*Ikebana : Seni merangkai bunga khas Jepang.
Ayu menatap anyaman macrame yang ada di depannya, mengusap bagian simpul yang salah lalu mengeluh. Ini kedua kali Ayu salah membuat simpul yang seharusnya mudah.Ayu tidak membuat macrame yang besar —hanya berukuran tidak lebih dari tiga puluh kali lima puluh memanjang ke bawah, dan semua warnanya polos putih. Tidak menyelipkan warna apapun. Sejak awal Ayu tidak ingin membuat sesuatu yang rumit, karena Ayu malas berpikir yang rumit. Tapi ternyata makrame sederhana dengan warna hanya satu itu, sudah cukup membuatnya melakukan kesalahan.Apa yang dilihatnya dua hari yang lalu—Kaito bersama dengan Kaede dan satu wanita lagi yang tidak masih tidak tahu siapa—masih mempengaruhi Ayu. Ia mungkin menghadirkan pikiran positif, tapi pada akhirnya tetap tidak bisa melupakan kejadian yang dilihatnya tak lebih dari dua menit itu.Ayu tidak bisa meredam keinginannya menemui Kaito setelah melihatnya. Ayu harus menjelaskan apa yang terjadi—mereka harus bicara. Itu saja sekarang keinginan yang bergema
Hide menatap nama gedung yang mengkilap, menempel pada bagian depan dengan huruf raksasa. “Nakamura Kyōiku Zaidan.” (Yayasan Pendidikan Nakamura)Hide bergumam membacanya. Ada tulisan angka yang memperlihatkan tahun seribu sembilan ratus dua puluh satu. Menandakan kapan yayasan itu berdiri. Kurang lebih hampir seratus tahun yang lalu. Hide tidak terkesan, sejarah keluarganya lebih tua dari itu. Hide memasang kacamata hitam, dan mengancingkan mantel yang juga berwarna hitam, lalu turun dari mobil. Tampak uap tipis muncul dari sela bibirnya, bersamaan dengan hembusan napas. Belum ada salju, tapi memang udara semakin dingin.Hide melangkah menuju gedung utama. Tempat Kaito seharusnya berada. Tempat itu tidak mengalami perubahan banyak, meski terakhir Hide menginjakkan kaki di lingkungan ini adalah dua tahun lalu. Terlihat beberapa orang berpaling menatapnya. Bukan murid, karena bangungan sekolah berada di area yang lain.Hide berjalan cepat menuju ke lantai tiga. Hide tentu juga sudah
“Tidak mungkin! Ini gila, Hide!”Ryu melotot saat memeriksa foto yang ada dalam ponsel Hide. Tentu memang sulit dipercaya. Hide mungkin juga tidak akan percaya jika laporan itu tidak berasal dari anak buah kepercayaannya—selain Ryu.“Ini benar-benar istrimu?” Ryu menunjuk layar ponsel. Foto yang diperlihatkan Hide adalah foto Karin bersama Kaede, tapi laporan yang masuk pada Hide secara lisan, juga menyebut bagaimana Kaito dan Karin pergi berdua saja, hanya tidak sempat terpotret.“Mantan.” Hide meralat. Tidak seperti Ayu dan Kaito yang tidak mengalami kemajuan, proses perceraian Hide dan Karin berlangsung secepat kilat. Tidak sampai dua minggu, Karin bisa menanggalkan nama Tanaka. Dan Hide juga sama sekali tidak menangisi kenyataan itu—bersyukur malah.Hide mengayunkan katana yang ada di tangannya, membabat jajaran bambu hijau yang disiapkan berdiri di tengah dojo milik Kuryugumi. Potongan bambu itu terbelah di ten
“Oji-san? Tapi… bagaimana…” Ayu terbata saat lidahnya terasa kelu, imbas dari rasa terkejut.Ayu telah berhati-hati. Karena tahu kepergiannya ke tempat Kaito akan beresiko untuk mengundang amarah dari pamannya, Ayu dengan sengaja tidak menyediakan waktu khusus. Ayu dengan sengaja membolos hari ini, karena dengan begitu dia bisa menyamarkan kepergian ini dengan bekerja. Ayu berencana untuk mengirim alasan sakit kepada Mori nanti, setelah pasti dia bisa menemui Kaito. Tapi rencana itu tinggal rencana, karena justru Hide tahu dan menyusulnya. Tapi seharusnya Hide tidak tahu. Ayu berangkat secara normal dan tidak mencurigakan.“Kembali pulang sekarang juga!” Hide menggeram sambil melirik sekitar. Untunglah gerbang sekolah itu sudah cukup sepi. Jam sekolah sudah dimulai dan batang pohon meranggas itu cukup untuk menyembunyikan mereka berdua.“Tidak! Bagaimana kau bisa ada di sini?!” Ayu masih bingung dengan tepatnya k
“Kau kenapa?” Hide ingin meraih tangan Ayu, tapi sekali lagi Ayu mengibaskan tangan.“Ini tidak boleh… Ini tidak boleh.” Ayu menggeleng kuat-kuat, sementara bergumam dengan mata semakin tidak terfokus. Mata itu penuh dengan pandangan kepanikan dan ketakutan.“Yumi? Aku hanya ingin menolong.” Hide mengangkat tangan, tidak lagi mencoba menyentuh Ayu, tapi tetap berjalan mendekat.Ayu menggeleng, dengan mata yang kembali terfokus pada muntahan pada mantel Hide.“Apa karena ini?” Hide yang mulai tidak sabar, menunjuk noda itu, lalu membuka mantel dan melemparkannya ke atas kap mobil miliknya. Mengira Ayu tidak ingin dirinya mendekat karena kotor yang tidak diperdulikannya.Tapi setelah itu Ayu masih mundur setiap kali Hide mencoba meraihnya, dan perlahan terisak.“Aku tidak mau… Ini tidak boleh…” Ayu berbisik sementara perlahan berjongkok, kakinya menyerah menopang tubuhnya. Ayu mungkin akan terjatuh jika terus berdiri.“Tidak boleh apa?” Hide akhirnya bisa mendekat, dan meraih bahunya.“
“Apa…” Dokter itu jelas terkejut, dan langsung mundur menjauh dari Ayu. Bukan bermaksud kasar, tapi Hide yang mendekati Ayu membuatnya sedikit takut.Wajah Hide berubah menjadi menyeramkan begitu mendengar permohonan Ayu.“Aku tidak akan izinkan!” geram Hide, meraih tangan Ayu—menyentak, meminta Ayu untuk memandang dirinya.“Aku tidak mau! Aku tidak akan membawa…”“Itu anakku, dan kau akan menjaganya.” Hide mendesis menatap mata Ayu yang basah. Biasanya Hide akan menyerah pada permohonan dan air mata Ayu. Tapi tidak untuk kali ini. Hide terus menatap tajam, sampai pandangan Ayu beralih.“Maaf, tapi kami tidak bisa melakukan prosedur yang Anda minta tanpa persetujuan dari ayah bayi yang ada dalam kandungan Anda.” Dokter yang ada di sudut ruangan itu menjelaskan secepat mungkin. Dia menjelaskan karena sudah jelas tidak ingin berada dalam sisi buruk Hide.“Terima kasih. Kami akan pulang.” Hide menyerahkan kartu kredit pada perawat yang juga menunggu dengan kebingungan di dekat pintu. Per
Ayu mengeratkan genggaman tangannya pada tas, sementara kakinya melangkah turun dari kereta—lima stasiun lebih cepat dari biasanya. Ayu berjalan cepat—agar tidak terbawa arus rombongan penumpang yang ingin berpindah kereta—menuju pintu keluar. Ayu menatap sekitar, dan melambai memanggil taksi. Tujuannya sedikit jauh.Ayu sama sekali tidak menyadari saat ada orang yang juga memanggil taksi dengan begitu cepat, sementara tangannya memegang ponsel di telinga sibuk bicara. Pemandangan biasa, yang tidak biasa adalah saat taksi yang ditumpangi pria itu membuntuti taksi yang ditumpangi Ayu tepat di belakangnya.Tapi Ayu tidak mungkin curiga. Keberadaan taksi adalah umum saat jam sibuk seperti ini. Dan pikiran Ayu juga terlalu sibuk untuk memperdulikan lingkungan di sekitarnya. Ayu terus meremas kedua tangan yang ada di pangkuan. Meredakan keraguan dan juga terus menanamkan pikiran jika apa yang dilakukannya adalah paling benar. Pilihannya seharusnya benar.Kurang lebih dua puluh menit kemudi
Ayu mendengar suara pintu terbuka, dan hanya melirik. Hide membawa nampan makanan, lalu menatap nampan makanan tadi malam, yang sama sekali tidak disentuh oleh Ayu. Dan ini adalah hari kedua Ayu melakukannya. Semenjak berada di kamar ini, Ayu sama sekali tidak menyentuh makanannya.Hide sudah mengurungnya selama dua hari, dan tidak bicara. Hide hanya datang untuk mengantar makanan, dan sudah. Ini karena Hide tidak ingin rasa marahnya menjalar lebih jauh. Kenekatan Ayu sudah terlalu jauh menurutnya.Tapi Ayu juga tidak tertarik untuk bicara, dan jelas juga tidak tertarik untuk menyentuh semua makanan yang dibawa oleh Hide. Ayu merasa tubuhnya lemas—ia hanya bisa berbaring di ranjang—tapi masih tidak berniat untuk makan menyentuh makanan yang dibawa oleh Hide. Meskipun itu nasi kari kesukaannya.Ini adalah perlawanan. Ayu memaksakan diri untuk tidak makan, karena tahu apa yang dilakukannya akan membuat Hide paling marah. Ayu paham juga apa yang dilakukannya akan membahayakan bagi janin