공유

BAB 6

Hidupku seperti sudah tak ada artinya lagi sejak kejadian malam itu. Aku tidak menyangka Mas Romi akan senekat itu padaku. Menghancurkan diriku, keluargaku, sekaligus hidupku.

Mas Ibas pergi merantau atas persetujuanku. Karena aku sadar, hidup serumah dengan mertua dan kakak ipar tidak lah nyaman. Selalu ada perselisihan diantara kami. Apa lagi sikap Mas Romi yang kerap kali menggodaku meski tahu aku adalah adir iparnya.

Emak menyuruh Mas Ibas membangun rumah di atas tanah berukuran enam kali dua belas meter. Tanah peninggalan almarhum suaminya. Dengan uang seadanya, Mas Ibas mendirikan gubuk dari kayu dan sebagian bambu yang dilapisi dengan spanduk bekas. Yang dapat kami ditinggali bersama agar terhindar dari perselisihan dengan mertua maupun kakak ipar.

Mempunyai rumah yang jauh dari kata layak membuat aku dan Mas Ibas sering dihina dan direndahkan warga sekitar.

"Bas, itu rumah atau kandang kambing?"

"Membuat rumah kok seperti kandang burung."

***

Kami bersyukur bisa mempunyai tempat istirahat sederhana yang dapat melindungi dari panas dan hujan. Tapi, gara-gara omongan tetangga, hati menjadi sempit. Seolah kami lah orang termiskin di dunia ini. 

Hingga terbesit dalam pikiran Mas Ibas untuk merantau agar bisa mendapat penghasilan yang lebih dari pada bertahan di kampung menunggu orang memberi pekerjaan. Maklum, pekerja serabutan dengan pendapatan tak tentu harus berkorban demi bisa merubah nasib. 

"Dek, bagaimana kalau Mas merantau nanti. Apa kamu berani tinggal di rumah sendiri? Atau kamu ikut saja?" tawar Mas Ibas saat itu.

"Berani, Mas. Tenang saja. Lagi pula rumah kita dekat dengan tetangga. Kalau aku ikut, biaya hidup di sana pasti mahal. Sayang uangnya. Kalau di kampung, aku bisa masak seadanya. Daun ketela pohon, daun ubi jalar, tinggal petik di belakang rumah."

Sebenarnya berat melepas suami pergi. Tapi, aku meyakinkan diri kalau semua akan baik-baik saja.

"Bagaimana kalau kamu tinggal bersama Ibu saja. Jadi, ada yang menemani." 

Mataku membulat kala mendengar pendapat Mas Ibas. Aku tidak mungkin berada di sana tanpa suami.

"Enggak, Mas. Aku di sini saja."

Mas Ibas meng-iyakan pendapatku dan esok hari langsung berangkat. Hari-hariku menjadi sepi tanpa dirinya. Yang biasanya kami bercanda, cubit-cubitan, kini hanya bisa lewat telepon dan video call.

Selepas kepergian Mas Ibas di rantau, keadaan tak baik-baik saja. Cecaran warga masih sering kudengar. Yang katanya aku seperti janda, wanita kesepian, haus belaian dan lainnya.

Terkadang ada bapak-bapak atau seumuran Mas Ibas menggodaku ketika aku ke warung dan pergi kondangan. Sampai aku dikira perebut suami orang. Padahal aku tidak pernah menanggapi mereka.

Bahkan Mbak Diah--tetangga depan rumah sering melabrakku karena suaminya terlalu lama berada di teras rumahnya dan dipanggil tidak menyahut. Apa itu salahku? Sedang aku tak pernah menggoda maupun memancing birahinya.

Aku mencoba menjaga diri dengan memakai gamis longgar dan tanpa riasan. Paling cuma menggunakan suncrean untuk melindungi dari sinar matahari dan lips balm. Hanya saja, kulitku memang sudah putih dari sananya.

Terkadang aku menangis di malam hari karena mendengar pedasnya mulut tetangga. Mereka cuma bisa mengomentari hidupku tanpa memahami perasaanku. 

Setiap bulan Mas Ibas mengirimkan aku uang untuk menyicil membeli pasir, batu bata, dan barang bangunan lainnya. Aku melaksanakan perintahnya sesuai dengan rincian yang sudah ia kirimkan lewat pesan. Dengan ojek online, aku memesan ke penjual yang menyedian barang-barang tersebut.

Semakin lama barang terkumpul dan sudah cukup. Meski Mas Ibas tidak di rumah, dia dapat menghendel dari jauh. Dia hubungi teman-temannya yang biasa kerja jadi tukang dan kuli bangunan. Dengan sistem borongan, tanpa aku repot memasakkan untuk mereka. 

Tidak semua bagian rumah di robohkan. Karena dikerjakan sedikit demi sedikit sehingga aku masih bisa menempatinya. Ukuran rumah yang tidak begitu besar membuatnya cepat selesai hanya dalam hitungan bulan.

Setelah jadi dan sudah berlantai keramik, Emak dan Mas Romi sering main ke rumah. Emak memuji rumah kami. Seolah dirinya bangga pada putranya yang ada di rantau. Tapi, di sisi lain aku risih. Karena kedatangan Mas Romi yang selalu tiba-tiba tanpa permisi. 

Kebiasaan warga kami, jika penghuni ada di rumah, akan membuka pintu. Pernah dalam seminggu aku menutup pintu ketika di dalam. Tetangga berteriak-teriak sehingga membuat indera pendengaranku enggak nyaman.

"Orang kok hari-hari di dalam ... melulu. Pintu ditutup pula. Apa enggak gerah. Hidup dengan tetangga kok enggak pernah keluar."

Terkadang aku memberanikan diri menjawabnya. Tapi lama-lama aku capek juga. Karena mereka yang menghina dan mencecar menurutku bukan karena benci padaku. Tapi, memang sudah suratan takdir. Sudah menjadi sifat patennya.

***

Mas Romi selalu berusaha mendekatiku. Merayuku dan menggodaku. Sudah pernah ku tampar berkali-kali. Tetap saja dirinya tak jera.

Yang paling membuatku syok, ketika sore hari  pintu sudah kukunci, dia tiba-tiba sudah ada di dalam saat aku selesai mandi dan cuma memakai handuk.

"Darimana Mas Romi masuk?!" Dadaku gemetar dan takut melihat matanya yang merah. Ku tarik gardigan yang kebetulan menggantung di dinding untuk menutupi tubuhku.

"Mudah saja. Tinggal ku congkel. Aku cuma mau melihatmu. Aku merindukanmu. Aku menyukaimu. Kamu tahu itu kan? Menikahlah dengaku!" Dia mencoba mendekat. 

"Jangan gil@ kamu, Mas. Kamu tahu kan, aku adalah adik iparmu."

"Cerailah dengan Ibas. Kita bisa menikah."

"Gil@ kamu, Mas. Dia adikmu. Tega sekali kamu bicara seperti itu." Aku melemparinya dan berteriak meminta tolong sekuat tenaga. Untung saja warga buru-buru datang.

"Ada apa ini?" Beberapa pria dewasa datang.

"Pak, tolong bawa dia. Dia mau macam-macam padaku!" Aku benar-benar takut sampai kakiku terasa lemas.

"Mabuk dia." Seru pria berkaos hitam.

"Ayo pergi!" Beberapa orang memegangi tangannya dan membawanya keluar dari rumahku.

"Lihat saja ... aku akan menikahimu. Kamu akan jadi milikku." Mas Romi berteriak dan tertawa. Nada tawanya begitu menakutkan. 

Sejak peristiwa itu, setiap malam aku merasa ketakutan mengingat ancaman Mas Romi.

Sampai terjadilah tragedi malam hari yang membuat hati dan pikiranku gelap. Mas Romi menodaiku dengan paksa tanpa aku bisa membela diri.

"Siapa kamu!" Suasana gelap. Aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Hingga akhirnya aku berhasil menggores salah satu bagian tubuhnya. Dia menjerit. Entah karena kesakitan atau keget. 

Aku mengenal suara itu. Hanya saja masih samar karena keadaan hujan lebat.

"Setelah ini, kamu akan ditinggalkan suamimu dan kamu akan menjadi milikku. Terima kasih untuk malam ini." 

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status