Hidupku seperti sudah tak ada artinya lagi sejak kejadian malam itu. Aku tidak menyangka Mas Romi akan senekat itu padaku. Menghancurkan diriku, keluargaku, sekaligus hidupku.
Mas Ibas pergi merantau atas persetujuanku. Karena aku sadar, hidup serumah dengan mertua dan kakak ipar tidak lah nyaman. Selalu ada perselisihan diantara kami. Apa lagi sikap Mas Romi yang kerap kali menggodaku meski tahu aku adalah adir iparnya.Emak menyuruh Mas Ibas membangun rumah di atas tanah berukuran enam kali dua belas meter. Tanah peninggalan almarhum suaminya. Dengan uang seadanya, Mas Ibas mendirikan gubuk dari kayu dan sebagian bambu yang dilapisi dengan spanduk bekas. Yang dapat kami ditinggali bersama agar terhindar dari perselisihan dengan mertua maupun kakak ipar.Mempunyai rumah yang jauh dari kata layak membuat aku dan Mas Ibas sering dihina dan direndahkan warga sekitar."Bas, itu rumah atau kandang kambing?""Membuat rumah kok seperti kandang burung."***Kami bersyukur bisa mempunyai tempat istirahat sederhana yang dapat melindungi dari panas dan hujan. Tapi, gara-gara omongan tetangga, hati menjadi sempit. Seolah kami lah orang termiskin di dunia ini. Hingga terbesit dalam pikiran Mas Ibas untuk merantau agar bisa mendapat penghasilan yang lebih dari pada bertahan di kampung menunggu orang memberi pekerjaan. Maklum, pekerja serabutan dengan pendapatan tak tentu harus berkorban demi bisa merubah nasib. "Dek, bagaimana kalau Mas merantau nanti. Apa kamu berani tinggal di rumah sendiri? Atau kamu ikut saja?" tawar Mas Ibas saat itu."Berani, Mas. Tenang saja. Lagi pula rumah kita dekat dengan tetangga. Kalau aku ikut, biaya hidup di sana pasti mahal. Sayang uangnya. Kalau di kampung, aku bisa masak seadanya. Daun ketela pohon, daun ubi jalar, tinggal petik di belakang rumah."Sebenarnya berat melepas suami pergi. Tapi, aku meyakinkan diri kalau semua akan baik-baik saja."Bagaimana kalau kamu tinggal bersama Ibu saja. Jadi, ada yang menemani." Mataku membulat kala mendengar pendapat Mas Ibas. Aku tidak mungkin berada di sana tanpa suami."Enggak, Mas. Aku di sini saja."Mas Ibas meng-iyakan pendapatku dan esok hari langsung berangkat. Hari-hariku menjadi sepi tanpa dirinya. Yang biasanya kami bercanda, cubit-cubitan, kini hanya bisa lewat telepon dan video call.Selepas kepergian Mas Ibas di rantau, keadaan tak baik-baik saja. Cecaran warga masih sering kudengar. Yang katanya aku seperti janda, wanita kesepian, haus belaian dan lainnya.Terkadang ada bapak-bapak atau seumuran Mas Ibas menggodaku ketika aku ke warung dan pergi kondangan. Sampai aku dikira perebut suami orang. Padahal aku tidak pernah menanggapi mereka.Bahkan Mbak Diah--tetangga depan rumah sering melabrakku karena suaminya terlalu lama berada di teras rumahnya dan dipanggil tidak menyahut. Apa itu salahku? Sedang aku tak pernah menggoda maupun memancing birahinya.Aku mencoba menjaga diri dengan memakai gamis longgar dan tanpa riasan. Paling cuma menggunakan suncrean untuk melindungi dari sinar matahari dan lips balm. Hanya saja, kulitku memang sudah putih dari sananya.Terkadang aku menangis di malam hari karena mendengar pedasnya mulut tetangga. Mereka cuma bisa mengomentari hidupku tanpa memahami perasaanku. Setiap bulan Mas Ibas mengirimkan aku uang untuk menyicil membeli pasir, batu bata, dan barang bangunan lainnya. Aku melaksanakan perintahnya sesuai dengan rincian yang sudah ia kirimkan lewat pesan. Dengan ojek online, aku memesan ke penjual yang menyedian barang-barang tersebut.Semakin lama barang terkumpul dan sudah cukup. Meski Mas Ibas tidak di rumah, dia dapat menghendel dari jauh. Dia hubungi teman-temannya yang biasa kerja jadi tukang dan kuli bangunan. Dengan sistem borongan, tanpa aku repot memasakkan untuk mereka. Tidak semua bagian rumah di robohkan. Karena dikerjakan sedikit demi sedikit sehingga aku masih bisa menempatinya. Ukuran rumah yang tidak begitu besar membuatnya cepat selesai hanya dalam hitungan bulan.Setelah jadi dan sudah berlantai keramik, Emak dan Mas Romi sering main ke rumah. Emak memuji rumah kami. Seolah dirinya bangga pada putranya yang ada di rantau. Tapi, di sisi lain aku risih. Karena kedatangan Mas Romi yang selalu tiba-tiba tanpa permisi. Kebiasaan warga kami, jika penghuni ada di rumah, akan membuka pintu. Pernah dalam seminggu aku menutup pintu ketika di dalam. Tetangga berteriak-teriak sehingga membuat indera pendengaranku enggak nyaman."Orang kok hari-hari di dalam ... melulu. Pintu ditutup pula. Apa enggak gerah. Hidup dengan tetangga kok enggak pernah keluar."Terkadang aku memberanikan diri menjawabnya. Tapi lama-lama aku capek juga. Karena mereka yang menghina dan mencecar menurutku bukan karena benci padaku. Tapi, memang sudah suratan takdir. Sudah menjadi sifat patennya.***Mas Romi selalu berusaha mendekatiku. Merayuku dan menggodaku. Sudah pernah ku tampar berkali-kali. Tetap saja dirinya tak jera.Yang paling membuatku syok, ketika sore hari pintu sudah kukunci, dia tiba-tiba sudah ada di dalam saat aku selesai mandi dan cuma memakai handuk."Darimana Mas Romi masuk?!" Dadaku gemetar dan takut melihat matanya yang merah. Ku tarik gardigan yang kebetulan menggantung di dinding untuk menutupi tubuhku."Mudah saja. Tinggal ku congkel. Aku cuma mau melihatmu. Aku merindukanmu. Aku menyukaimu. Kamu tahu itu kan? Menikahlah dengaku!" Dia mencoba mendekat. "Jangan gil@ kamu, Mas. Kamu tahu kan, aku adalah adik iparmu.""Cerailah dengan Ibas. Kita bisa menikah.""Gil@ kamu, Mas. Dia adikmu. Tega sekali kamu bicara seperti itu." Aku melemparinya dan berteriak meminta tolong sekuat tenaga. Untung saja warga buru-buru datang."Ada apa ini?" Beberapa pria dewasa datang."Pak, tolong bawa dia. Dia mau macam-macam padaku!" Aku benar-benar takut sampai kakiku terasa lemas."Mabuk dia." Seru pria berkaos hitam."Ayo pergi!" Beberapa orang memegangi tangannya dan membawanya keluar dari rumahku."Lihat saja ... aku akan menikahimu. Kamu akan jadi milikku." Mas Romi berteriak dan tertawa. Nada tawanya begitu menakutkan. Sejak peristiwa itu, setiap malam aku merasa ketakutan mengingat ancaman Mas Romi.Sampai terjadilah tragedi malam hari yang membuat hati dan pikiranku gelap. Mas Romi menodaiku dengan paksa tanpa aku bisa membela diri."Siapa kamu!" Suasana gelap. Aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas. Hingga akhirnya aku berhasil menggores salah satu bagian tubuhnya. Dia menjerit. Entah karena kesakitan atau keget. Aku mengenal suara itu. Hanya saja masih samar karena keadaan hujan lebat."Setelah ini, kamu akan ditinggalkan suamimu dan kamu akan menjadi milikku. Terima kasih untuk malam ini."Hari ini aku memutuskan untuk bermalam di rumah lama supaya bisa tahu siapa yang sering masuk tanpa sepengetahuanku. Miko dan teman-temannya siaga di rumah Mbak Diah agar jika ada apa-apa cepat teratasi.Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Tapi belum juga ada tanda-tanda seseorang yang mengacau. Isma sudah tidur di kamar. Sementara aku duduk di ruang tamu. ***"He, siapa kamu?!" Suara itu berhasil mengagetkanku. Kulihat jam di ponsel menunjukkan pukul dua dini hari. "Buka penutup wajahmu! Jangan jadi pecundang. Aku tahu, kamu pasti sekongkol dengan Romi. Kalau tidak, kamu tak akan mengendap-endap di sini." "Hajar saja. Kelamaan. Kita buka paksa penutup wajahnya."Para pemuda kampung saling bersahutan."Mas, ada apa? Kok rami-ramai?" Isma keluar dari kamar dengan menggendong Tegar."Tenang, Dek. Kamu tetap di dalam. Aku akan keluar untuk mencari tahu.""Aku ikut, Mas. Aku takut jika nanti ada yang menerobos masuk.""Ya sudah, ayo! Kamu sama Mbak Diah saja."Aku membuka p
Tegar terus saja menangis ketika kami ajak ke tempat pengejaran Mas Romi. Mungkin karena dia sedang capek dan ngantuk atau karena ikatan batin antara anak dan ayah biologisnya.Apa lagi ketika suara tembakan diluncurkan, uaranya kian melengking dan memekikkan telinga. Di samping itu, gendang pendengarannya pasti juga belum cukup kuat untuk menangkap gema yang menggelegar itu. Kami yang sebagai orang tua saja merasakan ketakutan di lokasi. Apa lagi Tegar yang masih sangat kecil.Aku dan istriku memutuskan untuk pulang dan pasrah dengan apapun yang akan terjadi. Yang terpenting, Tegar tidak kecapekaan dan bisa segera istirahat.***Dari infomasi polisi, Mas Romi dinyatakan tiada setelah masuk ke jurang yang cukup curam. Pasukannya sudah mencoba mencari dan menyisir sekitar, tapi keberadaan Mas Romi tidak ditemukan. Mereka berasumsi kalau masuk ke dalam jurang itu, tidak akan ada yang selamat. Kemungkinan Mas Romi dimakan atau dibawa hewan liar. Mengingat di bawang tebing adalah hutan
"Aku enggak mau masuk penjara. Aku harus kabur," gumamku dalam hati.Mataku menyisir kesegala arah untuk menentukan ke mana aku harus berlari. Ini daerahku. Aku paham betul rintangan apa yang akan kudapatkan setelahnya. Ke arah barat jelas tidak mungkin. Karena di sana polisi menjagaku. Utara juga tidak mungkin. Ke sana jalan tembus ke kampong. Sama saja aku cari mati bila tertangkap warga. Selatan sungai yang luas. Aku tidak bisa berenang, jika polisi mengejarku. Sedangkan timur tebing. Lebih baik aku ke timur saja. Kuyakin aku akan selamat dan dikira mati karena medannya yang cukup dalam dan curam."Woi! Sudah atau belum? Jangan mencoba untuk kabur ya!" hardik pria berseragam yang berdiri di belakangku dengan jarak sekitar dua meter tersebut. Aku memintanya membalik badan dengan alasan kalau buang air kecil dilihatin enggak bisa keluar. Untung saja dia mengikuti keinginanku. "Tunggu sebentarlah, Pak. Aku sedang membuka celana. Bapak mau lihat?" selorohku dengan sengaja."Buruan!"
Tak berapa lama kemudian aku dipanggil lagi. Kali ini aku semakin dibuat terkejut oleh dokter terkait perkembangan kondisi Emak."Begini bapak, mengingat kondisi ibunya yang tidak stabil dan cenderung menurun, kami mau meminta persetujuan lagi. Seandainya, kondisi jantung ibunya nanti melemah atau ..., maaf sebelumnya, berhenti. Kami akan melakukan pijat jantung. Apakah Bapak dan keluarga setuju? Karena terkadang ada keluarga yang tidak menyetujui sebab tidak tega.""Setuju, Dok. Bagaimanapun, semua itu bagian dari ikhtiar.""Baik, Pak. Tapi semua juga ada resikonya, karena umur Ibu yang sudah lebih dari empat puluh tahun, rawan sekali tulang rusuk didadanya akan patah. Jika diumur tiga puluhan masih okelah. Tulang masih kuat jika alat itu memompa seperti yang ada di TV."Seketika badanku lemas. Ya Allah, rasanya aku ingin sekali menggantikan posisi Emak. Aku membayangkan Emak menjerit kesakitan ketika tulangnya harus patah. Tanganku rasanya gemetar ketika memegang pulpen. Aku dilem
Emak terus memutar roda itu sampai ke tepi jalan. Halaman yang belum terpasang pagar dan pintu gerbang dan sedikit menurun membuat kursi roda tersebut melesat dengan cepat. Aku dan Miko berusaha mengejarnya. Kami berteriak sekuat tenaga. Tapi, Emak terus saja melajukannya tanpa peduli dan menoleh padaku."Mak, tunggu, Mak! Awas, Mak!Bahaya." Rasanya otakku berhenti dalam sekejap. Aku tak bisa lagi berpikir positif. "Emak enggak mau orang-orang memasukkan Romi ke penjara. Emak enggak mau Romi menderita. Emak harus mencegahnya." Emak terus menyerukan kata itu. Bahkan sampai saat ini aku belum tahu kenapa Emak terus saja membela anak lelaki yang sering membuatnya malu."Mak ...! Awas ...!" Aku berteriak dengan begitu kencang. Tapi, laju truk dengan muatan berat tersebut sangat cepat menghantam tubuh Emak bersama kursi rodanya sampai terpental. Darah segar mengucur dari kepala, hidung, dan telinganya. Pun dengan kakinya banyak luka menganga di sana.Aku dan Miko tak lagi mengeluarkan
Suara Isma membuat aku dan Dani berlari ke lantai dua. Di ruangan itu Isma mendekap Tegar yang sedang menangis sampai matanya merah."Kenapa dengan Tegar?" Aku tak sabar ingin mendengar penjelasan istriku."Ini tadi Tegar jatuh dari ranjang ketika aku ingin mencopot dan membersihkan kotoran Emak, Mas." Suara isma bergetar dan tergugu."Tapi, dia tidak apa-apa kan?" Aku mengambil alih gendongannya. "Lain kali hati-hati dong. Jangan sampai ini terulang lagi. Kasihan kamu, Nak." Kuelus rambutnya yang basah oleh keringat."Sekali lagi maafkan aku, Mas. Aku bingung. Soalnya Emak ngomel terus kalau tidak segera dibersihkan. Sedangkan Tegar ingin segera minum susu. Aku enggak sanggup merawat Tegar dan Emak sendirian, Mas." Lagi-lagi Isma menjerit dan meremas kepalanya yang tertutup hijab."Oh, jadi kamu menyalahkan aku? Kamu enggak ikhlas merawat aku? Ngomong dong dari awal. Kalau begitu, lebih baik aku tinggal di panti jompo saja. Di sana ada yang merawatku. Sekalian kalian menjadi anak dan