Share

BAB 3. Test Rutin di Kantor Kevin.

“Yang aku mau adalah kamu datang ke kantor ini dua hari sekali mulai besok. Semua credit card yang ada di dompetmu serahkan kepadaku, jangan ada yang tertinggal satu pun. Mulai hari ini, kamu pakai black card ini, agar aku tau semua barang yang kamu belanjakan."

"Jika, kamu tidak hamil maka aku akan melepaskanmu dan tidak akan mengganggu pernikahamu dengan Clay. Tapi, jika kamu hamil, kamu wajib untuk membatalkan pernikahan kalian. Untuk sementara itu yang aku mau.”  Kevin lalu menaruh sebuah clack card di atas mejanya.

Felisha melirik benci kepada Kevin. Dia masih belum begitu percaya dengan ancaman tentang video yang dikatakan oleh Kevin. Sekali lagi, Feli mengumpulkan keberaniannya dan angkat bicara kepada calon kakak iparnya itu.

“Aku, tidak percaya dengan video yang kamu katakan. Bisa saja itu hanya karanganmu belaka, untuk mengancam aku.” Feli kembali mendengus.

Kevin hanya menggeleng sambil tertawa. Ia lalu membuka ponselnya dan tidak lama, suara notif pesan terdengar di ponselnya Feli. Ia lalu membuka video yang sepertinya dipotong itu.

Video berdurasi tiga puluh detik itu menunjukkan dirinya yang sangat agresif membuka pakaiannya sambil menggigit bibir dengan gerakan sensual. Saat pakaiannya terjatuh di lantai, video tersebut berakhir begitu saja.

“Sudah percaya? Mau lihat lanjutannya? Bagaimana kamu menggoda aku dengan tarian stripsis mu itu. Asal kamu tau, calon adik ipar, aku tidak menyangka jika kamu bisa sepanas itu, semalam."

"Aku, sama sekali tidak memaksamu, sejak awal saat di mobil, kamu sudah menggodaku, kamu sendiri yang minta untuk ikut ke penthouseku. Apa perlu aku putar rekaman rayuanmu dengan suara serak dan manjamu itu?”

“Hentikan! Kau, bajingan Kevin!” teriak Felisha sambil menutup kedua telinganya.

Dia tidak sanggup lagi mendengar detail kejadian semalam menurut versi Kevin. Buru-buru dia langsung membuka dompetnya dan memberikan semua kartu ATM serta Credit Card miliknya. Ia juga langsung mengambil sebuah black card milik Kevin.

“Semua akses keuangan pribadimu ini, akan aku kembalikan jika kamu sudah menikah. Baik dengan Clay atau dengan aku. Sekarang, pergilah, belanja sepuasnya."

"Manjakan Mama dan adikmu, aku akan bekerja.” Kevin lalu memalingkan wajahnya kembali ke layar komputer dan tidak menghiraukan Felisha yang cemberut dengan nafasnya yang memburu.

Tanpa pamit, Felisha langsung meninggalkan Kevin begitu saja dan saat dia membuka pintu kantor, Kevin kembali berteriak.

“Hati-hati, calon adik ipar. Aku tunggu kalian nanti malam di penthouseku.”

Felisha hanya menjawabnya dengan suara bantingan pintu yang tidak wajar. Ia langsung pergi ke rumah kedua orang tuanya. Sesampainya di sana, terlihat mamanya sedang sibuk melakukan fitting pakaian pesta yang rencananya akan dipakai saat acara pernikahannya dua bulan lagi.

“Feli!” panggil Sang Bunda.

“Ma, wah! Cantik banget, ini yang nanti mau dipakai saat acara resepsi pernikahannya Feli?” tanya Feli berusaha terdengar ceria.

“Iya, eh … kamu kenapa? Kok bindeng gitu suaranya?”

“Nggak Ma, cuman terharu aja. Eh, Ma … boleh Feli bertanya?”

Mendengar alasan anaknya, Betari kembali menatap gambar dirinya sambil memiringkan badannya ke kiri dan ke kanan. Menatap takjub dirinya sendiri. “Boleh, mau tanya apa, Nak?”

“Utang Papa, ke keluarga Sanjaya sebenarnya berapa, Ma?” tanya Feli hati-hati.

Betari langsung berhenti mengagumi dirinya sendiri, ia mengerutkan dahinya, menatap heran anaknya. “Kenapa, Nak? Apa kamu ada masalah sama Clay?” tanya Betari khawatir.

“Nggak, Ma. Feli hanya ingin tau saja, biar bisa kerja keras dan membantu Papa dan Mama,” sahut Feli sambil memeluk Betari dari belakang.

“Oh, kalau nggak ada masalah yah sudah. Kamu, buat Mama, deg deg an aja. Utang, papamu kalo nggak salah sekitar dua ratus milyar, Nak. Makanya, Mama senang banget pas dengar Clay melamar kamu, Nak.” Betari lalu mengelus lembut wajah Feli dengan lembut.

“Dua ratus milyar?” Lemas sudah lutut Felisha mendengar nominal utang keluarganya.

Jika sudah seperti ini, dirinya sudah tidak punya pilihan lain lagi, selain mengikuti semua kemauan Kevin. Tapi timbul satu tekat yang begitu bulat dalam dirinya.

“Aku, akan membayar semua utang papaku dan saat semua utang itu lunas, jika aku memang harus menjadi istrimu maka aku akan menceraikanmu tepat pada waktunya,” batin Felisha.

“Ya, uda Ma, Feli mau ke kamar dulu,” pamit Felisha lalu beranjak ke kamarnya.

Ia lalu mengirimkan pesan singkat kepada Clay, mengatakan jika nanti malam jangan lupa pergi ke penthousenya Kevin. Tidak lupa Feli juga mengatakan jika dirinya lagi sakit dan meminta maaf karena tidak bisa menemani tunangannya. Untunglah sebuah balasan dari Clay meneduhkan hatinya.

“Tidak apa, Sayang. Kamu istirahat saja, aku akan menemui kakakku sendiri. Nanti pilihan dekorasinya akan aku kirim lewat chat, yah.” Tidak lupa Clay mengirimkan gambar stiker hati yang sangat besar hingga membuat Feli tersenyum sambil menyeka air matanya.

Sejak malam itu, sesuai perjanjian yang telah disepakati. Feli datang ke kantor Kevin setiap dua hari sekali, dia akan melakukan test urin yang diawasi langsung oleh Kevin dan seorang dokter pribadinya Kevin.

Setiap kali melihat tespek yang bertandakan negative, Feli selalu bernafas lega dan pergi dari kantor Kevin tanpa menghiraukannya. Pada hari ke dua belas, untuk ke enam kalinya Feli melakukan test urine kembali.

“Mau sampai kapan, aku harus selalu test seperti ini?” tanya Feli mulai capek bolak balik ke kantor ini tiap dua hari sekali.

Terlebih harus melihat wajah Kevin terus menerus, membuatnya tidak bisa melupakan rasa trauma yang terpendam.

“Dokter bilang paling tidak selama enam belas hari,” jawab Kevin datar, tidak menghiraukan wajah kesal Feli dan terus menatap monitor.

“Maksa banget minta aku hamil yah, Tuhan tau! Aku nggak mungkin hamil anak manusia bejat kayak kamu!” bentak Feli seraya meninggalkan Kevin yang hendak menjawab.

Sambil merapalkan doa, Felisha mencuci tangannya dan keluar dengan membawa tespek. Ia lalu duduk dan menunggu hasil tespek tersebut. “Gimana, Dok?” tanya Feli sambil memilin pakaiannya dengan perasaan gugup.

Kevin juga berhenti mengetik, hanya terus menatap layar komputer sambil menunggu jawaban dokter. “Hem, negatif,” jawab dokter tersebut langsung disambut dengan ucapan syukur Felisha.

“Syukurlah,” ucapnya seraya melirik dan melengos kepada Kevin.

“Lusa, kamu harus datang lagi!” titah Kevin sambil mengepalkan kedua tangannya.

“Aku pasti datang! Sampai hari ke enam belas. Setelahnya, kamu harus melepaskan aku. Paham kamu? Tuan Kevin Sanjaya?!” desis Feli lalu berbalik meninggalkan kantor tersebut.

Hingga pada hari ke empat belas, Feli kembali datang ke kantor Kevin. Tanpa menyapa, dia langsung mengambil tespek yang sudah disiapkan di atas meja kantor, lalu masuk ke toilet. Setelah membasahi tespek tersebut, Feli keluar dari toilet dan memberikannya kepada dokter seperti biasanya.

“Gimana, Dok?” tanya Feli sekali lagi.

Dia sudah tau jika jawabannya pasti sama dengan hasil sebelum-sebelumnya. Begitu juga Kevin, dia sama sekali tidak menghentikan ketikannya dan terus fokus pada pekerjaanya.

Pikirannya hanya satu, jika kali ini gagal maka dia akan menunjukkan video Feli saat bercinta dengannya, saat pertemuan keluarga besar dua minggu lagi. Kevin, tidak mau ambil pusing.

“Dok, bagaimana hasilnya?” Feli kembali mengulangi pertanyaannya.

“Tuan, hasilnya,”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status