Share

tutup mulutmu!

Penulis: Pusparani Surya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-17 11:36:52

"Mom, kenapa Mommy diam saja? Bayiku baik-baik saja, kan?" Louisa meringis sambil menyentuh dadanya, sumber makanan untuk anaknya itu terasa penuh. 

"Dia pasti kehausan, Mom. Payud4raku penuh. Rasanya sakit," keluh Louisa membuat Sarah menatap ke arahnya, lalu pada Max yang seakan tidak mendengar semua perkataan Louisa.

"Sabar, ya," ucap Sarah yang tidak tahu dia meminta Louisa sabar untuk apa. 

Louisa mengangguk, hingga dia berada dalam mobil pun suaranya tak terdengar lagi. Tapi pikirannya mencoba berpikir jernih, dia bukan anak yang tidak memahami perangai orang tuanya. Ada yang berbeda dari sikap Sarah, ketidak beradaan Bima juga bayinya, memunculkan satu kecurigaan yang masih coba dia singkirkan. 

"Kenapa sepi sekali, Mom?" tanya Louisa saat mereka sudah sampai di kediaman Edward, rumah mewah nan megah yang sebenarnya tak membuat nyaman seluruh penghuninya. 

"Bukannya memang seperti ini biasanya, Sayang?" kata Sarah mengukir senyum tipis. 

"Aku pikir setelah ada bayiku, akan terdengar suara tangisannya sampai ke depan," kekeh Louisa turun dari mobil dibantu Max yang mengulurkan tangannya. 

"Kalau suamiku tau aku memegang tanganmu, dia pasti marah padaku, Max," ujar Louisa mengingat bagaimana Bima tak menyukai dirinya bersentuhan dengan laki-laki lain. 

Max hanya mengangguk pelan, lalu tangan Louisa digandeng Sarah memasuki rumah besar yang pintunya dibuka oleh pelayan. 

"Di mana bayiku, Bibi?" tanya Louisa pada pelayan yang membukakan pintu. 

Wanita itu terdiam begitu mendengar pertanyaan nona mereka. 

"Bibi, kenapa diam? Di mana suami dan bayiku? Ah, pasti di kamar sedang menyusu," lanjut Louisa melepas tangan Sarah dan bergegas ke kamar yang sudah disiapkan untuk bayinya. 

Sarah kembali berkaca-kaca, dia ingin menjerit melihat Louisa seperti itu. Sungguh dia belum bisa menebak apa yang sudah dilakukan oleh suaminya terhadap Bima dan bayi tak berdosa itu. 

"Bima! Sayang! Aku pulang!" panggil Louisa seraya membuka pintu kamar, tapi kamar itu sepi. Bahkan masih rapi seperti belum ditempati sama sekali. 

Louisa menoleh ke belakang, di mana Sarah, Max, dan pelayan yang membukakan pintu berdiri menatapnya. 

"Kenapa tidak ada? Kemana Bima? Kemana bayiku, Mommy?!" sentak Louisa yang sudah tidak bisa berpikir positif lagi. Bayangan Bima melintas dalam benak, menimbulkan rindu juga sesak yang tak terbayangkan olehnya. 

"Bima! Sayang! Kamu di mana? Jangan sembunyi! Keluarlah, Sayang! Aku pulang!" seru Louisa memanggil belahan jiwanya, suaranya menggelegar memenuhi kediaman Edward. 

"Louisa, Sayang … jangan terlalu cepat jalannya! Kamu baru selesai operasi!" seru Sarah saat Louisa berjalan cepat menuju ke tangga. Kamar Louisa dan Bima sebelum pindah ke lantai bawah. 

"Aku nyari Bima, Mom! Dia pasti godain aku dengan sembunyi bersama anakku. Bener-bener, Bima. Anaknya baru sehari udah diajak main petak umpet," kekeh Louisa dengan air mata yang berderaian hingga memburamkan pandangan, bahkan langkahnya sempat terantuk hingga membuat Sarah menjerit khawatir. 

Max menyusul Louisa, dia menahan tangan Louisa yang terus menaiki tangga dengan sesekali memanggil nama Bima juga bayinya, meski tentu saja Louisa menepis cekalannya, namun Max memilih bebal. 

"Bima!" panggil Louisa begitu sampai di depan kamarnya, dengan tak sabar dia membuka pintu meski kembali pemandangan yang sama dilihatnya kemudian, kamar itu pun kosong tanpa ada orang di dalamnya. 

Louisa melangkah masuk, diusapnya kasar air mata yang terus membasahi pipi. Dadanya sangat sesak, tenggorokannya tercekat oleh kesedihan atas pemikiran yang kini singgah di kepalanya. 

Bima pergi membawa bayinya. 

"Bima! Sayang!" panggil Louisa pantang menyerah, dia membuka pintu kamar mandi, meski kecewa yang kembali didapatnya. 

Menahan rasa sakit di perutnya, Louisa melangkah ke arah lemari, membuka dengan kasar benda itu untuk memeriksa sesuatu yang pasti sangat dibutuhkan Bima kalau berniat pergi. 

Louisa tertawa dengan nelangsa saat buku kecil berwarna hijau milik Bima tak ada di sana. Dia menarik laci itu dan mengeluarkan semua isinya. 

"Nggak lucu, Bima! Bercanda kamu tidak lucu!" jerit Louisa dengan menarik baju dari dalam lemari. 

Max menahan Louisa yang mengamuk, hatinya bergetar melihat Louisa seperti itu. 

"Louisa, Sayang, tenang! Sadar, Nak!" Sarah yang menyusul merangkul Louisa yang memberontak dalam dekapan Max. 

"Katakan, Mom! Siapa yang membuat Bima pergi? Jangan bilang Mommy yang melakukannya!" jerit Louisa, dia mengabaikan rasa sakit yang menyerang bekas operasinya, bahkan bekas sayatan itu kembali berdarah. 

"Tidak, Sayang, tidak! Mommy sama sekali tidak melakukan itu," balas Sarah menahan gerakan Louisa yang semakin memberontak. 

"Lalu siapa? Daddy?" Louisa menghentikan gerakannya, dia menggeleng mengusir pusing yang menyerangnya. 

"Non, perut Nona berdarah!" seru Max yang merasakan tangannya lengket saat memeluk Louisa yang memberontak tadi. 

Sarah menatap perut Louisa, mata membelalak saat melihat baju bagian bekas operasi caesar Louisa basah. 

"Tenang, Sayang. Luka kamu berdarah," kata Sarah. 

"Ini tidak sakit, Mom." Louisa mencengkeram bekas operasi, lalu tangannya yang kini berlumur darah menyentuh dadanya, "tapi di dalam sini sangat sakit, Mom! Sakit sekali!"

Melangkah mundur, Louisa menepuk dadanya, langkahnya mulai goyah dan tak lama kemudian wanita yang baru menyadari, kalau suami dan bayinya telah pergi itu pun tak sadarkan diri. 

Pekikan dari Sarah terdengar, sementara Max dengan sigap menangkap tubuh Louisa sebelum benar-benar terhempas ke lantai. 

"Kamu lihat! Apa begini sikap seorang ayah pada putrinya? Apa kamu tidak kasian padanya? Katakan, dimana Edward menyembunyikan Bima? Di mana cucuku? Bayi itu … cucumu juga!" 

Max menulikan telinganya seperti biasa, dia menggendong Louisa untuk kembali dibawa ke rumah sakit, namun saat menyadari ada kepala pelayan yang mungkin mendengar apa yang dikatakan Sarah tadi, Max menghentikan langkahnya. 

"Tutup mulutmu dari apa pun yang kau dengar tadi kalau masih ingin hidup!" ancam Max lalu meneruskan langkah membawa Louisa. 

Sarah berdiri di depan kepala pelayan yang kini menunduk dalam. 

"Rapikan lagi," ujarnya, dia tak peduli andai wanita yang sudah bekerja selama tiga puluh tahun di rumahnya itu mendengar semua perkataannya tadi. Sarah bergegas menyusul Max yang membawa Louisa pergi. 

"Ya Tuhan, benarkah yang aku dengar tadi?" lirihnya dengan jantung berdebar kencang. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    kedatangan Max

    "Apa tadi calon suami Mbak Mela?" tanya Bima begitu Mela selesai menerima telepon. "Maaf, tadi saya sempat mendengar percakapan Mbak," sambung Bima setengah tak enak hati karena telah diam-diam mencuri dengar. "Nggak apa-apa, Pak." Mela tersenyum sipu, "iya, barusan calon suami saya yang nelpon. Dia akan datang besok. Tadi meyakinkan saya agar tidak terlambat untuk menjemputnya di bandara," jelasnya dengan rona bahagia yang terpancar jelas di wajah. Bima mengangguk, "namanya … Max?" tanya Bima mulai mencari tahu. Berharap apa yang sempat terlintas dalam benaknya benar, kalau Max yang dia kenal adalah benar calon suami Mela. "Iya, Pak. Namanya Max. Maxim nama lengkapnya," balas Mela tanpa curiga kalau Bima tengah mencari tahu sesuatu. "Seorang ... pengawal?" Bima melanjutkan tanya dengan jantung berdebar. Kembali berharap Mela akan menjawabnya iya lagi Bima semakin merangkai harap kalau kali ini jawaban Mela pun iya. "Benar, Pak. Mantan pengawal tepatnya. Dia katanya du

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    pertemuan tak terduga

    "Mbah Tri!" pekik Louis saat sudah sampai di toko, bocah itu berlari memasuki toko dengan gerakan yang sangat cepat. Bima hanya menghela napas panjang, dia sudah bosan mengingatkan Louis agar tidak berlari, jawaban iya yang dikatakan Louis, hanya isapan jempol saja. Bima segera menyusul Louis masuk ke toko, di mana sekarang anaknya itu sudah berada di hadapan Pak Tri yang berdiri menyamakan tinggi keduanya sambil berbincang. "Mau diantar sekarang, Mas?" tanya Pak Tri, setiap hari dia yang mengantar Louis ke sekolah, tapi karena hari ini ada acara di sekolah, jadi Bima yang akan mengantar Louis. "Iya, Pak. Tadi Louis minta ketemu mbah tersayangnya dulu," sahut Bima seraya mengulum senyum. Kedekatan Louis dengan Pak Tri sudah seperti lem dan perangko, tak bisa dipisahkan. "Mbah Tri ikut aja, liat Ouis nyanyi nanti," kata Louis memegangi tangan Pak Tri. "Kan Mbah harus jaga toko. Louis sama papa aja, ya?! Nanti Mbah liat dari video aja." Pak Tri mengusap kepala Louis dengan

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    apa kau mengingatnya?

    "Dimana, Max? Bagaimana dengan Bima?" Max menerima panggilan Sarah, dia mengalihkan tatap ke arah unit apartemen Bima berada. "Di apartemen Tuan Muda, Nyonya. Besok, Tuan Muda akan kembali," jawab Max. "Lebih cepat dia pergi, lebih baik untuknya, Max. Edward berencana menemui dia kalau sampai besok sore kamu masih mengurus Bima," ujar Sarah yang sudah mengetahui rencana Edward. Max tak menjawab, dia tahu karena Edward sudah mengatakannya. "Bagaimana dengan Nona Louisa, Nyonya?" tanya Max, Sarah mengatakan padanya, setelah mendengar langsung talak yang diucapkan Bima, Louisa kembali terguncang. Louisa menjerit dan menangis tanpa bisa diajak berbicara dengan baik, dan setelah tenang justru memilih bungkam tak mengindahkan siapapun yang mengajaknya berbicara. Sarah sangat menyesal sudah menelpon Louisa, dengan maksud agar anaknya itu mendengar sendiri kata perpisahan yang dikatakan Bima. "Dia masih membisu, Max. Aku … takut," lirih Sarah. Max tak menanggapi, karena percuma

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    hanya tinggal kenangan

    "B-Bima? Tidak! Mom … Mommy?! Itu Bima! Itu suara Bima. Mom? Halo? Mommy!" Louisa histeris. Dia tak salah mengenali suara laki-laki yang baru terdengar jelas oleh indera pendengarannya. Namun sambungan telepon itu langsung terputus, dia pun mencoba menghubungi nomor Sarah dengan tangan bergetar. "Angkat, Mom. Kumohon," lirih Louisa dengan air mata yang berjejalan keluar dari pelupuknya. Pandangannya memburam oleh selaksa kesedihan yang kuat mendera jiwa. Hatinya kian hancur saat panggilannya tak mendapat tanggapan dari Sarah. "Mommy … Bima … bagaimana … bagaimana …." Louisa memaksakan diri melangkah, langkahnya terseok, dia kembali lemah setelah enam bulan lamanya berhasil menjadi kuat yang dipaksa keadaan. Kini jiwanya kembali rapuh, bahkan sangat rapuh setelah kembali mendengar suara si pemilik hati. "Bima, apa kamu ada di sini, Sayang?" Louisa akhirnya luruh, dia bersimpuh tepat di depan pintu kamar. Pelayan yang melihat Louisa tergugu dalam tangis dengan tangan memegang p

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    aku menceraikanmu

    Sarah memilih menunggu di luar, dia biarkan Bima ditemani Max karena tak sanggup untuk terus berkata bohong pada laki-laki yang kini wajahnya memar atas ulah pengawal suaminya. Ponsel Bima yang berada dalam genggamannya, membuat Sarah dengan leluasa terus memandangi wajah Louis. Sesekali dia mengusap pipi dari lelehan air mata pilu merindukan cucunya. Entah apa yang harus dilakukannya sekarang. Memberi tahu Louisa tentang kedatangan Bima? Atau membiarkan semuanya seperti saat ini, di mana Louisa sudah mulai terbiasa tanpa adanya Bima dan juga putranya. "Kamu tampan sekali, Nak," lirih Louisa mengusap layar ponsel. Hatinya teriris perih membayangkan Louis yang bertumbuh tanpa pernah dilihat oleh Ibunya. "Maafkan Nenek, Louis. Karena tak bisa melawan apa kehendak kakekmu, membuatmu harus berjauhan dengan mamamu. Tapi Nenek bahagia, kamu tumbuh dengan baik dalam asuhan papamu." Sarah menghela napas kasar, dia pun lantas mengambil gambar Louis dengan ponselnya, dia akan memperlihat

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    ini cucu, Mommy

    Bima melangkah perlahan, debaran jantung yang menggila membuatnya lemas membayangkan pertemuannya dengan Louisa. Dari dalam pos penjaga, seorang pengawal bisa dengan jelas melihat kedatangan Bima. Mata lelaki itu melebar melihat siapa yang datang mendekat ke arah gerbang. "Tuan Muda Bima," lirihnya tak percaya. Dia masih ingat bagaimana tujuh bulan lalu laki-laki yang pernah berstatus suami Nona mereka, diusir tanpa perasaan iba bersama bayinya. Dia segera mengangkat telepon, menghubungi Max untuk mengabari kalau Bima ada di depan kediaman majikan mereka. Max tak jauh beda, dia pun terkejut mendengar kabar tentang datangnya Bima yang tidak pernah terpikirkan olehnya. "Kamu yakin itu Tuan Muda Bima?" tanya Max membuat Edward menoleh padanya. "Ada apa, Max?" tanya Edward menatap tajam, telinganya jelas tak salah mendengar kalau Bima yang disebut namanya oleh Max. "Tuan, Tuan Muda Bima datang ke rumah," jawab Max tak menutupi kabar yang didengarnya, karena percuma dia berbohon

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status