menyingkirkan semua hal negatif yang ada di pikirannya saat ini, hal yang menggerogoti akal sehat dan kewarasannya.Saat ini, Ayu ingin memperbaiki kehidupannya saat ini, mencari jalan agar tidak terus terpuruk. Dan tentu memikirkan soal Kaito dan lain sebagainya bukan jalan yang tepat“Aku akan bekerja,” gumam Ayu. Setelah menyingkirkan pikiran itu akhirnya Ayu bisa sampai pada keputusan yang
Ayu mengatur sarapan di meja dengan sangat cepat. Sedikit tergesa, karena tidak ingin terlambat. Akan menjadi catatan buruk jika saat melamar saja sudah terlambat. Ayu mengatur nasi dan sup miso berdampingan. Karena tadi menemukan udang, Ayu memutuskan untuk membuat karage udang. Teringat pamannya itu menyukai karage.Lalu dengan hati-hati, Ayu meletakkan sumpit pada tatakan, persis di samping mangkuk. Tidak ada perbedaan tinggi pada sumpit itu, dan setelah merapikannya untuk kesekian kali, Ayu baru menyadari jika semua extra rapi itu tidak perlu. Tidak ada Kaede yang akan menegur, kalaupun sumpit itu memiliki perbedaan panjang saat ada di tatakan. Sedetail itulah kesempurnaan yang dituntut Kaede dari Ayu. Wanita itu akan mencaci saat menemukan kesalahan sekecil apa pun, bahkan jika itu hanya berupa perbedaan panjang sumpit.Ayu menggeleng, menyadari jika dia harus membuang kebiasaan untuk menjadi selalu sempurna itu. Tidak ada yang akan memarahinya lagi. Ayu men
Ayu membungkuk, melepaskan sepatunya dan melangkah ke dalam rumah, dengan kaki nyaris berjingkat agar tidak menimbulkan suara. Ayu harus hati-hati, karena dia pulang sangat terlambat. Restoran tempatnya melamar, ternyata hanya mau memberi kesempatan untuk wawancara setelah malam tiba—menunggu pemiliknya datang. Tentu saja Ayu dengan nekat menunggu, karena hanya restoran itu yang tersisa. Untung saja yang dilakukannya tidak sia-sia. Restoran itu juga memberinya pekerjaan. Dengan begitu, Ayu resmi mempunyai dua pekerjaan. Pekerjaan di pasar swalayan, dan juga sebagai pelayan di restoran.Meski keduanya pekerjaan kasar, tapi paling tidak, dengan bekerja di dua tempat sekaligus, Ayu memiliki harapan untuk bisa mengumpulkan uang dengan lebih cepat. Ayu sudah menghitung pendapatannya dengan sangat detail saat perjalanan pulang tadi, dan bisa membuat perkiraan jika dalam waktu tiga atau empat bulan ke depan, dia sudah bisa mengumpulkan uang untuk menyewa apartemen sederhana da
“AAGHH!” Ayu menjerit, menutupi wajahnya dengan tangan, dan menggelengkan kepala, tidak ingin menerima ciuman itu, tapi Hide menangkap kedua tangan Ayu dan menurunkannya dari wajah.“Apa lagi yang kau inginkan dari keluarga itu? Aku sudah menyuruhmu untuk tinggal di sini, dan lupakan mereka! Apa aku tidak cukup?” Suara Hide lebih lirih, tapi Ayu sudah telanjur ketakutan dan tubuhnya semakin gemetar.Dengan kenekatan yang terakhir, Ayu mengibaskan kedua tangan Hide, dan berhasil melepaskan diri. Cengkeraman itu tidak terlalu kuat karena Hide mabuk. Dan dengan mudah Ayu mendorong tubuh Hide ke samping.Tanpa menoleh lagi, Ayu berlari sekencang mungkin menuju ke kamarnya dan menutup pintu.Diiringi napas tersengal, Ayu kembali luruh. Terduduk memeluk tubuhnya sendiri. Untuk menenangkan gemetar, sekaligus menahan isakan yang sudah nyaris keluar dari bibirnya. “Kenapa…” Isakan itu akhirnya tetap datang seiring air mata.
“Shokuji o tanoshinde.” (Selamat Menikmati)Ayu membungkuk lalu mundur dengan wajah penuh senyum, sambil merapikan kimono yang dipakainya. Pakaian itu sedikit merepotkan pastinya—karena Ayu tidak terbiasa, tapi kimono itu adalah keharusan saat bekerja di restoran. Kimono itu adalah seragam karena restoran tempatnya bekerja bertema klasik. Menyajikan masakan tradisional asli Jepang dengan dekorasi yang juga kental dengan nuansa Jepang kuno.Ayu awalnya ragu bisa melakukan pekerjaan itu, karena pengalamannya memakai kimono hanya saat pergi ke festival musim panas bersama Rie beberapa kali, tapi setelah dua hari dan mendapat tips dari pramusaji lain yang ada di restoran itu, Ayu dengan mudah beradaptasi dan kini bisa dengan lancar melakukan pekerjaan—bahkan berlari memakai kimono itu tanpa merusak bentuknya. Ayu juga menyukai lingkungan kerja di restoran itu. Karena sangat sibuk, membuatnya cepat lupa dengan segala kehidupan mengenaskan di dunia ny