Tubuh Rosie mulai lemah dan terasa seringan kapas, pandangan mengabur dan gendang telinga seperti tertutup. Sebelum hilang kesadaran sepenuhnya, sayup-sayup ia mendengar teriakan panik Richard,” Bertahanlah Rosie, aku akan membawamu ke rumah sakit!”
***
Michael menyusuri gang sempit menuju apartemen kumuh yang ia huni bersama ibu dan adik laki-lakinya, Jonas. Sebenarnya ia enggan pulang karena belum menghasilkan uang sama sekali.
Semuanya disebabkan oleh wanita cantik misterius yang ia temui hari itu. Bukan hanya diusir, ia juga berakhir dipecat dengan tidak hormat karena laporan pelayanan buruk dan tidak profesional.
Michael Evans, nama lengkap pemuda itu. Orang-orang terdekat memanggilnya Michael, usianya 24 tahun. Hari itu adalah hari pertamanya bekerja sebagai pria penghibur.
Sebelumnya ia hanya bekerja sebagai pelayan rumah makan namun karena memiliki adik yang sakit-sakitan dan membutuhkan biaya tidak sedikit untuk berobat ke rumah sakit.
Ia terpaksa mengikuti anjuran Nathan, sahabatnya untuk menjadi pria penghibur. Nathan memperkenalkan Michael pada Donna, mucikari berusia 50 an yang masih terlihat sexy dan cantik namun dingin dan kejam.
Saat Michael masuk ke dalam kamar hotel untuk menemui pelanggan wanita pertamanya, ia tak pernah menyangka akan berhadapan dengan sosok wanita muda yang menawan. Kalau saja Michael tak ingat bahwa wanita itu hanyalah seorang pelanggan yang membutuhkan kenikmatan sesaat, ia pasti akan terjerat oleh pesonanya.
Gadis itu sekitar sepuluh senti lebih pendek darinya, dengan rambut pirang keemasan, mata biru laut, kulit putih tanpa noda, dan tubuh yang membuat para pria akan merangkak di tanah untuk mendapatkannya.
Michael mengira segalanya akan berjalan mudah karena ia cukup percaya diri. Ia memiliki wajah tampan dengan struktur rahang kuat, mata hijau zamrud seperti lautan hutan pinus, serta kumis tipis dan cambang yang tertata rapi. Tinggi badannya mencapai 185 cm dengan tubuh kekar berotot dan kulit kecoklatan adalah deskripsi sempurna sosok dimana kaum hawa akan menyebutnya seksi.
Siapa sangka gadis itu malah menolak dan mengusirnya.
“Sialan!” gerutu Michael gemas setiap mengenang peristiwa yang menjatuhkan harga dirinya itu.
“Apa sebenarnya yang kurang dari diriku? Meski tak cukup pengalaman dalam hal bercinta tapi aku tahu bagaimana memperlakukan seorang wanita dan membuat mereka tergila-gila.”
“Kecuali wanita itu yang gila!”
Ia bersungut seraya menendang kaleng Coca-Cola kosong di dekat kakinya. Kaleng kosong malang itu terpental dan mendarat persis di atas tong sampah.
Michael baru saja membuka pintu masuk gedung apartemen yang dihiasi karat di sana-sini saat didengarnya teriakan Marco si pemilik apartemen. Ia yakin betul Marco saat ini pasti berada di depan pintu apartemen yang ia tempati dan meneriaki ibunya karena hanya mereka yang menunggak pembayaran sewa tiga bulan.
Ia berlari menaiki anak-anak tangga secepat mungkin, setelah tiga border dilalui ia sampai ke lantai yang dituju. Nampak olehnya Marco sedang berkacak pinggang di hadapan ibunya, Abigail yang hanya bisa tertunduk pasrah bercampur malu.
“Hey, Marco Old Man!” Michael mendatangi pria setengah baya berperut buncit itu sambil mengembangkan senyuman ramah yang dibuat-buat. Marco memandangnya dari atas ke bawah dengan tatapan curiga.
“Jangan sok bersahabat padaku, kau bawa uang sewa apartemen tidak?” suara Marco terdengar ketus, ”Kau bilang kemarin, hari ini akan bawa uang banyak untuk membayar uang sewa sampai tiga bulan kedepan. Bawa kemari uangnya cepat, aku butuh untuk memperbaiki pipa air yang bocor!”
“Ooh untuk itu kita harus menunggu sedikit waktu lagi.”
Michael menggaruk rambut cepaknya meski tak gatal.
"Tapi besok pasti akan kubayar sesuai janjiku, jangan kuatir!” ujar Michael cepat begitu mimik muka Marco berubah menjadi lebih galak.
“Dasar pembual! Aku tidak peduli, bayar aku sekarang!” semprot Marco kasar, ”Bayar aku atau kalian angkat kaki dari apartemen ku hari ini juga!”
Michael berusaha menenangkan Marco dengan memberikan janji-janji namun pria itu nampaknya sudah tak mau mendengarkan lagi.
Tanpa sepengetahuan Michael, ibunya masuk ke dalam kamar dan beberapa saat kemudian keluar sambil membawa beberapa lembar uang kertas.
“Terimalah dulu uang ini!” Abigail menyodorkannya pada Marco.
Michael terkejut, “Dari mana uang itu, Bu?”
Dengan cepat Marco merampas uang dari tangan Abigail sebelum didahului Michael.
“Uang ini hanya menutupi uang sewa satu bulan, besok kalian harus siapkan sisanya atau angkat kaki dari tempat ini, paham!” gertak Marco sebelum meninggalkan tempat itu.
“Apakah uang yang Ibu berikan itu uang tabungan untuk membeli obat Jonas?” Michael menatap ibunya.
Abigail mengangguk, membuat Michael nyaris berteriak kesal. Tapi ia tak mungkin melemparkan kemarahan pada ibunya karena mereka memang tak ada pilihan lain hingga ia memilih diam.
Abigail menyentuh bahu Michael mencoba mengalihkan pembicaraan, ”Seharian kau kemana? Ibu sangat cemas karena melihatmu pergi dengan Nathan, dia bukan orang baik-baik.”
“Ibu, pekerjaan baik-baik apa yang bisa memenuhi seluruh kebutuhan kita?” tukas Michael jengkel. “Kita butuh uang untuk biaya pengobatan Jonas, biaya sekolahnya, uang sewa apartemen ini, makan… dan ibu masih menuntut aku yang tidak tamat sekolah karena tak punya uang ini menjadi orang baik-baik?”
Abigail terdiam, wanita itu mulai menerka apakah anaknya juga mengikuti jejak Nathan sampai-sampai membela pemuda yang dikenal lingkungan sekitar flat sebagai pria penghibur.
“Ibu tidak menuntutmu, Mich. Tetapi masih banyak pekerjaan lain yang bisa kau dapatkan selain menjadi….”
“Menjadi gigolo maksud Ibu?” Michael melanjutkan dengan gusar, ”Tenang saja, aku sudah mencobanya namun gagal saat tes, Germonya memecatku.”
“Mengapa kau tidak mendiskusikan dulu dengan Ibu?” Abigail mengguncang lengan kekar anaknya dengan marah, ” Kau tahu tidak pekerjaan seperti itu merusak masa depanmu!”
Michael tertawa getir. ”Masa depan? Memangnya aku masih punya masa depan, Bu?”
BRUKK!
Perdebatan ibu-anak itu terhenti saat mendengar benda jatuh dari dalam apartemen mereka.
“Jonas!” Michael bergegas masuk dan menemukan Jonas terbaring menelungkup di lantai ruang tengah.
Michael membalikkan tubuh kecil nan ringkih Jonas, bibir adiknya pecah berdarah sepertinya tergigit gigi sendiri saat membentur lantai dan wajahnya pucat pasi.
“Ma…maaf…Mich,” Jonas memandang kakaknya dengan mata berkaca. ”Aa…ku…”
Michael menggeleng-gelengkan kepala seraya menempelkan jari telunjuknya ke bibir adik kesayangannya,”Jangan terlalu banyak berpikir, kau masih belum sehat betul.”
Saat mengecup kening Jonas untuk menenangkan bocah itu, Michael baru sadar bahwa adiknya mengalami demam tinggi. Tubuh kecil itu seperti bara api di tangannya, membuatnya gemetar karena cemas yang meledak-ledak.
“Jonas demam, kita harus membawanya ke rumah sakit!” Michael menggeser pandangan ke arah ibunya yang hanya bisa meneteskan air mata sambil meremas jari-jari putra bungsunya.
Kepala Jonas terkulai ke belakang dan mata bulatnya menutup, ia jatuh pingsan karena demam yang terlalu tinggi. Michael bertambah panik, diguncangnya tubuh adiknya agar tetap tersadar namun sia-sia.
“JONAS!”
Dalam keheningan ruangan yang hanya terisi suara gemerisik gaun satin, Rosie berdiri bagai patung lilin, indah namun bagai tanpa nyawa. Cahaya lampu di atas kepala menyorot lembut menciptakan kilauan pada renda dan kain satin yang membalut tubuh rampingnya.Tiba-tiba pintu terayun terbuka, terdengar suara langkah kaki berbalut sepatu high heels memasuki ruangan lalu disusul suara wanita yang terperangah sekaligus terpesona.“Wow, cantik sekali!” pekik Selena memandang sepupunya dari atas ke bawah berulang kali seolah tak pernah puas mengagumi. Tetapi kemudian wajah bahagianya berubah manyun menyadari ekspresi Rosie yang kaku tanpa keceriaan di dalamnya.“Kau ini kenapa? Ini hari pernikahanmu, harusnya bahagia bukan cemberut seperti nenek-nenek tua!” omel Selena, “Tariklah ke atas bibirmu itu!”Rosie berusaha menarik bibirnya ke atas seperti saran Selena, menciptakan senyuman miring yang tak sedap dipandang.“Jelek sekali, ingat … Ini momen terbaikmu!” keluh Selena, diraihnya tangan Ro
Keputusan menikah Michael dan Rosie mendapatkan sambutan yang positif dari banyak pihak, terutama Sebastian. Pria tua itu sangat lega karena putrinya bersedia menikah dengan pengusaha kaya raya. Ia lega bukan hanya karena bisnis Keluarga White akan membaik, tetapi juga anak dan cucunya akan memiliki sebuah keluarga utuh.Rosie sendiri berusaha untuk berpura-pura bahagia di depan Sebastian, ia tak ingin ayahnya berduka yang akan mempengaruhi kesehatan pria yang sudah tak muda lagi itu. Namun sesungguhnya jauh di dalam hati, Rosie mengalami pergumulan batin. Antara dendam, kebencian, dan cinta. Ia membenci Michael dengan sepenuh hati, ingin membalas dendam atas kebohongan yang pernah ditorehkan pria itu kepadanya. Tetapi wanita itu juga takut akan jatuh cinta lagi pada ayah kandung Ronald, karena jujur ia belum bisa melupakan Michael. Namun Rosie merasa sedikit lega karena Michael bersikap acuh tak acuh padanya semenjak kesepakatan mereka untuk menikah. Pria itu hanya datang ke aparte
“Aku ada ide!” Tiba-tiba Selena menjentikkan jari, bibirnya menyunggingkan senyuman lebar. “Ide apa, Lena?” Rosie menjadi penasaran, ia harus akui Selena memiliki ratusan ide, meskipun kebanyakan dari idenya terbilang ekstrim.“Bagaimana kalau kau turuti saja persyaratan yang diminta Michael pada ayahmu?” usul Selena, dan sebelum sepupu berambut pirang itu memprotes, ia menempelkan telunjuknya ke bibir Rosie.“Coba pikirkan, bila kau setuju menikah dengan Michael. Pertama, hotel yang didirikan Sebastian akan terselamatkan dan kau bisa mengembangkannya menjadi hotel yang maju. Kedua, Ronald memiliki seorang ayah seperti yang selama ini selalu diimpikan. Ketiga, Sebastian memiliki semangat hidupnya kembali!” papar Selena, mata coklatnya berbinar penuh semangat.“Aku membenci laki-laki itu, Lena!” sergah Rosie cepat. “Aku tidak mau jatuh kedua kali padanya, sakit sekali rasanya.” “Kalau kau memang membencinya, mengapa takut jatuh cinta?” tantang Selena memprovokasi. “Lakukan balas dend
Sebastian menatap Rosie dalam-dalam, ada guratan kecewa di matanya. “Hanya ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan hotel ibumu, Rosie!” suara Sebastian terdengar serak. “Tidak ada seorangpun yang sudi mengeluarkan uang untuk usaha kita ini, hanya dia yang mau menolong!” “Michael bukan menolong, Ayah!” sergah Rosie marah, “Dia menginginkan timbal balik, dan aku tak akan memberikan diriku padanya!” “Ayah mohon kau mau mempertimbangkannya, demi masa depanmu dan Ronald!” pinta Sebastian, suaranya nyaris memelas. “Tidak ada yang perlu dipertimbangkan, Ayah!” tegas Rosie, mata birunya berkilat-kilat. “Aku sudah tidak mau Ayah jadikan alat pembayaran untuk mencapai kesuksesan. Dulu Ayah sudah menjualku pada keluarga Eddison untuk penyatuan dua perusahaan besar, sekarang menjualku pada Bridgewood? Aku bukan pelacur!” Napas Rosie memburu dilanda emosi yang sangat hebat. Ia ingin menangis dan meraung namun sadar saat ini harus tegar dan kuat. Aku tak akan membiarkan siapapun menyakiti h
Sebastian menatap punggung kursi direktur di depannya dengan rasa penasaran yang tinggi. Pria tua ini tak mengerti dan sedikit tersinggung mengapa George Jr. tidak menyambut dan menampakkan diri di depannya.Apakah benar dugaan Rosie, pebisnis macam George Bridgewood mustahil bersedia bekerja sama dengan keluarga White yang berada di ambang kebangkrutan?“Hal penting apakah yang ingin Anda bicarakan dengan saya, Tuan George Junior?” Sebastian memberanikan diri bertanya seraya membenarkan posisi duduk yang terasa tak nyaman. Ia bersiap untuk menerima kemungkinan terburuk , karena sudah beberapa kali mengalaminya. Ya, penghinaan kerap pria tua itu terima saat menawarkan kerja sama karena dianggap datang hanya untuk meminjam uang. Bila hari ini ia menerima penghinaan itu lagi, baginya semua telah berakhir.“Saya ingin menyuntikkan dana untuk merenovasi kembali hotel Anda dan membantu pemasaran agar hotel tersebut bangkit kembali dan jaya seperti dulu.”“Benarkah Anda mau melakukan itu?”
“Rosie, tunggu!” Michael berusaha mengejar Rosie yang berjalan tergesa menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari supermarket sambil menggandeng Ronald .“Rosie, jangan abaikan aku!” Michael berhasil menangkap lengan Rosie dari belakang, namun wanita berambut pirang itu menyentakkannya dengan marah.“Jauhi aku dan anakku!” desis Rosie dengan nada mengancam. Michael menoleh pada Ronald yang bersembunyi di belakang kaki jenjang wanita itu, seolah kaki-kaki itu dapat membuatnya tak terlihat.“Apakah dia anakku?” bisik Michael, matanya berkaca-kaca. Ia tak ingin menangis, tetapi melihat sosok kecil yang merupakan copy dirinya sungguh pemandangan yang mengharukan.“Ronald, masuk ke mobil cepat!” perintah Rosie pada putranya. Ronald berlari masuk ke dalam mobil dengan patuh.“Aku harap tidak perlu melihatmu lagi, karena kalau sampai kau berani mendekati kami, aku akan memanggil polisi!” ancam Rosie lagi.“Kau tega memisahkan aku dari anak kita!” Suara Michael terdengar kecewa. “Seharusny
Keputusan Rosie pulang kembali ke New York setelah lima tahun semata-mata karena ingin mengunjungi ayahnya yang sakit-sakitan. Hubungan mereka sudah sangat buruk sebelum akhirnya ia memilih pergi waktu itu. Kini saatnya memaafkan sekaligus memperkenalkan Ronald kepada kakeknya. Berdiri berhadapan di lobi sebuah hotel milik Sebastian yang tersisa, Rosie merasa canggung. Ayahnya seperti orang asing, dengan rambut berwarna perak, tubuh ringkih dan tongkat yang ia gunakan untuk membantunya tetap tegak berdiri. Apa yang telah Sebastian alami selama lima tahun ini sepertinya sangat berat untuk ia lalui sendirian. “Apakah dia … cucuku?” suara serak Sebastian menyadarkan Rosie. Wanita itu mengangguk lalu membungkuk menatap mata putranya. “Ronald, dia adalah kakekmu!” Rosie menunjuk Sebastian. Anak laki-laki berusia empat tahunan itu menoleh ke arah kakeknya, mata hijaunya berkilat. Setelah mendapat izin dari Rosie, Ronald berlari ke arah Sebastian. Sebastian tak bisa berjongkok untuk m
Lima tahun berlalu, di kota Seattle. Seorang bocah laki-laki kecil sedang berlarian keluar dari gedung sekolah, rambut ikalnya bergoyang tertiup angin. “Ronald!” langkah si kecil terhenti ketika seorang guru pria memanggilnya dari belakang. “Ya, Pak Tim?” Ronald kecil memutar tubuh menghadap gurunya yang bernama Timothy. “Kau melupakan kotak makan siangmu di bangkumu lagi!” Tim menggoyang-goyangkan tempat makan Ronald seraya menghampiri. “Terima kasih, Pak!” Ronald tersenyum saat menerima kotak makan bergambar 'lilo and stitch' kembali. Tim membantu memasukkan kotak tersebut ke dalam ransel yang disandang si kecil. Tim mengangkat dagu ke depan, melambai ke arah seorang wanita cantik yang menunggu Ronald di dalam mobil hatchbacknya. Ia menggandeng tangan Ronald berjalan ke arah mobil. “Hi, Mommy!” Ronald menyapa wanita itu. “Hi, Sayang!” Wanita itu tersenyum lebar, dengan sabar menunggu Tim membuka pintu mobil dan pria kecilnya memanjat masuk ke dalam mobil mereka. “Bagaimana
Di hari minggu yang cerah, pesta pernikahan Richard dan Sasha dengan nuansa alam terbuka sedang berlangsung. Sasha terlihat begitu bahagia, senyuman tak kunjung pupus dari bibir. Ia tampil bak seorang putri negeri dongeng, gaun pengantin mermaid yang dikenakan menyempurnakan penampilan. Pernikahan ini adalah yang ditunggu-tunggu, kini dirinya tidak akan lagi disebut pelakor atau orang ketiga. Semua orang akan memanggilnya dengan sebutan Nyonya Eddison.Tetapi tidak demikian dengan Richard, seharian berwajah murung. Ia berusaha tersenyum di depan Sasha, namun pikirannya carut marut.Di hari istimewanya, sahabat yang selalu setia tidak bersedia datang maupun sekedar menelepon mengucapkan selamat. Richard mencoba menghubungi beberapa kali namun tak ada tanggapan. Rasa kehilangan tentu saja ada, bahkan sangat kental. Ia bukan hanya kehilangan sahabat, tetapi juga partner kerja.Selesai pemberkatan nikah, Sebastian White -ayah Rosie- menghampiri Richard. Wajahnya sangat dingin dan tidak b