Ratih diam, tetapi matanya tidak bisa berhenti mengeluarkan airmata. Apakah jika ia menerima Damar dan menikah dengannya adalah keputusan yang tepat? Atau justru ia akan memulai kehidupan baru yang lebih rumit? Mengingat, derajat mereka berbeda, mereka bagai bumi dan langit. “Aku takut ....““Apa yang kamu takutkan?““Aku tidak bisa menjadi istri seperti apa yang kamu harapkan, dari fisik dan latar belakang kita yang sangat jauh berbeda.““Justru karena itu aku ingin menikahimu. Kamu berbeda dengan wanita-wanita yang aku kenal. Mereka mengejarku hanya karena silau pada apa yang aku miliki, bukan karena tulus mencintai.““Aku juga belum mencintaimu,“ ucap Ratih jujur. “Dan aku akan berusaha membuatmu jatuh cinta, tanpa merebut cintamu kepada almarhum suamimu.““Bagaimana jika aku benar-benar lumpuh?“ Ratih melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Ucapan Dokter saraf tempo hari seperti menjadi momok dalam pikirannya. “Semua itu tidak akan terjadi. Aku akan membawamu ke luar negeri u
“Apa maksudmu, siapa kamu?“ “Saya Damar, saya ingin memberi kabar pada Anda kalau besok saya dan Ratih akan menikah. Kami akan menikah di rumah sakit karena Ratih sakit. Dia beneran sakit, bukan pemalas seperti yang Anda bilang. Jika ingin datang silakan, jika tidak berkenan kami tidak memaksa.““Tidak sopan sekali!““Anda yang tidak sopan. Ratih belum apa-apa sudah langsung Anda sembur.““Baik, bilang ke Ratih. Mulai hari ini saya pecat dia dari toko saya.““Terima kasih, saya juga tidak mengizinkan istri saya bekerja pada majikan yang arogan seperti Anda.“Tanpa sahutan lagi telepon itu ditutup. Damar menyerahkan kembali ponsel itu ke Ratih. “Aku jadi kehilangan pekerjaan, 'kan?“ gerutu Ratih. “Kamu kuat kerja dengan orang seperti itu? Baru punya satu toko saja sudah arogan, apalagi punya perusahaan besar! Aku juga tidak akan membiarkan kamu bekerja pada orang seperti itu.““Kalau aku nggak kerja anak--““Aku ganti 100 kali lipat gajimu di toko. Diam di rumah, jaga kesehatan. Yan
Damar berjalan mendekati Ratih. Ia duduk di tepi ranjang. Meraih tangan Ratih, lalu menggenggamnya erat. Damar merasakan tangan Ratih gemetar. Damar tersenyum, lalu mengusap pipi Ratih dengan lembut. “Kamu masih takut kusentuh? Tanganmu gemetar.“ Damar mengalihkan pertanyaan Ratih. “Ti--tidak. Mungkin karena aku belum terbiasa,“ jawab Ratih salah tingkah. "Jawab pertanyaanku yang tadi. Apa kamu bos tambang?“ lanjut Ratih. Damar menarik dagu Ratih, memaksa Ratih untuk menatapnya. “Aku bukan bos tambang seperti kata Faisal. Aku karyawan seperti yang lain.““Kamu tidak bohong?“ “Iya, aku hanya karyawan, tetapi pemilik tambang itu mempercayakan aku untuk memimpin perusahaannya.““Itu artinya, kamu ...?“ Ratih menutup mulut dengan satu tangannya. “Iya, aku seorang Direktur. Tanggung jawabku banyak, ya perusahaan, ya karyawan.““Kenapa kamu tidak cerita dari awal? Kenapa kamu tidak jujur soal ini?““Aku sudah bilang kalau aku karyawan di tambang. Dan itu benar. Aku memang Direktur, t
“kenapa nggak diangkat, Mas? Siapa tahu itu penting,“ ucap Ratih setelah telepon itu berdering berulang kali. “Nggakpapa, nanti saja. Itu pasti juga bukan hal yang penting!“Mereka melanjutkan makan siang tanpa menghiraukan panggilan telepon dari Debbi. Hal itu membuat Debbi kesal dan mengirimkan pesan chat yang tidak sengaja terbaca oleh Ratih. [Kalau tetap tidak diangkat, aku akan menyusulmu ke Solo.]Ratih hanya membatin, kalau tidak punya hubungan dekat, tidak mungkin orang itu sampai mau menyusul ke Solo. Padahal Damar ada di Yogyakarta, tetapi kenapa orang itu mau menyusul ke Solo. Ratih tidak berani bertanya lagi. Jika memang Damar jujur dan terbuka, nanti pasti ia akan cerita sendiri. Damar mencuci tangannya, lalu kembali duduk di meja makan. Menemani Ratih dan Rea yang belum selesai makan. Telepon kembali berdering, kali ini Ratih melihat foto profile si penelepon yang sangat cantik. Ratih semakin penasaran. Damar tahu Ratih memperhatikan ponselnya. Damar dilema, jika ia
“Apa yang akan kamu lakukan, Mas?““Apakah kamu kuat jika kita ke Solo besok pagi-pagi sekali?“ Damar balik bertanya. Ia khawatir Debbi benar-benar nekat menemui ibunya di Solo. “Sepertinya aku belum siap untuk bertemu dengan orang tuamu. Jika kamu tidak mau Debbi menemui ibumu, sebaiknya kamu kembali ke Kalimantan,“ ucap Ratih yakin. “Kamu tidak apa-apa kalau aku ketemu Debbi?““Aku percaya kamu, Mas. Kalau kamu cinta kepada Debbi, pasti sudah dari dulu kamu menikahinya. Tapi nyatanya, kamu justru ke sini untuk menikahiku.““Iya, kalau dia sampai menemui ibu, pasti akan panjang urusannya.““Ya sudah, kamu cari penerbangan hari ini. Mumpung belum terlalu sore.““Kamu nggakpapa aku tinggal? Kamu yakin?“ Damar kembali meyakinkan. Sebenarnya Damar khawatir dengan kesehatan Ratih. “Iya, aku nggakpapa, aku bisa minta tolong Bu Tutik kalau ada apa-apa.““Baik, aku akan coba cari penerbangan hari ini.“Damar mulai sibuk dengan ponselnya. Ia mencari penerbangan hari ini. Ia tidak ingin Deb
“Beraninya sama perempuan, dasar b*nci, hah!“ teriak Radit. Beberapa orang sudah berhasil menenangkan Damar dan pukulan terakhir Radit mendarat di perut Damar sebelum orang-orang berhasil memegangi tubuhnya. Akhirnya mereka berdua berhasil ditenangkan. Dibawa warga masuk ke rumah Ratih. Ratih yang dahinya berdarah sedang mendapatkan perawatan dari Bu Tutik. “Jadi, apa masalahnya bisa sampai terjadi seperti ini, Pak Radit?“ tanya Pak Joni yang duduk di antara Radit dan Damar. “Dia ingin memukul istri saya, untung saya melihatnya,“ ujar Radit berapi-api. Tangannya menunjuk Damar dengan wajah penuh amarah. “Wanita itu yang mulai duluan. Lihat dahi Ratih. Dia berdarah karena perbuatan wanita itu. Saya tidak ingin memukulnya, saya hanya menahan agar dia mempertanggung jawabkan perbuatannya.“ Damar balas menunjuk. Tika yang memang menjadi sumber dari semua masalah ini celingak-celinguk. “Anaknya yang mulai memukul anakku. Sebagai orang tua, ya, saya tidak terima.““Oalah, jadi ini bera
[Aku sudah di Kalimantan, apa maumu?] chat Damar kepada Debbi begitu tiba di apartemennya. Begitu menerima chat dari Damar, Debbi langsung melakukan panggilan telepon. Damar sempat menolak panggilan itu, tetapi Debbi mencobanya berulang kali. Sampai akhirnya Damar mengangkat telepon itu. “Papa ingin bertemu denganmu secepatnya,“ ucap Debbi. “Untuk apa? Kalau masalah perusahaan bisa diselesaikan di kantor.““Bukan masalah kantor, tapi soal kita, Papa ingin aku segera menikah,“ cetus Debbi cepat. “Dari awal kita tidak memiliki hubungan apa pun, jadi silakan menikah dengan siapa pun kecuali aku.“ Damar mengusap wajahnya. Apa yang pernah terlintas di dalam pikirannya kini benar-benar terjadi. “Aku maunya menikah sama kamu.““Aku ... sudah menikah!“ tegas Damar. “Tidak mungkin, aku tidak percaya!“ Debbi langsung memutuskan panggilan telepon. Ia berteriak sambil melempar ponsel berlogo apel itu ke ranjang putih berukuran besar. Sesaat kemudian ia tersenyum. Sepertinya Debbi tengah me
“Maaf, Pak. Apa yang Bapak lihat tidak seperti yang Bapak pikirkan. Debbi baru saja datang, dia tidak menginap di sini.“ Damar mencoba menjelaskan. “Benar itu Debbi? Lantas kenapa kalian berpelukan?““Debbi yang memeluk saya. Saya tidak melakukan itu!“ Damar masih mencoba membela diri. Debbi memasang wajah memelas. Ia bahkan menangis lagi. “Maafkan Debbi, Pa. Debbi melakukan ini semua karena Damar yang maksa Debbi ke sini!““Bohong, Pak! Saya tidak pernah memaksanya ke sini. Debbi yang datang sendiri.““Debbi, Papa ingin kamu berkata jujur. Katakan!“ Pak Damian meninggikan suara. Kini Debbi terisak. “Bukankah Papa ingin aku segera menikah dengan Damar? Papa tahu, 'kan, aku mencintai Damar sejak dulu?““Tapi tidak dengan cara seperti ini, Debbi! Memalukan! Kamu ini perempuan, jangan jatuhkan harga dirimu hanya untuk mengemis cinta kepada laki-laki yang sudah menikah!“Pak Damian tahu Damar baru saja menikah. Rupanya, selama ini Pak Damian mengawasi gerak-gerik Damar dan Debbi. Pak