Share

Bab 7

"Berikan aku sedikit waktu untuk bisa melakukannya," pinta Alesha dengan cepat. "Sampai aku benar-benar siap untuk menjadi istrimu."

~Alesha Syaqueena

***

"Istri?" Wanita bergamis hitam itu menatap Alesha. "Bagaimana kamu bisa menikah tanpa memberitahu?"

"Kakak bilang ada urusan pekerjaan di luar kota, kenapa tiba-tiba menikah?" tanya adik Abizar bernama Zahrah.

"Istrimu ...?" tatapan sinis Alesha dapat dari kakak ipar Abizar. Arum namanya.

Abizar sendiri memiliki dua saudara, kakak pertamanya laki-laki bernama Ansyar, sudah menikah dengan Arum dan memiliki seorang putri berumur lima tahun. Zahrah adik bungsu Abizar yang masih duduk di kelas tiga SMA. Sementara Abizar sendiri anak kedua.

Namun, kisah rumah tangganya tak berjalan dengan baik. Ia kehilangan sang istri saat mengalami kecelakaan dan istrinya meninggal dunia.

Alesha mendekat dan mencium takzim ibu mertuanya. Sebisa mungkin ia tersenyum manis.

"Kamu sudah makan, Nak?" tanya ummi Abizar.

Alesha mengangguk. Waktu perjalanan ke sini tadi dia memang memakan satu potong roti.

"Jika masih lapar, kita bisa makan bersama," ucap Ummi lagi.

"Maaf, Ummi, sebenarnya Alesha sudah kenyang," jawabnya lembut.

"Abizar, coba nasehati istrimu itu. Tutup rambutnya. Di sini kan, ada Mas Ansyar," ujar Arum yang memakai jilbab hitam segi empat panjang itu menatap tak suka ke arah Alesha.

"Arum, kamu ini. Alesha akan menyesuaikan dirinya nanti dengan sendirinya," ucap Ummi lalu meminta Abizar untuk membawa Alesha ke kamarnya.

Abizar mengangguk. Pasangan pengantin baru itu kini telah semakin menjauh dari tempat makan untuk menuju ke kamar.

"Mi, kenapa sih, dibiarkan saja Abizar menikah dengan gadis itu?" protes Arum.

"Emang apa yang harus Ummi lakukan? Mereka juga sudah menikah."

"Iya, tapi kita bahkan, tidak tahu mereka menikah di mana? Siapa gadis itu? Apa latar belakangnya?" Arum terus berkomentar.

"Ummi percaya pada Abizar, pasti ada alasan kenapa ia menikah diam-diam dan mendadak seperti itu."

"Ummi ini gimana sih? Harusnya pertanyakan dulu pernikahan mereka." Arum terlihat kesal.

"Kamu ini apa-apaan, sih? Kamu kenapa malah mendebat, Ummi?" Ansyar akhirnya menegur sang istri. "Abizar itu pihak laki-laki, dia gak butuh wali seperti pihak wanita."

Arum langsung terdiam. Wanita berusia 29 tahun itu tak berkata lagi jika sang suami sudah angkat bicara.

"Zahrah, Arum, Ansyar, Ummi minta biarkan saja Abizar dan istrinya, jangan banyak bertanya-tanya dulu. Setelah kematian Fatimah, Ummi baru kali ini melihat Abizar seperti hidup lagi."

"Baik, Ummi," ucap Zahra.

Sementara Ansyar hanya mengangguk dan Arum hanya diam saja.

"Dan untuk Abi, biar Ummi dan Abizar saja yang akan mengatakan semua ini."

***

Alesha yang baru saja selesai mandi dan masih mengenakan handuk, terkejut saat melihat Abizar yang baru masuk kamar sembari membawa ceret kaca kecil berisi air minum.

"Astaghfirullah," ucap Abizar sambil berusaha menutup matanya.

Sementara Alesha kembali lagi masuk ke kamar mandi dan menutup pintu.

"Maaf, aku gak tahu kalau kamu ...." ucap Abizar.

"Gak papa, aku yang salah harusnya aku memakai baju di kamar mandi saja," jawab Alesha.

Sebenarnya, apa yang tengah dua insan ini lakukan. Bukankah mereka pasangan suami istri.

Namun, anehnya justru mereka tampak seperti dua orang asing.

"Kamu bisa menolongku mengambilkan bajuku di dalam koper?" tanya Alesha yang masih berada di dalam kamar mandi.

"Baiklah, akan aku ambilkan," ucap Abizar sambil membuka koper bewarna ungu itu.

"Tolong ambilkan aku baju tidur, ya. Celananya panjang warna putih dan bajunya juga panjang warna putih dengan bunga-bunga kecil bewarna merah muda." Alesha memberikan petunjuk.

Abizar mulai membongkar isi koper untuk mencari baju yang Alesha inginkan. Namun, kini tatapan Abizar terpaku pada sepasang celana dalam dan BH bewarna hitam.

Ya, Allah, kenapa melihat begini saja membuat tanganku bergetar? batin Abizar.

"Apakah kamu juga membutuhkan celana dalam?" tanya Abizar karena melihat dalaman hitam itu.

Alesha yang berada di dalam kamar mandi, menutup mulutnya rapat dengan kedua tangan.

Sungguh sangat memalukan. Haruskah ia bertanya seperti itu? Batinnya berbicara sendiri.

Gadis cantik berambut panjang itu menarik napasnya berkali-kali. Ini kali pertama ada pria lain yang melihat dalaman yang ia miliki. Jantung Alesha berdebar cukup kencang merasakan adrenalin ini.

"Haruskah aku juga membawakannya?" tanya Abizar lagi untuk memastikan.

Alesha menghela napas berat lalu berkata, "Bisakah kamu tutup mata saat meraihnya?"

"Apa? Bagaimana bisa aku meraihnya jika tutup mata?" protes Abizar.

"Baiklah, bawa sini. Tapi jangan coba-coba mengintipku." Ancam Alesha.

"Tenang saja, aku tak akan macam-macam."

Abizar mengetuk pintu, ia segera memejamkan mata dan menyodorkan pakaian Alesha. Gadis itu segera menutup pintu kembali saat sudah mendapatkan bajunya.

Sungguh pasangan yang aneh.

***

Mata Abizar seakan-akan enggan terpejam menatap langit-langit kamar. Ia bingung dengan apa yang ada dipikirannya saat ini dan apa yang ingin ia lakukan sekarang.

Sementara Alesha yang kini tidur di samping Abizar juga tak dapat memejamkan mata. Ia benar-benar takut jika akan terjadi sesuatu di antara mereka.

Abizar dan Alesha kini justru berbalik bersamaan, membuat mata mereka tak sengaja saling beradu.

"Aku ...," ucap mereka lagi-lagi berbarengan.

"Kamu duluan," ucap Abizar mengalah.

"Aku ... apakah kamu? Maksudku ... apakah kita akan?" Perkataan Alesha membuat Abizar bingung.

"Kamu mencoba mengatakan apa?" Laki-laki itu mengerutkan keningnya.

"Maksudku ... aku belum siap untuk ...." Alesha berkata lirih sambil menggigit bibir bawahnya.

Abizar menatap mata Alesha, gadis yang selalu saja menangis saat bertemu dengannya itu kini berada di sisinya. Sejujurnya, jiwa laki-lakinya pasti ingin memeluk dan melakukan malam pertamanya saat ini. Setelah dua hari mereka tinggal di kamar rumah sakit.

"Berikan aku sedikit waktu untuk bisa melakukannya," pinta Alesha dengan cepat. "Sampai aku benar-benar siap untuk menjadi istrimu."

Abizar hanya bisa diam memandangi wajah sang istri yang terlihat cemas. Sebenarnya, Abizar sendiri pun tak bisa menahan detak jantungnya yang terus memompa aliran darah begitu cepat. Sehingga menciptakan debaran yang semakin tak terkendali.

"Apakah menurutmu aku akan memaksamu?" tanya Abizar berusaha menahan dirinya sendiri saat ini.

"Apakah kamu tidak akan ... maksudku, hal itu ...." Alesha benar-benar gugup. "Apakah, tidak apa-apa, jika kamu harus menunggu kesiapanku?"

"Tenanglah, lebih baik saat ini pejamkan matamu dan tidur." Abizar lalu membalik tubuhnya membelakangi Alesha. Laki-laki berkaos putih itu menggigit kepalan jarinya sendiri karena menahan rasa yang tak terkendali.

"Kamu marah?" tanya Alesha lagi tak enak.

Abizar hanya menggeleng tak menjawab.

"Jika kamu tak marah, kenapa membelakangiku?"

Abizar menggeleng lagi tanpa bersuara.

Sejujurnya Alesha merasa bersalah. Namun, ia juga tak bisa memaksakan dirinya.

"Aku mohon tidurlah," ucap Abizar akhirnya.

Namun, kali ini justru tak ada jawaban dari Alesha. Membuat Abizar segera membalikkan tubuh dan melihat sang istri telah tidur dengan manisnya.

Entah mengapa, Abizar memilih mendekat dan meletakkan lengannya di bawah kepala Alesha dengan perlahan. Ia lalu memandangi wajah sang istri dan menyelipkan rambut yang jatuh di wajah putih Alesha.

Abizar dengan takut-takut mengecup pucuk kepala gadis yang kini telah resmi menjadi istrinya, ia takut gadis itu terganggu dan terbangun. Ia lalu memejamkan mata. Tanpa sepengetahuan Abizar sebenarnya Alesha belum tertidur.

Alesha kini membuka matanya dan menatap seorang pria yang baru ia kenal memperlakukan dirinya dengan begitu baik sebagai seorang wanita dan juga istri.

'Kenapa Excel tak bisa memperlakukanku dengan baik?'

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status