"Aku tidak mengerti dengan apa yang diinginkannya Wiku."Sri Kahulunan berkata sambil terisak-isak, karena kesedihan yang begitu dalam. "Pangeran Balaputeradewa masih sangat muda, Gusti Ayu. Jiwanya tentu masih bergolak karena haus akan pembuktian diri. Itu hal yang wajar." Kata Wiku Sasodara menghibur permaisuri Maahraja yang sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengannya. "Wajar bagaimana jika semua perintah Maharaja ditentangnya. Bahkan di dalam parapatan agung saja, dia sudah berani buka suara semacam itu. Saya merasa tidak enak hati dan sungkan kepada Maharaja. Beliau tidak keras kepada dimas Balaputeradewa karena menjaga perasaan saya.'" Lanjut Sri Kahulunan menutup wajah cantiknya dengan sapu tangan sutera supaya air matanya tidak nampak mengalir deras. "Hhhhmmm!" Wiku Sasodara menghela nafas panjang. "Saya sudah berkali-kali menasehati beliau juga, begitu juga dengan wiku Wirathu. Tetapi hanya mengangguk dan berkata iya, di depan kami saja. Setelah itu semua perin
Pangeran Balaputradewa sangat murka, karena Jentra mengatakan segalanya di depan kakak perempuannya dan wiku Sasodara. ia merasa Jentra tidak setia kepadanya. Pangeran Balaputradewa merasa bahwa Jentra telah membongkar sebagian rencananya kepada kakak perempuannya dan wiku sasodara. saat mereka berdua keluar dari keputren Pangeran Balaputradewa langsung menghardik Jentra. “ Mengapa kau katakan semua itu di depan kakak perempuanku Jentra? Aku sudah bilang ini semua rahasia.” Kata Pangeran Balaputradewa dengan marah. “ Saya sebenarnya juga tidak ingin mengatakan apapun di depan permaisuri. Namun beliau yang memerintahkannya. Jadi saya tidak berdaya. Saya tidak tahu jika wiku sasodara juga ada di sana.” Jentra mencoba untuk membela dirinya. “Kalau begitu rencana untuk Walaing, harus segera dipercepat. aku takut rencana yang ini pun nantinya akan tercium oleh wiku sasodara dan kakak perempuanku.” Kata Pangeran Balaputeradewa. “Tapi atas kesalahan apa kita menyerang walaing?
"Baginda sudah mendengar tentang beberapa Sanditaraparan yang kembali dari gunung Udarati?" Tanya Mpu Ghek Sang Pati. "Sudah. Namun Balaputeradewa menyembunyikan keberadaannya. Dia pikir aku bodoh. Tetapi aku merasa tidak enak hati jika harus mengambil tindakan terhadapnya karena aku sangat mencintai permaisuri." Kata Maharaja Rakai Garung. " Yah, Pangeran muda itu kelak akan jadi batu sandungan kita, Yang Mulia." Pangeran Aswangga menimpali. "Tidak juga selama kita bisa mengendalikannya." Kata Maharaja sambil menghirup minuman manis yang terbuat dari gula aren dan asam Jawa. "Apakah paduka punya rencana untuk Pangeran Balaputeradewa?"Tanya Pangeran Aswangga "Tidak secara langsung. Namun aku akan menggunakan orang-orang sekitarnya untuk mengendalikannya." Kata Maharaja begitu tenang. Tiba-tiba di tengah obrolan mereka, seorang abdi datang dan berbisik kepada Maharaja. Maharaja tersenyum sambil mengangguk. Mpu Ghek Sang Pati dan Pangeran Aswangga penasaran dengan yang dikatakan ab
Sriti kesal sekali karena Jentra tetap begitu keras kepala untuk bisa menikahi Candrakanti. Sementara ia yang rela berkorban apapun untuk Jentra hanya akan dianggap angin lalu dan ditinggalkan. Ia semakin marah saat rumor perkawinan Jantra dan Candrakanti sampai ke telinganya. "Kau sungguh keterlaluan, Kakang Jentra. Apa kurangku dari perempuan itu. Jika alasanmu, perempuan itu memberikan segalanya padamu termasuk keperawanannya, apakah aku tidak?Namun Perempuan itu dan keluarganya bahkan telah menyakitimu. Mengapa masih juga memilihnya."Tanya Sriti. Sriti mondar-mandir di selasar rumah Jentra yang besar. Ia seperti orang yang senewen dan kebingungan karena ia masih ingat kata-kata Jentra yang menyakitinya. "Kau telah menjebakku, Sriti. Namun satu hal yang harus kau tahu adalah bahwa di dalam hidupku tidak ada wanita yang akan selalu kucintai dan kurindukan seperti Candrakanti. Meskipun ia telah menghancurkan hatiku seremuk itu. Dan aku tidak berniat menggantikannya dengan wanita
Kerusuhan yang terjadi di Wanua Song telah memicu berbagai spekulasi politik yang luar biasa keras. Para pejabat Medang berwangsa Sanjaya mulai panik. Karena setelah mendengar laporan bahwa wanua Song dibakar habis oleh pembesar Walaing sendiri untuk menutupi kegagalan mereka melindungi Song dari keganasan perampok, Maharaja Rakai Garung mengambil tindakan dengan mengumumkan perang pada Walaing. Rencana Pangeran Balaputeradewa menguasai Walaing-pun tinggal selangkah lagi. Para Panglima perang termasuk Jentra diperintahkan untuk menenggelamkan Walaing dan menangkap seluruh pejabatnya. Serangan akan dilakukan fajar hari sebelum mereka siap menghadapi tentara Medang. "Kenapa kau begitu gelisah?" Tanya Jentra pada Rukma. "Entahlah, kakang. Aku hanya merasa ini tidak benar." Katanya. "Sudah kukatakan. Jangan menilai apapun dalam sebuah pusaran politik. Kita perajurit. Kita hanya menjalankan tugas." Kata Jentra menghibur Rukma yang terpukul dengan penghancuran wanua Song beberapa malam
Rukma terkejut saat melihat Ganika dan Gaurika begitu mudah dijatuhkan oleh Jentra Kenanga hanya dengan sebuah perkelahian main-main menurut Rukma. Jadi Jentra memang sesakti itu, maka wajar saja jika karirnya begitu cepat menanjak dan membuat iri hati seniornya. "Rukma, biar aku menghadapinya. Kau urus saja wanita-wanita itu supaya tidak diperlakukan tidak senonoh oleh para perajurit." Kata Jentra. "Baik!" Sambut Rukma gembira. "Hei bocah tengik. Jangan coba lari dariku. Tapak geni!" Teriak Mpu Kumbhayoni dengan mengerahkan pukulannya kepada Rukma. Dengan sigap Jentra mendorong Rukma ke samping dan mengibaskan jubahnya sehingga pukulan api itu memantul ketika mengenai jubahnya dan pukulan api yang terlontar hampir mengenai wajah Mpu Kumbhayoni sendiri. "Tameng Sangara!" Teriak Jentra. Jubah itu-pun terlepas dari tubuh Jentra dan mengejar Mpu Kumbhayoni. "Ditya kala dahana." Teriaknya menghalau jubah itu dengan semburan api. Namun jubah itu terus merangsek ke arah tubuh Mpu Ku
Ganika sedikit lebih beruntung. Saat terjatuh dari tebing, ia langsung masuk ke dalam kedung Sungai yang dalam sehingga lolos dari kematian. Tubuhnya diseret arus ke tepian dan dengan susah payah ia menggapai kayu pohon besar yang hanyut. “Ke mana Sungai ini akan membawaku?” Tanya Ganika di dalam hati Sungai itu memang mengalir menjauhi pusat perkemahan prajurit Medang di Utara. Sungai itu terus mengalir ke Selatan menuju tempat bernama Randu Gumbala. Ganika sadar bahwa ia belum sepenuhnya lolos dari bahaya karena semua Sungai menuju muara, dimana semua muara Sungai besar pasti berbuaya. “Aku harus segera berenang ke tepian. Supaya darah di tubuhku tidak menarik binatang buas mengejarku.” Kata Ganika. Dugaan Ganika tidak salah. Kecipak air yang dihasilkan Ganika mengundang seekor buaya besar mendekat. Ganika berusaha sekuat tenaga berenang ke tepian. Ia berhasil mencapai daratan, namun buaya itu masih tetap mengejarnya. “Binatang kurang ajar!” teriak Ganika saat buaya itu menerka
“Aku sama sekali tidak mengerti, ke mana anak itu menghilang? Prilakunya juga aneh sebelum ini.” Kata Jentra. “Wajar saja. Ini adalah pengalaman pertamanya berperang. Namun aku juga tidak mengira ia bisa begitu ceroboh dengan pedati itu.” Kata Amasu. “Seharusnya dengan ilmu yang dimilikinya ia mampu mengatasi jurang di Ngijo. Dia memiliki aji angin-angin dan tapak banyu. Jurang sedalam itu pasti bukan masalah. Apalagi kalua kulihat lagi di bawah ada Sungai. Dia adalah pengendali air yang baik dan juga jago berenang. Saat kutemukan saja, ia mampu melawan arus banjir yang hebat.” Kata Jentra lagi “Kecuali dia memang ingin menghilang.” Kata Amasu “Apa maksudmu?” Jentra mengernyitkan dahinya. Kasihnya yang besar pada Rukma, menolak untuk berpikir yang buruk pada anak itu. Apalagi selama ini bahkan Rukma selalu melindunginya dari banyak hal terutama dari kegenitan Sriti. “Bukankah kau bilang bahwa Rukma sebenarnya gamang dengan peperangan ini. Wiku Sasodara-pun sangat marah mendengar s