Pagi-pagi sekali Jentra telah mengumpulkan perbekalan untuk mendaki Udarati. Ia membagi beban dengan seluruh anggota yang akan ikut mendaki, berdasarkan keterangan Ganandara dan Kawindra mengenai vegetasi dan kondisi pasokan air dan pangan. "Apa saja yang kau bawa Jentra?"Tanya Amasu."Beras, empon-empon (sebangsa kunyit, jahe, cabe jawa, kencur dsb), minyak kelapa, biji-bijian, kacang-kacangan dan kain tebal. Sisanya kita bisa berburu di hutan. Kata Kawindra banyak babi besar atau kijang yang bisa dipakai menambah perbekalan kita."Jawab Jentra."Tapi akau dan guru tidak makan daging." Amasu mengingatkan Jentra."Jangan kuatir wiku Amasu, saya juga menyiapkan beras ketan dan gula merah. baik dari kelapa maupun aren. Konon makanan manis akan menambah tenaga kita." Jawab Candrakanti"Ah, kau memang selalu bisa diandalkan, Candra sayang." Amasu nampak gembira."Naik gunung juga belum, sudah mengkuatirkan makanan. Dasar guru Amasu." Rukma menimpali sambil tertawa."Itu memang penting Ruk
Sore itu, cahaya bulan telah mulai nampak memerah sinarnya. Dyah Ayu Meitala memandang putranya yang nampak takjub dengan indahnya cahaya rembulan itu. Dyah Ayu Meitala-pun meneteskan air matanya sambil mengelus rambut tebal putranya. Saat memandang bulan itu, Pangeran kecil wangsa Sanjaya itu bernyanyi sebuah kidung kuno yang bahkan belum pernah di dengar oleh Dyah Meitala. Kidung itu sedih sekali, seolah berisi pengajaran betapa sia-sianya cinta yang hanya akan menghasilkan derita. Namun betapa terkejutnya Sang Dyah Ayu ketika ia memperhatikan lagi putranya yang ternyata menggunakan kekuatan bulan untuk mengukir sebuah batu hanya dengan jari kecilnya.Kalwang-pun terkejut melihatnya"Ah, Gusti kau sangat pintar melukis batu." Katanya"Ya, benar. Lukisan sulur gelung yang indah dan ada bunga-bunga juga. Tetapi apakah batu itu tidak keras?" Munding menambahkan sambil bertanya."Aku tidak hanya bisa menggambar ini di batu. Tetapi aku bisa menyusunnya menjadi perwara kecil." Kata Mpu P
"Tempat ini indah juga ya. Tidak semenakutkan yang diceritakan Ganandara." Kata Amasu."Masih indah. Belum sampai tempat yang menakutkan itu." Jawab Jentra. Entah mengapa ia merasa selalu diawasi. Nalurinya sebagai perajurit sandi rupanya sangat peka.Hal yang sama dirasakan Rukma. Ia memperhatikan banyak sekali pohon kebo, Beringin, Preh, Randu alas besar dan pohon Trembesi yang sangat terkenal menjadi rumah para hantu. Rukma masih ingat benar bagaimana wajah para hantu itu karena ia sering melihatnya saat kecil dulu."Apa yang dilihat wiku Amasu sehingga mengatakan jika tempat ini indah? Yang kulihat sungguh berbeda. Tempat ini benar-benar penuh dengan hantu." Kata Rukma pada Candrakanti."Memang, apa yang kau lihat Rukma?" Tanya Candrakanti."Hhuuhh banyak. Tempat ini benar-benar kerajaan hantu." Kata Rukma Candrakanti tiba-tiba merapatkan tubuhnya pada Jentra yang berjalan di depannya. Bukannya takut namun ia mengerti jika hantu itu memiliki wujud aneh-aneh yang tak ingin dilihatn
Belum habis ketegangan yang disebabkan oleh serangan Kemamang. Kelompok Jentra harus menghadapi kabut yang begitu pekat."Semua tenang, jangan panik atau ketakutan. Ini hanya kabut uap air biasa. Jadi kita tunggu semuanya menjadi lebih terang saat pagi nanti. Jangan ada yang meninggalkan tempat ini karena akan sangat berbahaya jika kita tersesat. Jurang menganga bisa dimana saja. Mantra yang kuucapkan akan melindungi kita dari hantu Kemamang tadi." Kata Wiku Sasodara."Jadi bagaimana ini sebaiknya?" Tanya Amasu." Kita bergantian jaga dan sebaiknya yang berjaga dua orang setiap kali." Kata Wiku Sasodara."Tapi kita bertujuh sekarang." Amasu menyela."Saat giliran Rukma, aku akan berjaga bersamanya dan Gaurika." Kata Wiku Sasodara."Benar. Jadi guru Amasu berjaga dengan yayu Sriti, kan?" Gaurika memastikan.Wiku Sasodara mengangguk. Amasu menghela nafas dan Sriti sedikit cemberut. Sementara Candrakanti mengangkat alis dan tersenyum dengan sedikit perasaan kemenangan bahwa Wiku Sasodara
Malam berlalu hampir tanpa istirahat. Semua orang nampaknya sangat lelah. Wiku Sasodara akhirnya memutuskan untuk memulai perjalan siang hari, supaya mereka yang kurang tidur bisa melanjutkan istirahat beberapa jam lagi. " Jentra, pergilah menangkap beberapa ekor ikan di sungai bawah sana. Setidaknya dagingnya bisa menambah tenaga untuk para wanita. Atau pergi tangkap babi dan rusa." Kata Wiku Sasodara."Biar kutemani." Sahut Sriti bersemangat. Candrakanti langsung melirik Jentra dengan pandangan yang kurang menyenangkan."Oh, tidak perlu! Tempat itu bisa jadi berbahaya."Kata Jentra."Biar dia pergi sendiri. Kau bantu Candra saja membuat sarapan untukku dan Amasu, karena kami tidak makan daging. Oh ya, aku membawa biji jagung dan millet, kalian bisa membuat bubur dari bahan ini." Wiku Sasodara mengulurkan bungkusan dari bondotan (semacam tas kain yang diikat ujung-ujungnya) yang dibawanya. Sriti sedikit kesal namun ia tak punya pilihan.Jentra turun ke mata air. Ia melihat banyak sek
Rombongan Sasodara dan Jentra mulai mendaki lagi selepas tengah hari. Mereka mulai memasuki hutan yang gelap dengan pohon-pohon besar yang bahkan tidak dapat dipeluk sepuluh orang bergandengan. Sulur-sulurnya juga menjuntai ke bawah hingga menyentuh tanah."Hati-hati dengan ular besar! Mereka sering mnyergap dari atas." Wiku Sasodara mengingatkan anggota rombongannya. Sungguh perjalanan yang sangat berat karena pendakian telah dimulai. Jalan yang cukup menanjak, berbatu atau berlumpur yang jika tidak hati-hati bisa membuat orang tergelincir. Candrakanti mengamati setiap pohon dan yang sulurnya bergerak ia waspadai, bisa jadi hembusan angin tetapi tidak jarang juga pergerakan seekor ular pohon sebesar-besar paha orang dewasa."Banyak sekali ular di tempat ini." Kata Candrakanti."Kau takut?" Ejek Sriti."Bukan takut, tapi geli saja melihatnya." Jawab Caandrakanti.Belum lagi keduanya diam dengan percakapannya, tiba-tiba seekor ular besar sebatang kelapa meluncur dan hampir saja melil
"Apakah sudah ada kabar dari Sriti?" Tanya Pangeran Balaputeradewa pada Karmika salah seorang sandi wanita yang diselundupkan Sang Pangeran di dalam pasukan sandi bentukan Maharaja."Belum, Gusti." Kata Karmika"Hah, apa sih yang dikerjakan Sriti sehingga ia tidak mengirimkan kabar apapun? Bagaimana dengan Rukma?" Tanya Pangeran Balaputeradewa."Kabar terakhir yang hamba terima justru dari panglima Jentra. Mereka masih berada di hutan larangan Suksma Ngulandara, Gusti." Jawab Karmika."Kepada siapa Panglima Jentra memberikan kabar tersebut?" Tanya Pangeran Balaputeradewa."Beliau mengirimkan kabar kepada Wiku Wirathu untuk disampaikan kepada Maharaja dan mengirimkan berita kepada penanggung jawab Pasukan sandi Gananendra." Jawab Karmika."Apakah kondisi mereka baik-baik saja, Karmika?" Tanya Pangeran Balaputeradewa lagi."Sejauh yang saya tahu dari berita sandi, mereka dalam keadaan baik-baik saja Gusti." Karmika memberikan keterangan lebih lanjut."Lalu, ada berita apa dari istana sej
Penyerangan Maharaja Rakai Garung terhadap Sima Kelasa dan Panaraban telah membuat Raja Pengging Basundra murka. Namun karena kebijaksanaannya dan kewibawaannya sebagai seorang Raja, ia tak mau melibatkan kepentingan negara untuk melindungi adiknya. Maka ia mengutus beberapa orang perajurit sandi Pengging untuk memeriksa keadaan, sekaligus memantau pergerakan para sanditaraparan yang diperintahkan untuk menyisir seluruh kerajaan, demi menemukan keponakan Sang Raja, Mpu Panukuh.Mereka yang diutus Sang Maharaja adalah, Panglima tertinggi Pasukan sandi Pengging yang bernama Anggaraksa, dimana ia memiliki kesaktian setara dengan Panglima Jentra kenanga, Nagarjuna, Karuna Sancaka serta Panglima Medang lainnya. Ia disertai oleh Gentala dan Jaladara yang juga memiliki kelebihan yang dapat dibandingkan dengan Rukma karena mereka ada di bawah bimbingan seorang brahmana yang juga tidak kalah sakti dengan Wiku Sasodara dan Candavira bernama Badra Bhavana dan Prapta Pratala.Ketiga orang yang