Jentra Kenanga menjatuhkan tubuhnya ke kasur yang empuk. Ia sangat lelah setelah perjalanan selama berhari-hari untuk mengikuti pergerakan orang-orang Sanjaya. Namun saat matanya hendak terpejam pikirannya melayang pada benda yang ada di dalam tubuhnya. Ia kemudian mengambil posisi bersila, setelah konsentrasi mendalam sebuah Jentera biru keluar dari telapak tangannya. Benda itu berpendar indah memancarkan warna biru muda yang lembut. Perlahan ia menggiring Jentera itu masuk ke dalam sebuah kotak terbuat dari kayu yang dilapisi ukiran dari emas. Ia menutup kotak itu perlahan, menciumnya dan memasukannya pada almari yang terkunci rapat.
Ia kemudian melangkah kembali ke tempat tidurnya. Ia berpikir mengenai Rukma yang diselamatkannya dari banjir. Hal yang sama pernah terjadi beberapa tahun yang lalu, saat ia menyelamatkan seorang anak laki-laki berumur sepuluh tahun bernama BIru. Penyelamatan itu berakhir sangat tragis baginya dan keluarganya, namun juga menjadi berkah berharga pada hidupnya saat ini. Ia menemukan Jentera sakti miliknya justru ditengah kehancuran dan keputusasaannya.
Saat berbaring semua kenangannya dengan Jentera biru itu kembali membayang dengan jelas di ingatannya. Saat itu usianya baru tiga belas tahun. Desanya dibakar oleh perampok dan semua orang dibunuh. Ia berhasil lolos hanya karena ia berlari mengikuti seorang gadis seusianya yang sepertinya juga berlari menuntun langkahnya pergi.
"Ayo Jentra...., jangan takut. Ayo ikutlah denganku." Kata gadis itu. Suara gadis itu merdu dan dalam.
Jentra yang ketakutan tak punya pilihan selain mengikuti gadis itu. Beberapa kali ia terjatuh karena tersandung akar pohon namun gadis itu membantunya berdiri dan kembali berlari. Saat sudah jauh dari desanya, gadis kecil yang bersamanya membawanya ke dalam sebuah gua.
"Jentra, kau tinggalah bersembunyi di sini. Kau akan baik-baik saja." Kata gadis itu
"Kau mau kemana? Dan kau tinggal dimana? Siapa namamu?" Tanya Jentra
"Namaku Candrakanti. Rumahku jauh dan aku harus pulang." Jawabnya.
"Pulang? Kenapa aku tak kau bawa ke rumahmu saja? Aku takut di sini sendirian." Kata Jentra terbata-bata. Sambil memegang tangan gadis itu.
"Aku tidak bisa membawamu pulang. Orang tuaku akan sangat marah jika aku membawa anak laki-laki pulang." Katanya.
Jentra mengerti apa yang dikatakan gadis itu namun ia tak mau melepaskan tangannya. Akhirnya gadis itupun membawa Jentra ke sudut gua yang lebih dalam. Ia menunjukan sebuah kotak.
"Kau lihat disini. Ada makanan yang cukup untukmu sampai besok pagi. Ada selimut, obat dan lampu minyak. Di sudut sana juga ada kayu bakar. Nyalakan api saat malam supaya binatang buas tidak masuk ke gua. Di dalam gua ini ada mata air yang bisa kau minum airnya." Kata Candrakanti. Jentra mengangguk. Candrakanti membalik selimut yang ada di dalam kotak.
"Ini ada pisau dan pedang yang bisa kau pakai menjaga dirimu. Selain itu ada tikar yang bisa kau pakai alas supaya kau tidak kedinginan. Kau seorang pria harus bisa menjaga dirimu." Candrakanti melanjutkan perkataannya.
Jentra terkejut dan mengambil pedang dan pisau yang ditunjukan gadis itu. Pedang itu ditempa dengan sangat baik. Pegangannya juga berukir dengan emas.
"Darimana kau dapat benda ini, Candra?"Tanya Jentra. Candrakanti cuma menggeleng yang artinya Jentra tidak perlu bertanya lagi. Gadis itu kemudian meninggalkan Jentra seorang diri.
Jentra kemudian menyalakan api seperti yang diperintahkan gadis itu dan menikmati makanannya, karena ia sangat lapar hampir seharian berlari. Ia memeluk erat pedangnya dan menaruh pisau di pinggangnya untuk berjaga-jaga. Suara-suara penghuni hutan sempat membuat nyalinya ciut namun perkataan Candrakanti membuatnya lebih tabah. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia seorang pria yang bisa menolong dirinya sendiri.
Saat tengah malam ia tak bisa lagi menahan dirinya untuk tidur. Meskipun rasa takut dan cemas masih menganggunya akhirnya ia menyerah dengan kantuknya. Ia pun tertidur. Saat pagi hampir menjelang, nyala api hampir padam. Tiba-tiba seekor anjing hutan menyerobot masuk ke dalam gua dan menerkam Jentra.
Jentra yang terkejut terbangun. Anjing hutan itu hampir saja menggigit perutnya seandainya tidak ada gagang pedang yang diletakannya di situ. Ia menahan rahang anjing hutan itu dengan gagang pedangnya dan meraih pisau dipinggangnya. Dengan sisa keberaniannya ia tusukan pisaunya ke perut anjing itu berkali-kali hingga anjing itu mati.
"Kurang ajar!" Teriaknya.
Ia berdiri dan membersihkan darah yang tercecer di atas tubuhnya, kemudian menendang bangkai anjing itu sekuat tenaga. Ada perasaan lega di dalam hatinya dan rasa takut mulai menghilang. Saat matahari telah muncul Candrakanti datang dengan membawa makanan. Ia terkejut saat melihat bangkai anjing hutan tergeletak dipinggir mulut gua.
"Jentra...Jentra!" Teriaknya.
Jentra muncul dengan wajah yang telah dicuci bersih dan rambut yang disisir. Candrakantipun memeluknya. Ada rasa aneh di dalam diri Jentra yang tidak bisa dijelaskan saat Candrakanti memeluknya.
"Aku pikir terjadi sesuatu denganmu. Aku kuatir sekali." Kata Candrakanti. Jentra tersenyum malu.
"Anjing hutan itu menyerangku tadi pagi-pagi sebelum matahari muncul. Namun aku berhasil membunuhnya." Kata Jentra. Ada kebanggaan dalam nada suaranya. Candrakanti kini yang ganti tersenyum.
"Jangan biarkan apinya mati. Binatang-binatang itu takut api. Tapi jika apinya mengecil atau mati mereka akan menerobos masuk. Sudahlah yang penting kau tidak terluka. Aku membawakan makanan untukmu."Ucap Candrakanti. Jentra mengangguk. Keduanya makan bersama dan bercanda kecil seolah telah mengenal begitu lama sampai Jentra akhirnya berkata,
"Aku tidak bisa selamanya tinggal di gua ini. Ayah dan ibuku meninggal dibunuh para perampok itu, aku harus mencari orang yang bisa mengajariku ilmu bela diri dan memberiku pekerjaan, suatu saat aku akan membalaskan dendam orang tuaku."Katanya.
Candrakanti sedikit pucat saat mendengarkan perkataan Jentra. Namun ia terlihat begitu manis. Meskipun baru berusia tiga belas tahun, Candrakanti telah menampakan kecantikannya. Bibirnya yang merah merekah, matanya yang sayu dengan bola mata yang dalam dan indah. Hidungnya yang mancung, Kulitnya kuning langsat dibalut kain warna soga yang kontras dengan kulitnya semua begitu menawan dan membuat Jentra sulit menggambarkan perasaannya.
"Aku tahu, kau pasti marah dengan perampok-perampok itu. Masalahnya mereka banyak sedangkan kau seorang diri. Mereka sakti, sedangkan kau baru sekali berkelahipun dengan anjing hutan. Aku takut terjadi apa-apa denganmu. Sia-sia aku menyelamatkanmu." Kata Candrakanti.
"Itu sebabnya aku akan mencari kadewaguruan terdekat yang bisa mengajariku apa saja, termasuk ilmu bela diri. Kalau aku bisa. Aku tidak hanya bisa melindungi diriku tapi juga dirimu. "Jawab Jentra yakin.
"Tapi jika kau pergi. Kita tidak akan bisa bertemu lagi." Kata Candrakanti.
"Kenapa? Kau bisa memberitahuku tempat tinggalmu, nama desamu. Aku pasti bisa mencarinya."Jentra menanggapi.
"Tidak. Kau tidak bisa pergi ke desaku. Tempatnya sangat jauh." Kata Candrakanti
Untuk beberapa saat mereka terdiam. Jentra merasa ada sesuatu yang disembunyikan Candrakanti. Ia menghela nafas panjang. Ia sangat mengerti, mungkin saja Candrakanti telah dijodohkan oleh orang tuannya dengan pemuda desa setempat sehingga ia merasa takut jika Jentra datang akan menimbulkan keributan.
Pada masa itu perjodohan di usia seperti mereka adalah hal yang sangat lumrah. Oleh karena itu Jentra mengerti jika Candrakanti tidak ingin ia datang. Jentra memandang dalam mata Candrakanti.
"Candra, aku memiliki kewajiban untuk membalas kematian orangtuaku. Oleh karena itu jika aku tak bisa datang ke desamu maukah kau menungguku di sini? Tiga tahun saja aku akan pergi. Setelah itu di hari kedua belas setelah bulan kasanga, aku akan ada di tempat ini. Aku akan menunggumu selama tujuh hari. Apabila kau tidak datang selama tujuh hari itu, maka aku akan melepaskanmu dan seperti yang kau katakan kita tidak akan bertemu lagi." Kata Jentra dengan berat. Candrakanti memeluknya erat. Namun mereka tetap harus berpisah.
Jentra membawa pedang dan pisau yang diberikan Candrakanti sebagai senjata serta bekal makanan untuk perjalanannya. Sekali lagi mereka saling berpamitan dan masih jelas membayang mata Candrakanti yang sembab melepaskannya pergi.
Jentra akhirnya meninggalkan Candrakanti dengan perasaan berat. Apalagi Candrakanti tidak hanya memberikan bekal makanan dan obat-obatan yang bisa dipakai Jentra namun juga uang emas yang berharga. Sebenarnya Jentra bertanya-tanya, siapakah sebenarnya Candrakanti ini? Apakah keluarganya, orang yang sangat kaya? Apakah karena ini pula Candrakanti takut membawanya pulang ke keluarganya?Jentra mencoba menepis semua bayangannya tentang Candrakanti.Ia terus melangkah hingga kakinya terhenti di sebuah bangunan yang tidak terlalu mewah namun besar dan terurus dengan baik. Tak salah lagi ini adalah Kadewaguruan yang selama ini menjadi impian Jentra untuk bisa berguru.Perlahan ia mengucapkan salam. Seorang pembantu pendeta muncul dan menanyakan keperluannya. Jentra menyatakan keinginannya bertemu dengan kepala pendeta. Pembantu pendeta itupun mempersilahkannya menunggu di ruang khusus untuk tamu. Dari tempat Jentra menunggu, ia bisa melihat Kepala pendeta sedang menerima tamu pemuda-pemuda
Vihara Candavira letaknya ada di atas bukit ujung sima atau desa. Bukan tempat yang sangat mewah karena hanya vihara desa namun konon permaisuri Sang Maharaja kerap bertandang ke tempat ini. Ada tiga batang pohon Bodi besar di halaman vihara, sisanya adalah pohon rindang lainnya dan pohon buah-buahan.Halaman vihara terlihat cukup luas dan disapu bersih setiap hari oleh para Samanera yang sedang belajar meninggalkan keduniawian. Bangunan vihara-pun dibangun dengan cukup baik, meskipun tidak sebesar dan seluas vihara-vihara yang dibangun oleh Raja-raja sebelumnya seperti Rakai Panangkaran, yang juga membidani pembangunan Sambhara Budura, yang masih belum rampung pengerjaannnya hingga Sang Maharaja Rakai Garung saat ini. Komplek Vihara terdiri dari dhammasala, uposathagara, kuthi, dan bhavana sabha. Dhamasala merupakan gedung utama dalam vihara. Fungsi dari gedung ini adalah tempat melakukan kebaktian dan upacara keagamaan untuk para umat dan bhikku, sifat dari gedung ini untuk umum.
Jentra menggeliat, perlahan kesadarannya mulai pulih. Tubuhnya terasa sakit semua. Ia memandang ke sekeliling namun semua terlihat gelap kecuali nyala api kecil dari lilin lebah yang tergeletak diatas meja pendek."Dimanakah aku?" Begitu pertanyaannya dalam hati.Jentra mencoba mengingat kejadian sepanjang hari sebelum dirinya terjebak di dalam ruang gelap ini. Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara teriakan yang keras dari banyak orang."Hah!""Ho...!""Renggangkan kaki. Buat pijakan yang kuat!""Pasang kuda-kuda yang benar!"Teriakan itu seperti teriakan orang yang sedang berlatih kanuragan. Dengan kepala yang masih terasa pusing, Jentra mengintip dari daun jendela yang rupanya tidak terkunci. Dari dalam ia melihat puluhan orang berbaris bersap-sap dan membentuk kuda-kuda.Semuanya nampak masih seumurnya. Sap pertama dan kedua diisi para biksu muda dengan celana warna oranye terang tanpa baju dan jubah. Sementara sap ketiga hingga enam berisi anak-anak muda dengan celana tanggung berw
Jentra kembali ke gua, dimana ia dan Candrakanti pernah berjanji untuk bertemu. Ini adalah tahun ketiga yang ia janjikan. Jentra telah jauh berubah. Ia menjadi pemuda yang sudah cukup matang meskipun belum sepenuhnya dewasa. Tubuhnya tinggi, besar dan gagah. Ototnya terbentuk dengan baik dan kemampuannya semakin terasah. Ia juga semakin tampan. Apalagi saat di vihara, Wiku Sasodara memberikan semua yang terbaik untuknya termasuk pakaian. Ia bukan lagi remaja lusuh dan bau. Ia telah menjadi pria tampan yang cukup mewah.Bajunya terbuat dari sutera warna biru lembut dan disulam dengan benang perak. Ia juga memakai pelindung pergelangan tangan yang terbuat dari emas dan berukiran naga. Ikat pinggangnyapun terbuat dari perak yang bertabur batu mulia.Candrakanti hampir tidak mengenalinya saat mereka bertemu di mulut gua. Ia terpana pada pria dihadapannya itu. Benarkah itu Jentra? Pria yang ditunggunya selama tiga tahun dengan menolak semua lamaran pria yang disodorkan oleh ayahnya. Hatiny
Jentra mengendap-endap menuju barak kelompok perampok yang telah membunuh keluarganya. Ia menyiapkan dua bilah pedang. Ia berpakaian serba hitam dan menutup wajahnya. Kemudian ia menunggu sampai ia melihat Candrakanti keluar dari tempat itu, menuju tempat yang telah mereka sepakati. Saat Candrakanti telah berlalu beberapa saat. Jentra langsung menyerang tempat itu. Pertama ia membunuh penjaga pintu dengan memotong lehernya. Sementara salah satu dari perampok-perampok itu melihat kejadian itu berteriak."Penyusup...penyusup!" Namun, Jentra melemparkan belatinya dan mengenai perut orang itu. Kemudian keluarlah tiga orang dari rumah-rumah mereka dan menghadang Jentra."Siapa kau manusia keji. Kurang ajar sekali membunuh saudara kami." Kata orang pertama"Ya, buka topengmu. Perlihatkan siapa dirimu. Dasar pecundang." Sambut orang kedua"Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Tetapi aku adalah orang yang sedang menagih hutang darah kalian." Jawab Jentra."Kurangajar. Habisi dia!" Kata orang
Jentra kembali ke padepokan para perajurit sandi Medang. Jentra sudah tidak tinggal di vihara sejak pendidikannya dinyatakan selesai dengan baik. Wiku Sasodara bahkan merekomendasikan agar Jentra bisa bergabung di satuan khusus sandi dan melayani Mahamentri I Halu Pangeran Balaputradewa.Jentra masuk tertatih dengan menahan lukanya yang cukup dalam. Kondisi lukanya yang masih terus berdarah, mengundang teman-temannya untuk membantunya. Salah satunya adalah teman terdekatnya Ginandara."Jentra! Apa yang terjadi padamu? Mengapa kau sampai terluka seperti ini?"Teriaknya panik"Benar kakang Jentra. Siapa yang bisa melukaimu sampai separah ini?" Sahut Kawindra"Aku tidak apa-apa!" Jawab Jentra sambil meringis menahan perih."Ayo kita bawa dia ke kamarnya." Kata Kawindra"Ya. Kau harus diobati dengan benar Jentra, supaya lukamu tidak bertambah parah. Beruntung, bikkuAmasu datang untuk menengokmu dan ingin menyampaikan pesan dari wiku Sasodara. Ia menunggumu di ruanganmu." Ginandara menamba
"Kanti.....Kanti......Kanti!" Teriak Kacaya terengah-engah sambil menaiki bukit.Candrakanti yang tengah mencari rumput menengok asal suara yang memanggilnya. Ia melihat pamannya tampak terengah-engah menyusulnya."Ada apa paman? Mengapa kau berteriak seperti orang yang kebingungan." Tanya Candrakanti"Ayahmu....ayahmu...."Kacaya terbata-bata dan terengah-engah, bukan karena panik namun usianya yang tak muda lagi dengan badan yang tambun di paksa naik bukit."Ayah kenapa? Bertengkar lagi dengan paman soal ayam? Kan sudah saya bilang, jual saja ayam-ayam itu sehingga tidak berkeliaran kemana-mana. Atau buat kandang yang kokoh, biar mereka tidak kabur."Candrakanti menanggapi pamannya dengan tenang seperti biasanya. Namun pamannya melambaikan tangannya seraya mengatur nafas yang tersengal-sengal."Bukan itu! Lalu apa?""Prajurit....prajurit Medang menangkap ayah....ayahmu.""Apa?" Teriak Candrakanti yang seketika membuang sabitnya"Prajurit Medang menangkap ayahmu. Semua yang melawan di
Tekad Candrakanti telah bulat. Pagi-pagi sekali, ia memanfaatkan kesunyian meditasi untuk keluar dari vihara. Ia membawa goloknya dan air untuk bekal. Menembus kabut yang gelap dan hawa yang dingin, sesekali Candrakanti menggosok lengannya yang terbuka kuat-kuat. Ia menerobos hutan menuju ibu kota Medang Poh pitu.Ibu kota Medang adalah tempat yang indah. Berbeda dengan kota Manisa di dekat Sima tempat Candrakanti tinggal. Poh Pitu adalah kota yang ramai meskipun matahari masih belum sepenuhnya bersinar. Dengan bekal informasi yang pernah diceritakan Jentra padanya, ia bisa menemukan padepokan pasukan Sanditaraparan di mana Jentra tinggal dan bertugas. Tempatnya memang bukan di jantung kota, namun di sisi sebelah barat kota dekat perbukitan yang bisa dipakai sebagai tempat latihan berkuda, memanah dan ketangkasan lainnya.Dengan hati-hati, ia mengamati tempat itu. Lalu bertanya pada penjaga tentang Jentra. Ia mengaku sebagai istri Jentra. Penjaga itu segera berlari menuju ruangan Je