”Siapa, Bunga? katakan!” Aini makin penasaran dan terus mendesak Bunga.
“Bunga sendiri, Tante,” Jawab Bunga lirih. Dan semakin menundukkan kepala lebih dalam.
“Apa?!” jawab Martha dan Aini berbarengan.
“Kamu jangan bercanda, Bunga. Tante enggak suka!” ucap Aini.
“Bunga serius, Tante. hanya dengan cara ini Bunga bisa membalas budi kepada keluarga Tante. “ Bunga memberanikan diri menatap wanita yang sangat dihormatinya. Seorang wanita yang berhati mulia tapi mendapat cobaan yang sangat berat.
“Tidak, Bunga. Tante tidak setuju! Kamu masih muda. Tante tidak akan membiarkan kamu terkungkung dalam ikatan ini. Lagi pula Kami tidak pernah mengharapkan balasan apapun dari kamu, sayang, Tante ikhlas.”
“Justru karena Bunga masih muda dengan harapan berhasil lebih besar. Bunga juga ikhlas Tante. Masa depan Bunga bisa drajut kembali setelah tugas selesai.” Bunga menggenggam jemari Aini dan mencoba meyakinkannya.
“Cukup Bunga! Tante tidak mau merusak masa depan kamu. Kamu masih gadis. Kalau kamu mau bantu Tante, tolong bantu mencari wanita yang sudah pernah menikah, karena tugasnya hamil dan melahirkan. Proses pengecekan sel telurnya juga nanti dimasukan alat dari bawah. Kamu masih perawan Bunga, enggak mungkin kamu melalui itu semua.” Aini menjelaskan panjang lebar.
“Bunga mohon, Tante. Tolong ijinkan Bunga. Bunga siap menghadapi konsekuensi apapun.” Gadis itu berlutut di hadapan Aini dan menggenggam wanita baik yang sudah Ia anggap seperti ibunya sendiri.
“Bunga ....”
“Tante. cobalah berfikir. Kalau kita cari wanita di luar sana yang mau dibayar, resikonya Dia bisa mencintai suami Tante ataupun sebaliknya. Setidaknya Bunga tidak akan pernah menghianati Tante. Tolong fikirkan ini kembali Tante.” Bunga terus berusaha membujuk Aini.
“Bunga benar, Aini. Penghianatan bisa saja terjadi. Kita tidak bisa mengontrol secara intensif orang yang belum pernah kita kenal. Belum lagi keturunannya. Jarang wanita baik-baik yang mau dibayar. Ingat, yang diambil itu sel telur Dia, bukan kamu, Aini. Kalau Bunga, sudah jelas dari keluarga yang baik.“ Martha mencoba meyakinkan Aini.
“Jadi Kak Martha setuju, kalau Bunga akan menjadi madu kita?” tanya Aini penuh keraguan. Bagaimana mungkin gadis yang sudah dianggap sebagai anak sendiri harus menjadi madunya.
“Kakak setuju, “ ucap Martha dengan mantap dan menggenggam jemari Aini.
“Tapi kak, kita harus perlakukan Bunga sama seperti kita. Dia juga punya hak dan kewajiban atas Mas Erlangga sebagai suaminya, termasuk berbagi malam.”
Bunga terkejut saat mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Aini. Kenapa berbeda dengan apa yang tadi didengarnya.
“Maaf, Tante. Bukannya Tante tadi bilang tidak untuk ‘tidur’ kan? Hanya untuk program saja?” Keraguan mulai menyelimuti hatinya. Bagaimana mungkin Ia harus satu kamar dengan lelaki yang sangat membencinya.
“Benar Bunga. Tapi selama kamu jadi istri Mas Erlangga, kamu juga punya hak dan kewajiban yang sama. Kamu juga akan mendapatkan nafkah dan berkewjiban untuk mempersiapkan keperluan Mas Erlangga. Apa kamu siap?” Aini menatap tajam ke arah Bunga. Dia ingin mendapatkan jawaban segera. Aini sendiri masih ragu dengan keputusan gadis itu. Siapa tahu dia hanya terpaksa karena ingin membalas jasa, bukan dari hati yang tulus.
“Bunga siap, Tante. Yang penting enggak ‘tidur’ aja.”
Aini tersenyum. Rona bahagia terlukis pada wajahnya yang polos.
“Baiklah Bunga, Tante setuju. Terima Kasih sayang, kamu mau berkorban untuk kebahagiaan kami. Walau kalian nantinya akan tidur satu kamar, Tante jamin takkan terjadi apa-apa denganmu.” Aini memeluk Bunga. Tanpa terasa buliran bening mengalir dari kelopak matanya yang indah.
Martha juga memeluk Aini dan Bunga. Mereka saling bertangisan. Secercah asa yang pernah hilang kini hadir kembali. Guratan bahagia tergambar indah di wajah Aini. Kebahagiaan suami yang sangat Ia cintai adalah tujuan hidupnya. Suami yang begitu bertanggung jawab, baik hati dan kesetiaannya lah yang membuat Aini sangat mencintainya. Selama Ia menikah belum pernah suaminya berpaling ke lain hati walaupun madunya lebih cantik dari dirinya, tetapi cinta suaminya tidak terbagi. Dan Aini sangat percaya akan hal itu.
Ting tong
Suara Bel pintu berbunyi. ketiga wanita itu saling melepas pelukan. Aini dengan penuh semangat menyambut kedatangan suaminya. Senyumnya mengembang begitu manis tak seperti biasanya.
“Wajah Kamu cerah sekali. Apa kamu baru dapat lotre?!” canda Erlangga terkesan garing ketika melihat wajah Aini begitu gembira.
“Bisa aja kamu, Mas, aku ada berita baik untuk kamu.” jawab Aini dan menggandeng lengan suaminya mesra. Mereka melangkah beriringan menuju ruang tamu.
Martha duduk di samping Bunga. Ia tidak menyambut kedatangan suaminya bukan karena tak berbakti, tetapi Ia memberi ruang untuk Aini.
Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu saat Erlangga mencium keningnya, Martha berusaha untuk menarik diri saat Aini bersama suaminya. Kecupan Erlangga cukup membuat dirinya bahagia dan menandakan suaminya adalah orang yang baik dan berusaha seadil mungkin terhadap istrinya. Tidak mudah bagi seorang lelaki berpoligami hanya dengan memiliki satu hati untuk cintanya.
“Kamu duduk dulu Mas. Ada sesuatu yang mau kami bicarakan.” Aini menuntun suaminya duduk di hadapan Martha dan Bunga. Aini lalu menghempaskan tubuhnya di samping suami tercinta.
“Kami?!” Erlangga mengernyitkan keningnya tak mengerti dengan kata ‘kami.’
“Iya. Kami,” jawab Aini dengan bahagia.
Erlangga menatap ke arah Martha dan Bunga bergantian. Kenapa Bunga juga ada di sini. Apa mungkin gadis itu juga bagian dari ‘kami.’ Mungkinkah ada hubungannya dengan peristiwa tadi pagi Apa mungkin gadis itu sudah cerita semua kepada kedua istrinya. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam otaknya.
“Begini,Mas. Kami tadi sedang membicarakan tentang program bayi tabung. Itu artinya kamu harus menikah lagi secara resmi. Karena hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah. Dan kami sudah menemukan calon istri untuk kamu, Mas.”
“Aini! jangan bicarakan hal ini di depan orang lain! ini masalah keluarga. Bikin malu saja!” Erlangga beranjak dari tempat duduknya dengan kesal bercampur rasa malu karena ada orang lain diantara mereka. Namun Aini mencegahnya dan memaksa suaminya untuk duduk kembali.
“Bunga bukan orang lain, karena Ia akan menjadi bagian dari kelurga kita!” Aini berbicara dengan tegas.
“Maksud kamu apa sih? kamu mau mengangkat Bunga jadi anak kamu? atau mau menjadikan gadis itu menantumu? kamu lupa, kita enggak punya anak laki-laki!” seru Erlangga dengan kesal.
“Tapi suamiku laki-laki dan aku akan menjadikan Dia maduku!” jawab Aini dengan cepat. Dia tak mau membuang waktu percuma. Semua harus dibicarakan saat ini juga.
Erlangga sangat terkejut mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh istri pertamanya. Bola matanya membulat sempurna. Mulutnya juga menganga lebar. Sama sekali tak terpikirkan. Keputusan istrinya secara sepihak membuat pria itu murka.
“Aini! jangan melampaui batas! jangan uji kesabaranku! aku suamimu, bukan budak yang bisa kamu atur sesuka hatimu! kalau kamu sudah tidak mencintaiku, bilang! aku bisa mencari wanita di luar sana sesukaku!” Erlngga menggebrak meja dan beranjak dari tempatnya semula. Sorot matanya begitu tajam menatap Aini.
“Justru karena aku mencintai kamu. aku ingin kamu bahagia dan punya anak dari benih kamu, Mas. Berkali-kali aku sudah membicarakan ini.” Aini juga berdiri dan balas menatap tajam suaminya.“Aku tidak mau! punya istri dua saja Aku belum bisa bertindak adil kepada Martha. Aku banyak dosa padanya! dan itu menjadikan aku beban di dunia dan akhirat! mikir enggak sih kamu! belum lagi perkataan orang lain di luar sana, mereka akan menganggap aku lelaki hidung belang yang doyan main perempuan! asal kamu tahu, biarpun aku tidak pernah mendapat kepuasan bathin dari kamu tapi aku tidak pernah jajan sekalipun, aku setia Aini!” Erlngga berteriak di depan wajah Aini persis. Ia menumpahkan segala kekesalannya kepada istri tercintnya itu.“Aku tahu Mas. maka dari itu aku ingin kamu bahagia dengan menikahi Bunga untuk menjalankan program bayi tabung. Itu saja, bukan untuk menyuruhmu ‘tidur’ dengannya!” Aini menyentuh lengan suaminya untuk melembutkan hatinya. Namun Erlangga menepisnya dengan kasar.“B
“Kamu mikir apa sih?” Erlangga membuang muka. Ia tidak ingin istrinya tahu perubahan wajahnya.Erlangga memegang kedua bahu Martha dan menatapnya tajam.“Martha, tolong bantu aku untuk berbicara kepada Aini. Aku tidak menginginkan pernikahan ini terjadi. Lupakan keinginan untuk mempunyai anak kandung. Aku sudah punya Adelia dan Ratih, mereka anak-anakku.”Martha menatap kedua bola mata suaminya. Sulit bagi Martha untuk mengartikannya. Nalurinya mengatakan ada yang berbeda antara ucapan dan tatapan mata yang penuh keraguan.“Martha, Kamu dengar ucapanku?” Erlangga mengguncang bahu istri keduanya.Pertanyaan suaminya membuat Martha terkejut hingga membuyarkan semua lamunannya. “Iya, aku bantu.” Martha tersenyum sembari mengerjapkan matanya.“Terima Kasih, Martha.” Erlangga memeluk Martha begitu erat. Ada sedikit ringan di dadanya sekaligus kepedihan di hatinya. Ia akan kehilangan permata itu untuk selamanya.Martha tak menyangka suaminya akan memeluknya seerat ini. Ini adalah pelukan per
Pintu terbuka dari dalam. Bunga muncul dari balik pintu mengenakan daster tanpa lengan setinggi lutut. Ia terkejut melihat kedatangan Aini.Sementara itu, Erlangga bersandar pada dinding hingga luput dari pandangan Bunga.“Tante?!”“Iya, Sayang. Apa kabar?” Aini memeluk Bunga begitu erat.Erlangga menahan nafas dan dadanya kembang kempis. Entah kenapa dadanya terasa bergemuruh. Pria itu melihat Bunga secantik bidadari. Tubuh sexy dengan balutan daster berbelahan pendek di bagian dada dan punggung membuat pria matang itu meneguk saliva. Kulitnya yang putih mulus begitu menggoda.Ada geletar aneh dan dentuman dahsyat dari hasrat lelakinya. Pria itu memalingkan wajah untuk mengurangi hasrat yang tiba-tiba saja datang dan menekan dada.Tanpa sengaja Bunga mengarahkan pandangannya ke arah Erlangga. Gadis itu tak menyangka pria menyebalkan itu juga ada di rumahnya.”Pak Er?!” Bunga sangat terkejut. Ia masih sangat kesal mengingat penghinaan pria itu semalam. Bunga melepas pelukan Aini dan h
“Bunga.” Aini menyentuh pipi Bunga dengan lembut.“I...iya Tante. Bunga mau, tapi demi Tante!“ jawab Bunga dengan gugup. Gadis itu memainkan jemarinya sebagai tanda dia sedang gelisah. Ada penyesalan saat menjawab pertanyaan tanpa berpikir terlebih dahulu. Namun nasi sudah menjadi bubur. Apa yang terucap takkan bisa ditarik kembali.“Terima Kasih, Bunga!” Aini memeluk Bunga dengan erat. Matanya berkaca-kaca. Perasaan sedih dan bahagia bercampur menjadi satu.Wanita mana yang takkan sedih bila harus merelakan sang suami menikah lagi dan akan mempunyai anak dari wanita lain. Namun Aini harus menguatkan diri karena hal itu juga demi keutuhan rumah tangganya.“Sama-sama, Tante.” Bunga membalas pelukan Aini. Rasa sesal sedikit terurai saat melihat wajah wanita yang sudah dianggap sebagai ibunya itu bersinar bahagia.Erlangga tersenyum bahagia dan merasa seperti baru saja memenangkan sebuah proyek besar. Tapi bukan Erlangga namanya kalau tidak pandai menutupi perasaan dengan kemarahan. Egon
Siang hari yang begitu cerah Aini dan Martha mendatangi rumah Bunga dengan tujuan untuk melamar Bunga sebagai istri ketiga suaminya. Semula kedua orang tua Bunga menolak lamaran itu.Pada dasarnya tidak ada orang tua yang rela putrinya menjadi istri kedua ataupun ketiga. Begitu juga dengan orang tua Bunga. Mereka tidak mau mengorbankan kebahagiaan anaknya hanya untuk balas jasa.Namun Aini berusaha menjelaskan semuanya, bahwa pernikahan Bunga dan suaminya hanya untuk menjalani program Bayi tabung saja, bukan untuk tidur dengan suaminya. Aini yang menjamin kalau suaminya tidak akan menyentuh Bunga. Bunga akan tetap virgin hingga tugasnya selesai.Dengan susah payah Aini membujuk kedua orangtua Bunga. Ia berusaha meyakinkan keduanya untuk menerima pinangan suaminya.Bunga juga berusaha meyakinkan kedua orangtuanya yang masih diselimuti oleh keraguan. Keinginannya hanya untuk membalas kebaikan keluarga yang telah banyak membantu kehidupannya dan keluarga.Dengan berat hati dan berlinang
“Mas Erlangga enggak salah Mah. Pah! Semua ini kemauan Aini. Bunga menikah dengan Mas Erlangga hanya untuk melaksanakan program bayi tabung saja, supaya Mas Erlangga mempunyai anak kandung. Cucu dari keturunan Hadi Wijaya sebagai generasi penerus. Aini melakukan semua ini karena untuk kebahagiaan Mamah dan Papah. Aini terpaksa melakukan karena sudah gak punya rahim, Mah!” ucap Aini dengan pilu. Buliran bening mulai berguguran dan saling berdesakan.Nyonya Irma memeluk menantunya dengan penuh kasih sayang. “Aini. Kamu tidak perlu berkorban sejauh itu. Kami sudah menganggap Adel dan Ratih seperti cucu kami sendiri.”“Siapa yang mencari calon madumu, Aini? apa Erlangga sendiri?” Hadi wijaya bertanya penuh selidik. Ia melihat gelagat putranya yang aneh.Cara putranya menatap ke arah calon menantunya seperti pria yang sedang jatuh cinta. Matanya berbinar saat menatap Bunga. Tak ada wajah kesedihan seperti saat Aini menyuruh putranya menikahi Martha.“Aku juga lelaki, Nak. Aku tahu kamu sed
"Kamu Aisyah Kan? sopir angkot yang menolongku waktu itu?” Kata Ilham dengan wajah berbinar.“Mm-mm. Bunga menundukkan kepala. Ia tidak mengira akan bertemu kembali dengan pria tampan yang sempat ditolong beberapa waktu lalu. Pria yang membuat jantungnya berdebar saat mendengar tutur katanya yang lemah lembut dan sangat menghargai wanita.Bunga terlihat sangat gugup dan jemarinya saling meremas. Dia mengira tak akan bertemu pria ini makanya memperkenalkan diri sebagai Aisyah.“Aisyah siapa?! Dia itu Bunga! kamu kenal Dia di mana?” Erlangga menjawab dengan ketus. Ada sedikit bara dalam dadanya hingga terasa panas. Rasa cemburu mulai menyelimuti hatinya.Erlangga menatap Bunga yang terlihat begitu gelisah dan membuat dirinya gerah.“Waktu Ilham mau dirampok, Aisyah yang bantu Ilham. Ilham juga belum sempat berterima kasih. Alhamdulilah kita bisa bertemu disini. Alloh pasti sudah mengatur semuanya. Dan mudah-mudahan saja silaturahim ini berlanjut dengan ridho dariNYA.” ucap Ilham pasti.
“Tidak, Tante. Bunga tidak akan mundur dan siap siap untuk menikah.” Bunga mencoba menghapus airmatanya.“Terima Kasih, Sayang.” Aini memeluk Bunga dengan erat. Ada sesak yang mendesak dadanya. Ia tahu Bunga sangat berat menjalaninya. Namun gadis itu tetap tak mau mundur demi dirinya.Tanpa menunggu waktu lama, Aini membawa pengantin cantik itu keluar kamar.Mata Erlangga terbelalak. Ia begitu mengagumi kecantikan calon istrinya dengan balutan kebaya berwarna putih yang melekat di tubuhnya. Kulit wajahnya yang bersih putih tak memerlukan riasan yang tebal.Bunga begitu mempesona. Erlangga benar-benar tidak sabar untuk segera mengikrarkan janji suci.Calon mempelai wanita duduk di samping calon pengantin pria sembari menundukkan kepala. Tak ada rona bahagia di wajahnya.Bunga memang tidak bahagia dengan pernikahan ini. Tapi dia menyadari tak ada paksaan terhadap dirinya. Dia sendiri yang sudah mengambil keputusan terberat dalam hidupnya.Penghulu sudah siap untuk menikahkan kedua mempe