“Apakah kau yakin berobat di rumah sakitnya orang-orang kaya ini?” Nathan meneguk ludah sendiri saat menghentikan mobil tepat di depan pintu masuk unit gawat darurat sebuah rumah sakit besar yang berada di jantung kota.
“Aku tidak peduli, keselamatan adikku lebih penting!” kata Michael berkeras.
Sebenarnya mereka berdua sudah berusaha mendatangi rumah sakit kecil namun bagian administrasi mengatakan unit gawat darurat.sedang penuh saat ini dan masih banyak yang belum tertangani.
Ia menganjurkan mereka ke rumah sakit lain, dan anehnya beberapa rumah sakit serupa dalam kondisi yang sama. Akhirnya Nathan memutuskan menuju rumah sakit besar itu karena kondisi adiknya yang mengkhawatirkan.
Belum lagi ia membuka pintu mobil, tiba-tiba terdengar bunyi klakson sangat keras di belakang mereka.
“Wtf!” maki Nathan kesal, apalagi saat lampu depan mobil rolls royce di belakangnya berkedip-kedip menyilaukan mata.
Nathan keluar dari mobil diikuti Michael dengan Jonas dalam gendongannya.
“Hey, jangan sok kaya kalian ya! Pamer mobil jelek di depanku,” Nathan memasang wajah garang sambil mendekati moncong mobil mewah tersebut.
“Nathan, sudahlah!”
Usaha Michael menghentikan sahabatnya tidak digubris, akhirnya ia memilih meninggalkan Nathan, berjalan cepat ke pintu masuk berupa pintu kaca geser. Keselamatan adiknya jauh lebih penting.
Beberapa tim medis tiba-tiba saja keluar dari dalam sambil tergopoh-gopoh membawa bed dorong pasien.
Mereka seperti tak melihat Michael menggendong anak yang sedang sakit, bahkan seorang dari mereka menabrak bahunya hingga ia terhuyung ke samping.
Mereka berhenti di samping mobil rolls royce yang terparkir dan menunggu. Dua orang pria mengenakan setelan jas dan kacamata serba hitam yang mengingatkan Michael pada karakter Men In Black di film yang pernah ditontonnya, keluar dari sisi kiri-kanan pintu depan mobil.
Seorang membukakan pintu yang ada di belakangnya, dan seorang lagi menghampiri Nathan yang langsung menciut karena postur tubuhnya kalah tinggi dan gempal.
Seorang pria tampan berambut kecoklatan turun sambil menggendong wanita yang terkulai lemas.Kemeja pria maupun gaun wanitanya bersimbah darah.
Michael dapat melihat pria itu tampak sangat cemas dengan kondisi wanita yang ada di gendongannya, mungkin mereka sepasang suami istri.
“Tuan Richard, tenanglah!” laki-laki berbaju dokter yang tadi sempat menabrak bahu Michael berkata pada pria itu, ” Kami akan menyelamatkan istri anda!”
Laki-laki itu hanya bisa mengangguk pasrah.
Si wanita dipindahkan ke atas bed dorong pasien lalu dibawa masuk, wajahnya tak asing batin Michael saat rombongan yang membawa Rosie melewatinya. Namun Michael teringat akan adiknya yang masih ada dalam dekapannya dan belum sadarkan diri, ia-pun bergegas masuk dan menuju meja resepsionis.
“Suster, tolong tangani adikku!” Michael berbicara dengan nafas memburu,” Tubuhnya demam dan tak sadarkan diri dari tadi, aku sangat kuatir.”
Seorang dokter muda wanita yang kebetulan lewat segera mendekatinya dan membuka kelopak mata Jonas yang terpejam seraya menyorotkan senternya.
“Bawa anak ini ke ruang C !” teriak dokter cantik itu pada perawat di sampingnya. Dengan sigap suster itu meraih bed yang ada di dekatnya dan mendorongnya ke arah Michael berdiri.
Dengan hati-hati Michael meletakkan adiknya di atas bed lalu menoleh pada sang dokter muda, ia sempat melihat name tag yang tersemat di bagian dada kiri jas dokternya, Samantha.
Samantha segera mendorong bed menyusuri lorong, Michael ingin mengekor namun ditahan oleh sang perawat, ”Maaf, anda tunggu saja disini, biarkan kami menangani pasien!”
Michael terpaksa duduk di atas kursi panjang dengan lesu, menunggu.
***
Richard duduk di atas kursi panjang dengan siku bertumpu pada pahanya sementara kedua tangan memegangi kepalanya. Pikirannya sangat kacau, rasa sesal, panik dan takut bercampur menjadi satu.
Ia menyesal dengan gegabah telah mengucapkan kata ‘cerai’ pada Rosie tanpa memperhatikan perasaannya .
Ia juga panik dan takut bila terjadi sesuatu yang buruk pada istrinya, hubungan keluarga Eddison dan White akan hancur dan perusahaan uni mereka akan tercerai-berai.
“Istri anda akan baik-baik saja.”
Suara teduh di sampingnya membuatnya mengangkat kepala dan menoleh, seorang pria muda tak dikenal tersenyum padanya. Ia hanya mengangguk sopan tanpa banyak bicara karena ia memang tak suka berbasa-basi.
Richard melemparkan pandangan ke pintu masuk, mertuanya yang bernama Sebastian White tiba-tiba muncul dengan wajah merah padam.
“Ayah!” ia segera bangkit dan melambai ke arah ayah mertuanya sambil mempersiapkan diri akan kemungkinan terburuk.
Benar saja, begitu melihat Richard, ayah mertuanya bergegas menghampiri dan langsung mencengkram kerah kemejanya.
“Kau apakan anakku, hah?” dengus pria berusia 60 tahun itu marah.
“Hanya kesalahpahaman, Ayah!” Richard terpaksa berbohong.
“Kesalahpahaman apa? Rosie-ku tidak mungkin berbuat bodoh kalau tidak ada pemicunya. Kalau sampai terjadi sesuatu dengan puteriku, kuhancurkan kau, mengerti?!” ancam Sebastian sambil melotot.
“Aku mengerti, Ayah. Jangan kuatir!” kata Richard tenang meski sebenarnya pikirannya kalut.
“Tuan Richard,” terdengar suara dokter Jeffry yang menangani Rosie, berhasil menyelamatkan Richard dari cengkraman Sebastian. Mereka berdua menghampiri dr Jeffry dengan mimik cemas.
“Bagaimana kondisi istriku?”
“Istri anda kehilangan banyak darah, sementara golongan darah AB- yang ia miliki tergolong langka. Rumah sakit kami tak memiliki stok darah tersebut. Kami akan berusaha mencarinya di rumah sakit lain tapi kami kuatir…”
“Aku tidak peduli, kalian harus bisa mendapatkannya atau kuminta direktur tempat ini memecatmu!” sergah Richard marah.
“Saya akan berusaha!”
Suara dokter berusia 45 tahun itu terdengar bergetar karena ia tahu sulit sekali mencari golongan darah langka yang bisa mendonor apalagi kondisi Rosie sedang kritis.
“Maaf,” Michael yang dari tadi menguping memberanikan diri menyela, ”Mungkin aku dapat membantu, kebetulan golongan darah-ku B-.”
“Benarkah?”
Dr Jeffry nyaris melonjak kegirangan. ia sudah membayangkan dirinya dipecat karena keluarga Eddison adalah pemegang saham terbesar di rumah sakit swasta tersebut.
Richard sendiri tak menyangka pemuda yang tadinya dianggap usil kini menjadi malaikat penolong.
“Baguslah kalau begitu, aku akan siapkan semuanya.”
Dr Jeffry memanggil seorang perawat untuk membawa Michael ke salah satu ruangan.
“Terimakasih,” ujar Richard tulus sambil mengulurkan tangan, ”Richard.”
“Michael,” balas pemuda itu sambil menyunggingkan senyum tipis, ”Seperti kata saya tadi, istri anda akan baik-baik saja.”
Richard mengangguk, bahunya turun dengan berat. Ia merasa sangat bersalah terhadap Rosie.
“Terimakasih, Anak Muda!” Sebastian menepuk pundak Michael.
Michael mengangguk sembari berjalan mengikuti perawat menuju ruangan tempat transfusi darah akan dilakukan.
***
Setelah mengisi riwayat medis dan mengikuti prosedur lainnya, Michael dinyatakan sehat demikian juga golongan darahnya dapat diterima oleh tubuh istri Richard..
Ia duduk dan bersandar pada kursi khusus, membiarkan perawat mulai bekerja. Perawat bertubuh mungil itu melingkarkan manset tekanan darah pada lengan bagian atas agar pembuluh darah Michael lebih mudah terlihat lalu membasahi satu titik di lengannya dengan kapas beralkohol.
Saat ia mulai mengambil jarum suntik, Michael segera membuang pandang ke sembarang arah. Meski berbadan kekar dan kuat, ia belum pernah berhadapan dengan jarum suntik.
“Tahan nafas!”
Michael menahan nafas kuat-kuat, ia berusaha mengalihkan kecemasannya dengan memandang langit-langit ruangan yang bercat putih. Ia mencoba mengingat hal-hal indah bersama adiknya.
***
Beberapa jam kemudian,
Rosie mulai siuman dan kondisinya-pun sudah stabil. Dokter mempersilahkan Richard dan Sebastian masuk untuk menemuinya.
Richard merangkum tangan Rosie dan menciumnya lembut, ”Kau membuat kami cemas sekali.”
Rosie mengerjapkan mata berharap ia tak sedang bermimpi, Richard takut kehilangan dirinya? Apakah ini mimpi?
Air matanya kembali bergulir ketika kepingan-kepingan memori mulai sambung-menyambung membentuk satu peristiwa di benaknya. Kata-kata Richard tentang keputusannya untuk bercerai terus bergaung seperti keputusan hukuman mati, membuatnya sulit bernafas.
“Jangan tinggalkan aku,” gumam Rosie lemah namun mampu membuat Richard dan Sebastian tersentak.
Sebastian mendekat ke sisi lain ranjang namun tak ada satu katapun terucap dari bibirnya. Ia hanya melemparkan tatapan dingin ke arah Richard, menunggu apa yang akan diucapkan menantunya pada putrinya.
“Bisakah…kita memulai dari awal lagi?” lanjut Rosie sembari berusaha untuk bangkit namun ia meringis ketika dirasakannya nyeri yang hebat di pergelangan tangan. Richard segera menahan bahu Rosie dan membantunya berbaring kembali. “Aku tak akan meninggalkanmu, kau istriku.” Richard tersenyum lalu mencium kening istrinya, “Maafkan aku.” Rosie tersenyum bahagia, ia tak peduli apakah Richard mengucapkannya dengan tulus atau sebaliknya. Baginya ini sudah lebih dari cukup, ia akan memanfaatkan waktu dengan membuktikan bahwa ia-lah istri terbaik untuk Richard. Suara berdehem Sebastian menyadarkan Rosie bahwa ayahnya juga berada di situ. “Ayah.” “Bisakah kau tinggalkan aku dan putriku sebentar?” Sebastian memandang Richard, tetap sedingin es.“Tentu saja,” Richard mencium punggung tangan Rosie,” Aku akan berada di luar, istirahatlah!”Richard melepaskan genggamannya, mengangguk pada Sebastian sembari melangkah meninggalkan ruangan. “Rosie, apa yang terjadi?” tanya Sebastian pada putriny
Michael memperhatikan Jonas yang masih terlelap di atas tempat tidur rumah sakit, adiknya itu baru saja dipindahkan dari ruang Gawat Darurat ke ruang Recovery. Ia ingin membawa Jonas pulang tetapi masih harus menunggu hasil tes darah yang masih dalam proses pemeriksaan. Nathan berdiri di sampingnya tanpa banyak bicara, ia menyadari beban yang dipikul sahabatnya sangat berat. Mereka bersahabat sejak masih kanak-kanak dan dibesarkan bersama-sama di lingkungan kumuh. Sejauh yang Nathan tahu, ia tak pernah sekalipun bertemu dengan ayah kandung Michael. Abigail sempat menikah dengan seorang pria berusia lebih tua ketika usia Michael 12 tahun dengan harapan Michael memperoleh ayah yang bisa mengasihinya. Namun pria itu hanya bisa bermabuk-mabukan dan main pukul. Michael sering dijadikan samsak hidup bila Abigail tidak ada di rumah. Untuk menghindari kecurigaan istrinya, ayah tiri Michael memukulnya di bagian tubuh yang tertutup oleh pakaian. Setelah Abigail melahirkan Jonas, ayah t
Selena melayangkan pandangannya pada jam yang melekat pada dinding lobby rumah sakit, waktu sudah menunjukkan jam tiga sore. Sudah tiga jam menunggu lak-laki brengsek itu datang menjemput sepupunya, namun ujung hidungnya tak kunjung nampak. “Kau yakin Richard akan menjemputmu?” Selena menatap Rosie dengan mata menyipit. Rosie hanya menganggukkan kepala mungilnya sambil terus membaca novel romance dalam sebuah aplikasi online di ponselnya. “Kita sudah menunggu tiga jam, aku yakin si brengsek itu sedang asyik dengan kekasihnya dan melupakanmu!” Selena mendengus kesal, diremas-remasnya flyer promosi layanan rumah sakit yang ada di tangannya. “Berhentilah memanggil suamiku brengsek!” bibir Rosie mengerucut,”Ia sudah berubah, suamiku yang hilang telah kembali.” “Kau yakin?” Selena mencibir. “Tentu saja,” Rosie mengangguk beberapa kali untuk menekankan jawabannya, ” Richard setia menemaniku selama di rumah sakit, dia sudah berubah.” “Aku tidak yakin, Rosie. Pengkhianat selamanya akan s
Michael menghela nafas lega sambil tersenyum penuh percaya diri, “Tentu saja aku bisa.” Richard meletakkan beberapa foto wanita di atas meja lalu menyorongkannya ke arah Michael. Michael memeriksa lembar demi lembar foto wanita cantik yang diberikan dengan mulut mengepak dan mata membulat. “Bukankah i..ini istri anda?” Richard mengangguk, “Namanya Rosie, dialah targetmu.” Michael memperhatikan wajah Rosie lebih seksama, ia merasa tidak asing dengan wajah itu. Rambut keemasan, mata biru, bibir tipis…bibir itu mengingatkannya pada bibir yang pernah membuatnya lupa diri beberapa hari lalu. Perlahan ingatannya akan wajah itu terangkai penuh, ternyata istri Richard adalah wanita yang pernah bersamanya waktu itu. “Maaf, aku tidak mengerti. Kau menugaskan aku untuk tidur dengan istrimu?” tanya Michael tak percaya sambil mengangkat dagunya memindahkan pandangannya kepada Richard yang masih menunggu reaksinya. “Aku memintamu untuk membuat istriku jatuh cinta padamu dalam waktu
Rosie bangun pagi-pagi sekali, untuk pertama kalinya entah sejak berapa lama, ia merasa sangat bersemangat. Ia menyiapkan sarapan untuknya dan Richard, kemudian membersihkan diri di bawah guyuran shower. Ia harus benar-benar segar di hari pertamanya bekerja. ia mengenakan blouse silk biru pastel dan rok pensil biru tua, dengan sepatu pantofel setinggi tujuh senti yang menonjolkan keindahan kaki jenjangnya. Rambutnya digelung ke atas dan ia membubuhkan make up tipis-tipis pada wajah untuk menampilkan kesan profesional dan juga fresh. “Cantik,” gumam Richard yang memperhatikan dari tempatnya berbaring. Rosie membalikkan tubuh dan tersenyum manis. Richard yang menyadari bahwa ia baru saja mengagumi istrinya segera mengatupkan bibir. “Benarkah?” Rosie mengerjap-ngerjapkan mata dengan ekspresi genit. “Ya tentu saja,” Richard tersenyum lalu mengalihkan pembicaraan, ”Kelihatannya kau sudah siap untuk memulai bekerja di t
Rosie berharap lantai yang dipijaknya terbelah dan menelannya hidup-hidup, tak mau berada di tempat itu bersama pria yang ia takut dan benci setengah mati. Bagaimana mungkin di kota sebesar ini dengan ratusan ribu jiwa penduduknya, mereka bisa dipertemukan kembali? Mata Michael tertuju pada bibirnya, tatapan mata lapar yang sama yang mengingatkan ia dengan peristiwa malam mengerikan itu. Tubuhnya bergetar menahan gelombang dahsyat. Perasaan malu, benci, menyesal, bersalah, dan takut berperang di dalam hatinya. “Rosie…Rosie…Rosie?” Ia tersentak menyadari Jason memanggil namanya berulang kali dengan mimik wajah cemas. Entah bagaimana ekspresinya tadi, ia menjadi sangat malu dan tak berani memikirkannya. “Kau tidak apa-apa?” Jason menyentuh bahunya, “Kau seperti melihat hantu.” Ia buru-buru mengangguk dengan wajah merah, “Benar, aku melihat hantu menyebalkan.” “Hah? DI mana?” Jason mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan cemas. “Di sana!” Rosie menunjuk ke arah belakang Micha
“Kelihatannya kau tertarik pada karyawan baru itu?” goda Jason, meski sebenarnya ia sedang mengulur waktu mencari jawaban yang tepat untuk istri sahabatnya tanpa menimbulkan kecurigaan. “Siapa bilang?” mata biru Rosie membeliak namun pipinya tak urung merah merona. Pemandangan itu tak luput dari mata jeli Jason yang menanggapinya dengan senyum tertahan. “Justru aku tidak suka padanya, terlihat licik dan jahat!” kata Rosie sambil mendekatkan dirinya ke partisi kaca, melihat ke arah MIchael yang sedang melayani seorang pelanggan wanita. Wanita itu terlihat mengulum bibir dan memainkan ujung rambutnya yang terjuntai di pundak, bahkan matanya menatap Michael sayu seperti gadis dimabuk cinta. Michael melayaninya dengan senyuman dan membiarkan pinggangnya dicubit gemas oleh wanita itu. “Lihat itu tingkahnya, norak…kampungan!” kata Rosie sebal menunjuk ke arah Michael dengan dagunya. “Memang dia kenapa? Wajarlah dia tampan hingga disukai pelanggan wanita. Apa yang salah?” Jason melihat
Pria itu membungkuk dengan kedua tangannya menggenggam sandaran tangan kursi, mengungkung Rosie di dalamnya. “Aku hanya ingin berterima kasih, jadi tolong jaga sikapmu!” Rosie memicingkan mata geram, berusaha mengabaikan kupu-kupu yang sedang berperang dalam perutnya. “Jangan salahkan aku, ikatan darah di antara kita sangat kuat!” “Makin lama omonganmu makin ngawur!” sentak Rosie kesal, “Jangan buat aku menyesal sudah bersikap baik padamu!’ “Satu kali makan malam maka kuanggap kita impas, bagaimana?” kata Michael bernegosiasi. Rosie berpikir sejenak sebelum mengangguk, “Hanya makan malam!” “Ya tentu saja, kecuali kau ingin…” “Sebaiknya kurangi bicara atau gajimu kupotong!” ancam Rosie. Michael mengatupkan bibir namun mata hijaunya seperti tertawa menggoda. “Baiklah, kau lanjutkan pekerjaanmu. Akan kusiapkan makan malamnya!” Michael menjauh dari Rosie, melangkah meninggalkan ruangan menuju ke da