Share

JANGAN PERGI BUNDA
JANGAN PERGI BUNDA
Author: Malica

BAB 1 Pertengkaran

Pagi pagi Miranti sudah bangun,dia melihat kesebelahnya yang biasa ditempati suaminya kini kosong kemudian dia turun dari ranjang pelan pelan, melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekaligus mengambil air wudhu untuk sholat subuh.

Walaupun keadaan perutnya yang semakin membuncit membuat geraknya sedikit kesulitan tapi tidak menyurutkan niat Miranti untuk tetap beribadah.

Setelah selesai sholat dan melipat sajadahnya kemudian menaruhnya diatas nakas, dia bergegas ke dapur untuk membuat sarapan.

“Kamu sudah bangun nak?” tanya ibu mertuanya yang sudah lebih dulu berada didapur.

“Iya bu maaf miranti bangun kesiangan”, jawab Miranti lirih sambil meringis memegangi perutnya.

“Ngga apa apa, kamu duduk saja biar ibu yang bikin sarapan”, jawab ibu mertunya dengan lemah lembut. Miranti merasa bersyukur mempunyai ibu mertua yang baik, tidak seperti yang selama ini dia lihat di sinetron sinetron. Walaupun kehidupan yang dia jalani selama berumah tangga dengan Radit ekonominya pas pasan bahkan cenderung kekurangan tapi Miranti merasa bersyukur memiliki ibu mertua yang baik yang memperlakukan dirinya seperti anak sendiri.

‘Oh ya bu, mas Radite pulang jam berapa?” tanya Miranti . Bu Ismi orang tua Radite hanya mendesah sambil menundukkan kepala. Raut mukanya mendadak sendu.

“Dia pulang pagi, dan sekarang masih tidur di sofa, maafkan Radite ya nak?” kata bu Ismi sambil memeluk tubuhku. Tubuh tuanya bergetar dalam pelukanku. Dia menangis memikirkan keadaan anak satu satunya. Aku tahu apa yang beliau rasakan saat ini. Ku elus punggungnya untuk memberinya semangat.Walaupun kondisiku saat ini tidak jauh berbeda dengan nya. Bahkan mungkin aku lebih terpuruk, Sebentar lagi akan melahirkan jangankan untuk persiapan biaya kelahiran untuk makan sehari hari saja sudah sulit. Tabungan yang ku miliki selama kuliah habis untuk kebutuhan sehari hari. Kini tinggal beberapa perhiasan yang ku miliki, yang rencananya akan aku jual untuk biaya lahiran nanti.

“Bu bau apa ini ?” tanyaku pada ibu mertua sambil mengendus bau yang mulai menguar.

“Ya Allah gosong masakannya”, teriak ibu mertuaku sambil bergegas mematikan kompor.

Telor dadar yang diharapkan bisa menjadi lauk sarapan pagi gosong.

“Gimana ini?, gumam ibu dengan raut wajah kecewa.

“Udahlah bu, buang aja telornya masih ada tiga mending digoreng lagi”, kataku sambil beranjak mengambil telor yang masih tersisa di kulkas.

“Tapi persediaan makanan kita tinggal ini aja, biar deh ibu yang makan telor ini, sayang kalau dibuang”, kata ibu memindahkan telor gosong itu dari meja kemudian mengoreng telor yang baru.

“Bu, buang aja, makanan gosong bisa memicu penyakit kalau di makan, nanti siang aku coba ke pasar untuk cari rejeki”, kataku sambil mengambil telor gosong itu dan membuangnya di tempat sampah. Saat kami sedang menikmati sarapan pagi tiba tiba mas Radite datang dengan rambut yang berantakan dan muka lusuh.

“Kalian ribut apa berisik banget,Mira bikinkan aku kopi cepat!”, kata Radite dengan suara lantang. Aku langsung menghentikan makanku dan cepat cepat membuka lemari tempat menyimpan kopi dan gula. Kemudian mengambil gelas dan menjerang air.

“Biar ibu saja nanti perutmu kena air panas”, kata ibu mertuaku merebut kelas dan tempat air panas. Aku mengalah kemudian mengambil kopi dan gula kemudian menyerahkannya pada ibu.

“Ini mas kopinya”, ucapku sambil menaruh kopi di meja di hadapan suamiku yang masih ngantuk ngantuk. Mas Radite langsung menyeruput kopinya.

Tiba tiba Buuur… kopi itu disemburkan lagi sampai meja dan lantainya kotor oleh tumpahan kopi.

“Aku minta bikinkan kopi manis bukan kopi pahit, dasar anak manja bikin kopi saja tidak bisa”, bentak suamiku. Aku langsung menunduk dan berusaha mati matian untuk menahan air mata agar jangan sampai tumpah.Rasanya sakit sekali hatiku dibentak suami secara kasar begitu.

“Gulanya habis mas”, kataku lirih.

“Beli dong, tuh warung bu Yuni dekat”, kata suamiku lagi.

“Uangnya ngga ada”, mendengar jawabanku mata suamiku melotot dan menatap tajam ke arahku.

“Hanya untuk beli gula saja kalian ngga bisa, kalau ngga ada duit kan bisa ngutang dulu”.

Aku mendongak menatap tajam ke arah suamiku, rasanya batas kesabaranku sudah habis.

“Mas, sejak kita berumah tangga kamu ngga kerja, tiap hari Cuma luntang lantung saja bahkan sering pulang pagi, sedangkan kebutuhan sehari hari harus ada, kita butuh makan. Untuk makan saja kita sudah susah apalagi sebentar lagi aku mau lahiran mau uang dari mana kalau kerjamu begitu terus”, kataku dengan nada tinggi. Aku sudah tidak perduli lagi dengan keberadaan mertuaku disana.

“Oh kau sekarang berani ya menentangku, aku sudah berusaha cari kerja tapi dasar nasibku sedang sial jadi sampai sekarang belum ada orang yang mau menerimaku kerja, dan itu karena kamu. Kamu pembawa sial dalam kehidupanku!”, benak suamiku. Tak kuasa lagi aku menahan air mata yang luruh membasahi pipi.

“Radite jaga ucapanmu!”, bentak ibu Ismi pada anaknya.

“Oh ibu mau belain dia, itu kenyataan bu sejak aku menikah dengannya kehidupanku bukan tambah enak malah semaki sial”, telunjuk suamiku mengarah kewajahku.

“Oh kalau begitu, kenapa tidak ibu saja yang cari uang untuk kebutuhan kita”, kata Suamiku santai. Aku tak kuat lagi menahan rasa sakit yang mengerogoti hatiku, aku berlalu masuk kamar.

Menangis sepuasnya sambil membenamkan wajahku di bantal sehingga suara tangisanku tidak terdengar. Rasanya aku sudah tidak kuat lagi untuk terus bertahan, suamiku sudah berubah.

Sosok Radit yang penuh kasih sayang dan perhatian tidak ada lagi kini yang ada hanya sosok Radite yang pemalas dan tidak bertanggung jawab. Aku kecewa kecewa sekali.

“Mami maafkan Ranti yang tidak mendengar kata mami”, gumamku lirih disela isak tangis. Setelah capek aku menangis aku terlelap. Bangun saat mendengar suara pitu dibanting keras.

Braak

Aku kaget kemudian bergegas bangun dan melihat jam yang terpasang di dinding.

“Astaghfirullah jam sepuluh”, aku bergegas keluar kamar dan mencari keberadaan ibu mertuaku. Rasa khawatir akan keselamatan ibu membuat aku berjalan tertatih tatih ke dapur dengan mata sembab.

“Di dapur tidak ada, di halaman belakang tidak ada kemana ibu?” aku gelisah memikirkan mertuaku. Wanita yang sangat baik dan menyayangi aku layaknya anak sendiri.

“ Mas ibu kemana?”tanyaku pada suamiku yang sedang asyik bermain ponse diruang tamu.

“ Ibu kerja cari duit buat kebutuhan kita”, jawabnya tanpa melihat ke arahku tatapannya masih fokus pada layar ponsel.

“Apa?, kerja ibu kerja?” tanyaku tak percaya. Mendengar jawabanku baru suamiku menatapku sambil tersenyum sinis.

“Seharusnya kamu yang kerja bukan ibu”, jawabnya dengan raut muka tidak bersalah.

“Kamu gila ya,semua ini tanggung jawabmu, kenapa malah ibu yang disuruh kerja, otakmu ditaruh dimana mas?” tanyaku penuh emosi.

“Apa kau bilang, aku gila?. Aku sudah berusaha cari kerja tapi hasilnya nihil sekarang giliran kalian yang usaha cari kerja” kata suamiku tertawa.

“Dasar anak durhaka, menyesal aku mengikuti kemauanmu mas”, jawabku sambil berbalik untuk pergi namun tiba tiba tanganku ditarik.

“Apa menyesal?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status