Dengan langkah tergesa, Max segera memasuki apartemen sederhana yang ada di depannya. Entah kenapa dirinya sangat yakin Louisa ada di sana. Beberapa kali Max melihat Louisa dan Bima dulu pergi ke tempat tersebut, setelah dia selidiki ternyata apartemen itu disewa Bima, dan sepasang suami istri tersebut kadang menghabiskan waktu berdua saja di sana. Max menaiki tangga, hingga sampai di lantai tiga di mana pengintaiannya waktu itu berhasil melihat Bima dan Louisa masuk ke salah satu kamarnya. Berdiri ragu, Max mencoba menekan bel. Dia harus menunggu beberapa saat untuk mendapat tanggapan dari dalam sana. Di saat dia hampir menyerah dan mengira Louisa tidak ada di dalam, suara kunci yang dibuka mengurungkan niat Max meninggalkan tempat tersebut. "Max?" Louisa menatap orang kepercayaan Edward dengan kaget. "Nona," balas Max menelisik penampilan Louisa. Mata Louisa terlihat seperti habis menangis. Max yakin, bukan hanya karena merindukan Bima dan juga bayinya yang menyebabkan Loui
Hingga malam tiba, Edward belum juga melihat Louisa, dia pun bertanya pada Sarah yang baru sampai sepulang dari apartemen Thomas. "Apa yang dilakukan Louisa di ruangan itu? Kenapa aku tidak melihatnya makan malam?" tanya Edward meminta perhatian istrinya. Sarah menoleh pada suaminya, dia melepas anting dan menyimpannya di kotak perhiasan. "Aku baru sampai dan belum ke ruangan itu. Kenapa tadi tidak dipanggil saja saat kamu makan, Edd?" tanggap Sarah, dia balas menatap suaminya dari cermin. "Aku tak mau mengganggu dia." Edward mendekat, lalu membungkuk di belakang Sarah hingga wajah mereka sejajar. "Apa kamu pernah merindukan aku, Sayang?" tanya Edward menatap dalam Sarah, lalu menoleh hingga kecupan di pipi pun diberikan kemudian. "Apa pertanyaan itu bukannya aku yang harus tanyakan, Edd?" balas Sarah dengan tatapan sarat arti. Tatapan keduanya bertemu. Hati Edward semakin teriris saat melihat rindu dan luka dalam sorot mata istrinya. "Aku selalu merindukanmu
"Bodoh! Bagaimana bisa kamu menurunkan Louisa di pinggir jalan begitu saja?!" hardik Jason menatap marah pada sopirnya. Dia menanyakan Louisa pada petugas, namun petugas rumah sakit itu menjawab bahwa tidak ada nama Louisa terdaftar sebagai pengunjung beberapa waktu lalu. Ditelepon pun ponsel Louisa tidak aktif, barulah Jason sadar kalau Louisa sengaja menghindarinya. Dia jadi melampiaskan kekesalan dan kemarahannya pada sopir, begitu tahu pekerjanya itu menurunkan Louisa di parkiran rumah sakit. Sang sopir pun mencoba membela diri, "maaf, Tuan. Tadi nona Louisa bilang takut tuan marah kalau saya--" "Bodoh! Itu pasti hanya akal-akalan dia saja!" potong Jason dia mengusap wajahnya yang sangat gusar. "Aku nggak yakin dia pulang ke rumahnya," gumam Jason, sedang sang sopir hanya bisa menunduk dengan takut pada tuannya. "Menyusahkan sekali!" geram Jason, lalu berjalan tertatih menuju ke tempat mobilnya terparkir. "Tuan, apa tidak sebaiknya anda juga memeriksakan kaki anda
Air mata Louisa berhamburan, dia masih berbicara dengan lirih mengharap belas kasihan laki-laki yang saat ini tengah mencoba mencabik harga dirinya. "Jason … tolong, jangan lakukan itu. Jangan," lirihnya dengan derai air mata yang menderas. Namun Jason tak menjawab, dia bahkan seperti tuli. "Jas--ah sakit … perutku sakit, Jason!" Louisa merintih, Jason seakan baru tersadar, ditatapnya wajah Louisa yang kini seperti menahan sakit yang sangat kentara. "Lou? Kamu kenapa?!" Jason menjauh diri, dia lalu menatap pada Louisa yang terus merintih sambil menyentuh perutnya. "Jangan berbohong, Louisa!" hardik Jason saat Louisa terus merintih dengan tangan memegang perutnya. "Tolong, Jas … perut aku sakit sekali!" "Ah, shit! Sialan! Kenapa aku jadi bersikap ceroboh seperti ini?" Jason mengumpat kasar, hasrat yang sempat menguasai diri, langsung menguap begitu menyadari Louisa tidak sedang membohongi dirinya. Jason segera menggendong Louisa. Sedikit kepayahan, Jason berhasi
"Aku mau pulang," kata Louisa begitu dirinya sudah melihat-lihat rumah. Dia selalu menunjukan sikap tak nyaman saat berada di rumah--yang kata Jason--sudah disiapkan untuknya bahkan sebelum Louisa dulu menikah dengan Bima. "Kita belum ke lantai atas, Louisa," balas Jason dengan memasang raut wajah memelas, berharap Louisa kali ini pun akan kembali menuruti keinginannya. "Aku nggak mau! Aku nggak nyaman di sini," aku Louisa jujur, sebenarnya ada asisten rumah tangga di sana, tapi Louisa merasa takut saat hanya ada Jason bersamanya, tatapan Jason seakan ingin melahapnya saat mereka hanya sedang berdua. "Kamu … takut sama aku?" Jason tertawa, dia menggeleng sambil bertolak pinggang. Louisa mendengkus kasar, tanpa menjawab Jason tahu apa yang ditanyakannya tadi adalah benar. "Louisa … Louisa, come on! Masa kamu takut sama aku?! Calon suamimu?" Jason berdecak tak percaya. "Aku mau pulang. Kalau kamu tak mau antar, aku bisa pulang sendiri," ucap Louisa tak menggubris apa
"Kamu lihat? Hanya dengan sedikit paksaan, anak kita langsung menurut. Jadi, kamu juga harus melakukan itu padanya, agar dia mau segera menikah dengan Jason." Edward berkata dengan penuh percaya diri. "Aku hanya takut perceraian Louisa dan Bima tidak sah, Edd! Kamu yang melakukan semua itu, dan itu diluar kehendak mereka berdua," bantah Sarah yang masih belum bisa menerima apa yang dilakukan suaminya pada Louisa. Edward berdecak sebal, "apa peduliku? Yang penting Louisa sudah percaya kalau dia sudah bercerai dari laki-laki sialan itu." Sarah menggeleng, lalu dia memilih pergi untuk menemui Thomas. Edward terkekeh, dia memanggil Max yang segera berlari mendekat. "Iya, Tuan Besar?" "Ikuti istriku. Antar dia," titah Edward. Padahal apa susahnya bertanya Sarah akan pergi kemana sebelum istrinya pergi tadi. "Baik, Tuan Besar." Max segera berlalu menyusul Sarah. "Kenapa kalian sangat rapi menyembunyikan kebersamaan kalian?" gumam Edward menatap Max yang menjauh. Hi