Share

dimana bayiku?

Penulis: Pusparani Surya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-17 11:35:12

Max menggulirkan matanya menatap Sarah yang kini tak segarang tadi. Namun sorot mata wanita yang masih cantik di usianya yang sudah setengah abad, kini jelas tersimpan luka juga rahasia yang hanya mereka berdua yang tahu. 

"Katakan dimana Bima dan cucuku, Max! Aku mohon padamu," ujar Sarah yang kini mencengkeram lengan Max yang keras. Otot yang terolah dengan baik, dan dia pernah melihatnya. 

"Saya datang hanya untuk menanyakan apa yang anda butuhkan, Nyonya," jawab Max. 

"Dan yang aku butuhkan cucu dan menantuku," balas Sarah. 

"Kalau untuk itu, Nyonya bisa menanyakannya pada Tuan Besar," ujar Max tetap teguh kesetiaannya. 

"Kamu tak melihat Louisa, Max? Tak pernahkah kau memikirkan bagaimana akan menderitanya dia saat tau anak dan suaminya tidak ada?" 

Max melempar tatap ke brankar di mana Louisa terlelap. Namun semua rasa yang hadir dalam hatinya, dia tepis dengan cepat. 

"Maaf, Nyonya, itu bukan urusan saya." 

"Bajingan kamu, Max! Bahkan kamu tau kalau--" 

"Nona sadar, Nyonya!" seru Max saat melihat Louisa bergerak dan membuka mata. 

Sarah menelan kata-kata yang akan terucap, lalu menoleh pada Louisa yang kini tengah menatap langit-langit kamar. 

Sarah bergegas mendekat, dibelainya wajah Louisa yang kini mengarahkan tatap padanya. 

"Mommy, aku di mana?" tanya Louisa, "haus," lanjutnya. 

"Sebentar, Mommy panggil dokter dulu," kata Sarah lalu menekan tombol yang ada di dekat brankar Louisa. 

"Mom, perutku," kata Louisa menyentuh perutnya yang sudah kempes, perlahan ingatan Louisa kembali. 

"Aku sudah melahirkan, Mom? Mana anakku? Mana Bima?" tanya Louisa dengan wajah berbinar, membayangkan sosok yang selama hampir sembilan bulan bersatu dalam dirinya. 

Max melihat semua itu dengan tatapan dingin, wajahnya datar seperti biasa namun tak ada seorang pun yang tahu, bagaimana hati laki-laki yang selalu menunjukkan satu raut wajah saja itu. 

Hingga dia harus menyingkir dari ambang pintu, saat dokter dan perawat datang untuk memeriksa kondisi Louisa. 

Max menjauh, menghela napas kasar berkali-kali sekedar mengurangi rasa yang selalu disangkalnya pada sosok anak majikannya itu. 

Hingga panggilan masuk membuat Max sadar bagaimana harus selamanya bersikap, meski itu di luar kehendaknya. 

"Iya, Tuan Besar," sapa Max. 

"Bagaimana keadaan Louisa. Apa dia sudah sadar?" tanya Edward yang masih berada di kasur empuknya. Selimut tebal menutupi tubuh seorang wanita yang memeluknya tanpa bersuara. 

"Nona baru sadar, Tuan Besar," jawab Max datar. 

"Syukurlah. Kamu dampingi terus istriku, kemungkinan aku kembali besok pagi. Katakan saja kalau aku masih ada rapat di luar kota," tutur Edward sambil mengecup kepala wanita cantik yang langsung mendongak sambil tersenyum manis. 

"Baik, Tuan," jawab Max seperti biasanya. Patuh. Lalu panggilan pun terputus begitu saja. 

Max kembali menghempas napas kasar, dia tahu benar sedang apa Tuannya itu sekarang. Namun lagi-lagi dia tak bisa berbuat apa-apa. Seperti kata Sarah, dia hanyalah anjing yang akan setia pada Tuannya yang memberikannya tulang, dan Edward-lah yang selalu memberinya tulang, jadi dia akan patuh dan setia selama Edward tetap memberikan tulang 

Meski dengan sadar Max pernah mengkhianati Edward, saat Sarah menariknya masuk ke dalam kamar dalam keadaan mabuk, saat Edward tidak ada di rumah waktu itu. 

"Di mana bayiku, Dokter!" Teriakan Louisa menyadarkan Max dari pengembaraan masa lalunya, dia bergegas masuk dan melihat Louisa tengah ditenangkan oleh Sarah. 

"Maaf, Nyonya, anda sebaiknya menanyakan itu pada Tuan Edward. Saya mohon diri," jawab dokter yang tentunya tak bisa diterima oleh Louisa. 

"Aku akan menuntut rumah sakit ini kalau ada yang tidak benar, Dokter! Anda ingat itu!" kata Sarah murka, dia memeluk Louisa yang terus menanyakan keberadaan bayinya. 

Max memberi isyarat pada dokter dan perawat itu untuk keluar, dia lalu mendekat pada Sarah yang terus mengusap punggung sang putri. 

"Max, mana daddy? Kamu pasti tau di mana bayiku kan? Mana Bima? Bukankah dia pergi bersamamu? Mana suamiku?!" Louisa menatap tajam Max. 

"Anda akan mendapat jawabannya kalau sudah di rumah, Nona. Tenanglah," jawab Max begitu tenang, seakan tak ada yang disembunyikan olehnya. 

"Aku mau pulang sekarang kalau begitu. Ayo cepat!" Louisa menarik jarum infus secara paksa, Sarah menjerit melihat anaknya melakukan itu. Apalagi darah langsung mengalir dari bekas jarum yang dicabut paksa tadi. 

"Nona, apa yang anda lakukan?" pekik Max menahan Louisa yang kini berniat turun dari brankar. 

"Aku mau bertemu bayiku, Mom. Aku mau melihat anakku! Antarkan aku pulang!" 

Sarah berderai air mata melihat Louisa seperti itu, namun dia juga memahami kenapa Louisa sampai bertindak demikian. 

"Kamu baru sadar, Sayang. Kamu masih butuh perawatan," bujuk Sarah berharap anaknya luluh. Tapi dia tak yakin andai Louisa tahu dia sudah tidak sadar hampir dua hari lamanya. 

"Aku sehat, Mom. Aku baik-baik saja, justru aku akan tidak baik-baik saja kalau tidak segera bertemu bayiku. Mana ponselku, Mom?" tanya Louisa yang baru teringat dengan alat komunikasinya itu. 

"Di rumah," jawab Sarah singkat. 

"Ah, ya, aku baru ingat aku pergi ke rumah sakit tergesa-gesa, bahkan aku tak sempat memberi kabar Bima kalau akan melahirkan. Ayo kita pulang, Mom. Aku tak sabar bertemu putraku. Dia pasti kehausan." Louisa memaksa, dia melangkah dengan tertatih dibantu Sarah yang bingung harus berkata apa. 

"Saya ambil kursi roda dulu," ujar Max mendahului keluar kamar, dia tahu Louisa tak akan bisa dibujuk lagi. 

Dia hapal betul dengan sifat anak majikannya itu. Keras kepala. 

"Mom, putraku mirip siapa? Dia pasti sangat tampan kan, Mom?" tanya Louisa begitu sudah duduk di kursi roda dengan Max yang mendorongnya. 

Sarah menatap kosong ke depan, "bahkan Mommy pun belum melihat rupa bayimu, Sayang." Sarah hanya bisa menjawab dalam hati. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    kedatangan Max

    "Apa tadi calon suami Mbak Mela?" tanya Bima begitu Mela selesai menerima telepon. "Maaf, tadi saya sempat mendengar percakapan Mbak," sambung Bima setengah tak enak hati karena telah diam-diam mencuri dengar. "Nggak apa-apa, Pak." Mela tersenyum sipu, "iya, barusan calon suami saya yang nelpon. Dia akan datang besok. Tadi meyakinkan saya agar tidak terlambat untuk menjemputnya di bandara," jelasnya dengan rona bahagia yang terpancar jelas di wajah. Bima mengangguk, "namanya … Max?" tanya Bima mulai mencari tahu. Berharap apa yang sempat terlintas dalam benaknya benar, kalau Max yang dia kenal adalah benar calon suami Mela. "Iya, Pak. Namanya Max. Maxim nama lengkapnya," balas Mela tanpa curiga kalau Bima tengah mencari tahu sesuatu. "Seorang ... pengawal?" Bima melanjutkan tanya dengan jantung berdebar. Kembali berharap Mela akan menjawabnya iya lagi Bima semakin merangkai harap kalau kali ini jawaban Mela pun iya. "Benar, Pak. Mantan pengawal tepatnya. Dia katanya du

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    pertemuan tak terduga

    "Mbah Tri!" pekik Louis saat sudah sampai di toko, bocah itu berlari memasuki toko dengan gerakan yang sangat cepat. Bima hanya menghela napas panjang, dia sudah bosan mengingatkan Louis agar tidak berlari, jawaban iya yang dikatakan Louis, hanya isapan jempol saja. Bima segera menyusul Louis masuk ke toko, di mana sekarang anaknya itu sudah berada di hadapan Pak Tri yang berdiri menyamakan tinggi keduanya sambil berbincang. "Mau diantar sekarang, Mas?" tanya Pak Tri, setiap hari dia yang mengantar Louis ke sekolah, tapi karena hari ini ada acara di sekolah, jadi Bima yang akan mengantar Louis. "Iya, Pak. Tadi Louis minta ketemu mbah tersayangnya dulu," sahut Bima seraya mengulum senyum. Kedekatan Louis dengan Pak Tri sudah seperti lem dan perangko, tak bisa dipisahkan. "Mbah Tri ikut aja, liat Ouis nyanyi nanti," kata Louis memegangi tangan Pak Tri. "Kan Mbah harus jaga toko. Louis sama papa aja, ya?! Nanti Mbah liat dari video aja." Pak Tri mengusap kepala Louis dengan

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    apa kau mengingatnya?

    "Dimana, Max? Bagaimana dengan Bima?" Max menerima panggilan Sarah, dia mengalihkan tatap ke arah unit apartemen Bima berada. "Di apartemen Tuan Muda, Nyonya. Besok, Tuan Muda akan kembali," jawab Max. "Lebih cepat dia pergi, lebih baik untuknya, Max. Edward berencana menemui dia kalau sampai besok sore kamu masih mengurus Bima," ujar Sarah yang sudah mengetahui rencana Edward. Max tak menjawab, dia tahu karena Edward sudah mengatakannya. "Bagaimana dengan Nona Louisa, Nyonya?" tanya Max, Sarah mengatakan padanya, setelah mendengar langsung talak yang diucapkan Bima, Louisa kembali terguncang. Louisa menjerit dan menangis tanpa bisa diajak berbicara dengan baik, dan setelah tenang justru memilih bungkam tak mengindahkan siapapun yang mengajaknya berbicara. Sarah sangat menyesal sudah menelpon Louisa, dengan maksud agar anaknya itu mendengar sendiri kata perpisahan yang dikatakan Bima. "Dia masih membisu, Max. Aku … takut," lirih Sarah. Max tak menanggapi, karena percuma

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    hanya tinggal kenangan

    "B-Bima? Tidak! Mom … Mommy?! Itu Bima! Itu suara Bima. Mom? Halo? Mommy!" Louisa histeris. Dia tak salah mengenali suara laki-laki yang baru terdengar jelas oleh indera pendengarannya. Namun sambungan telepon itu langsung terputus, dia pun mencoba menghubungi nomor Sarah dengan tangan bergetar. "Angkat, Mom. Kumohon," lirih Louisa dengan air mata yang berjejalan keluar dari pelupuknya. Pandangannya memburam oleh selaksa kesedihan yang kuat mendera jiwa. Hatinya kian hancur saat panggilannya tak mendapat tanggapan dari Sarah. "Mommy … Bima … bagaimana … bagaimana …." Louisa memaksakan diri melangkah, langkahnya terseok, dia kembali lemah setelah enam bulan lamanya berhasil menjadi kuat yang dipaksa keadaan. Kini jiwanya kembali rapuh, bahkan sangat rapuh setelah kembali mendengar suara si pemilik hati. "Bima, apa kamu ada di sini, Sayang?" Louisa akhirnya luruh, dia bersimpuh tepat di depan pintu kamar. Pelayan yang melihat Louisa tergugu dalam tangis dengan tangan memegang p

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    aku menceraikanmu

    Sarah memilih menunggu di luar, dia biarkan Bima ditemani Max karena tak sanggup untuk terus berkata bohong pada laki-laki yang kini wajahnya memar atas ulah pengawal suaminya. Ponsel Bima yang berada dalam genggamannya, membuat Sarah dengan leluasa terus memandangi wajah Louis. Sesekali dia mengusap pipi dari lelehan air mata pilu merindukan cucunya. Entah apa yang harus dilakukannya sekarang. Memberi tahu Louisa tentang kedatangan Bima? Atau membiarkan semuanya seperti saat ini, di mana Louisa sudah mulai terbiasa tanpa adanya Bima dan juga putranya. "Kamu tampan sekali, Nak," lirih Louisa mengusap layar ponsel. Hatinya teriris perih membayangkan Louis yang bertumbuh tanpa pernah dilihat oleh Ibunya. "Maafkan Nenek, Louis. Karena tak bisa melawan apa kehendak kakekmu, membuatmu harus berjauhan dengan mamamu. Tapi Nenek bahagia, kamu tumbuh dengan baik dalam asuhan papamu." Sarah menghela napas kasar, dia pun lantas mengambil gambar Louis dengan ponselnya, dia akan memperlihat

  • JANGAN PISAHKAN KAMI, DADDY    ini cucu, Mommy

    Bima melangkah perlahan, debaran jantung yang menggila membuatnya lemas membayangkan pertemuannya dengan Louisa. Dari dalam pos penjaga, seorang pengawal bisa dengan jelas melihat kedatangan Bima. Mata lelaki itu melebar melihat siapa yang datang mendekat ke arah gerbang. "Tuan Muda Bima," lirihnya tak percaya. Dia masih ingat bagaimana tujuh bulan lalu laki-laki yang pernah berstatus suami Nona mereka, diusir tanpa perasaan iba bersama bayinya. Dia segera mengangkat telepon, menghubungi Max untuk mengabari kalau Bima ada di depan kediaman majikan mereka. Max tak jauh beda, dia pun terkejut mendengar kabar tentang datangnya Bima yang tidak pernah terpikirkan olehnya. "Kamu yakin itu Tuan Muda Bima?" tanya Max membuat Edward menoleh padanya. "Ada apa, Max?" tanya Edward menatap tajam, telinganya jelas tak salah mendengar kalau Bima yang disebut namanya oleh Max. "Tuan, Tuan Muda Bima datang ke rumah," jawab Max tak menutupi kabar yang didengarnya, karena percuma dia berbohon

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status