Aini menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dan menutup mulutnya dengan bantal. Buliran bening membasahi pipinya. Sakit sekali rasanya. Terasa ada luka dalam dadanya. Walau berusaha untuk ikhlas tapi tetap saja sangat sulit menjalaninya. Mencoba mematikan rasa cinta juga tak semudah membalik telapak tangan. Pernikahan yang di jalani hampir separuh dari usianya. Tak mudah untuk melupakan kenangan indah begitu saja. Rasanya jijik kalau tubuh ini harus tersentuh oleh pria yang pernah merendahkan harga dirinya. Tangisan Aini semakin keras dan diapun berusaha untuk meredamnya.Terdengar pintu di buka dari luar. Aini buru-buru menghapus airmatanya dan berpura-oura tidur. Dia tahu pasti suaminya yang mendatanginya. Rasa kesal dalam hati masih belum bisa terlupakan. Seandainya bisa memilih, Aini tak mau kembali bersama suaminya. Namun rasa tanggung jawabnya sebagai orang yang telah menghancurkan rumah tangganya sendiri, Aini memilih untuk bertahan walau tak mudah. Ia akan mencoba memperbaiki s
"Cukup Aini!"Braaakkkk!! Erlangga Wijaya membanting surat kabar yang berada di tangan. Pria berkacamata itu bangkit dan menatap tajam ke arah istrinya."Apa sih mau kamu sebenarnya?!" Aini menundukkan kepala. Ia tahu suaminya benar-benar marah mendengar permintaannya kali ini."A-aku hanya ingin kamu bahagia, Mas, " jawab Aini ketakutan."Bahagia kamu bilang?! dengan menyuruhku menikah lagi?! apa akal kamu masih waras? apa masih kurang dengan aku menikahi kakak angkat kamu yang sakit itu? permintaan gila kamu sudah aku turuti! saat keluargamu jatuh, aku juga membantu mereka! apa kurangnya aku Aini, apa?" Erlangga marah besar. Pria tampan berkacamata itu tak mengerti dengan jalan pikiran istrinya."Justru karena kamu terlalu baik, aku ingin kamu bahagia. Kamu tahu ‘kan rahimku sudah diangkat karena kanker. Aku tidak bisa mengandung, Mas. Dua puluh tahun kita sudah menikah. Aku tidak mungkin memberikan kamu keturunan," jawab Aini dengan pilu, disela isak tangisnya."Tapi kita sudah pu
Aini dan Erlangga masuk ke ruang praktik dokter kandungan. Dr. Elsa Siregar Sp.OG, sesuai dengan nama yang tertera di papan nama yang ada di meja. Dokter cantik berhijab itu tersenyum manis kepada Aini dan Erlangga yang duduk di hadapannya."Ada yang bisa saya bantu? " tanya dokter ramah itu."Begini dok. Saya ... mau tanya tentang ... surrogasy," Tanya Aini sedikit terbata. Ia terlihat gugup dan memilin ujung jilbabnya."Baik bu, akan saya jelaskan tentang surrogate mother atau sewa rahim atau lebih dikenal dengan ibu pengganti, adalah seorang wanita yang disewa rahimnya dengan perjanjian tertentu. Ia bertugas untuk mengandung, melahirkan dan menyerahkan bayi kembali kepada keluarga yang menyewanya. Pembuahan terjadi memakai metode InVitro Fertilization atau lebih dikenal dengan program bayi tabung. Akan tetapi di indonesia surrogate mother di larang keras. Karena bertentangan dengan etika dan norma. Pelakunya bisa dipidanakan."Penjelasan dari dokter, membuat wajah Aini berubah mas
Sajian lengkap sudah tersedia di masing-masing piring yang ada di meja makan. Erlangga selalu membiasakan keluarga untuk berdisiplin dan menghargai waktu. Karena baginya orang yang tidak disiplin dan tidak bisa menghargai waktu sama saja tidak menghargai diri sendiri dan juga orang lain.Begitu juga dengan jam makan. Di waktu yang telah ditentukan mereka harus berkumpul di meja makan. Tidak ada yang harus menunggu lama ataupun tidak sarapan karena kesiangan. Semua harus pandai memanage waktu sendiri,Masing-masing sandwich dan segelas susu sudah berpindah ke dalam perut mereka. Adelia dan Ratih berpamitan untuk berangkat kuliah. Mereka mencium tangan Ayah dan kedua ibu mereka,Erlangga berdiri dan menenteng tas kerjanya. "Ayo, aku antar ke mobil, Mas!" Aini mengambil tas yang ada di tangan Erlangga.Erlangga melirik ke arah Martha yang sedang sibuk membereskan meja makan di bantu oleh asisten rumah tangga yang sudah bekerja selama lima belas tahun.Erlangga teringat ucapan Martha sem
Brakk..suara pintu di buka dengan kasar.“Mamah tunggu!“ suara Adelia mengejutkan kedua orangtuanya. Gadis itu berlari menaiki anak tangga dengan cepat. Dadanya naik turun tak beraturan.Erlangga menurunkan tubuh Aini dari gendongannya.“Ganggu orang tua aja!“ Erlangga menggerutu.“Ada apa, Sayang?“ Aini menyentuh wajah putrinya.“Mamah, tolongin Bunga!“ Adelia menggandeng tangan Aini.“Iya. Tapi ada apa, Sayang? cerita sama Mamah!““Ayo, Mah! Cepetan! Nanti ceritanya di Mobil. Papah juga ikut!“ Adelia menarik lengan kedua orang tuanya.“Papah baru pulang kerja Adel. Cape!” Erlangga berusaha menolak ajakan putrinya.“Sebentar doang, Pah! “Walau kesal, Erlangga terpaksa mengikuti kemauan putrinya. Namun Aini mencoba untuk menenangkan suaminya. Dia yakin pasti ada sesuatu yang serius yang menimpa sahabat putrinya.Sopir pribadi juga sudah siap mengantar mereka. Mobilpun segera meluncur ke lokasi.****Mobil berhenti di depan rumah sederhana bernuansa betawi. Terlihat Bunga yang sedang
Bunga bermalam di kamar Adelia dan berbaring di samping sahabatnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi matanya belum mampu terpejam. Dia terlihat begitu gelisah.Ucapan ayah sahabatnya itu masih terngiang jelas di telinganya. Ucapan yang sangat menusuk dan membuat hatinya hancur. Namun semua ucapan Pak Er memang benar. Tidak seharusnya Ia merepotkan orang lain karena perbuatannya sendiri.Namun tidak semuanya benar. Bunga dan keluarganya tidak menggunakan uang itu untuk berfoya-foya, melainkan untuk membiayai pengobatan ayahnya yang menjadi korban tabrak lari oleh pengendara sepeda motor. Ayahnya mengalami retak di bagian tulang rusuknya yang menyebabkan ayahnya harus berada di kursi roda sementara ini hingga kesembuhannya.Bunga menatap langit-langit kamar dan kembali memikirkan perkataan pria yang biasa Ia sebut dengan panggilan Pak Er. Kalau saja mau menerima si Boss gila yang sudah mempunyai istri empat dan entah berapa simpanan yang tak terhitung itu, mungkin saja
Hari masih pagi, sang mentari menyembunyikan sinar hangatnya. Suasana dapur sudah ramai. Terdengar ada sedikit keributan. Suara Aini berbicara dengan nada tinggi membuat Erlangga risih mendengarnya.Erlangga mengenakan kaos dan celana olahraga, siap untuk jogging yang sudah menjadi rutinitasnya disetiap pagi. Pria berkacamata itu menghampiri dapur untuk melihat apa yang terjadi.“Ada apa sih ribut-ribut?““Ini Mas. Bunga mau pamit pulang. Tapi aku khawatir kalau preman-preman itu datang lagi.“ Aini berusaha menjelaskan kepada suaminya.“Kenapa kamu yang repot?! Kalau dia mau pulang, pulang saja. Ngapain ditahan-tahan! Dia punya otak yang bisa digunakan untuk berfikir! “ ujar Erlangga berpura-pura cuek. Padahal jauh dalam hatinya tak ingin gadis itu pergi dari rumahnya.Bunga terdiam, Ia mencoba mencerna perkataan pria itu. Walaupun terkesan kasar, setiap kata yang terlontar dari mulut sadisnya penuh makna.Bunga mencoba mengulang memory di otak tentang kejadian semalam. Keberuntungan
Bunga tersadar dan menatap langit-langit kamar dan juga sekelilingnya. Pandangannya kabur. Namun perlahan dapat melihat jelas orang di sekelilingnya. Adik lelaki dan ibunya duduk di tepi ranjang sambil memijit kakinya. Ayahnya duduk di kursi roda, Aini dan juga Martha duduk di kursi dan memegang lengannya seraya menguntai senyum manis penuh ketulusan.“Kenapa Bunga ada di sini, Tante? bukan kah tadi Bunga ....”“Bunga. Kamu tadi pinsan di jalan dan ada orang yang mengantar kamu kesini.”Aini membelai rambut Bunga dengan lembut.Bunga membisu. Ia tidak melihat Pak Er ada di sini. Bunga ingat betul tadi dirinya yang mengantar ke rumah Suryo. Bagaimana nasib beliau kini. Apakah beliau mengalami kesulitan.Bunga tidak bisa tinggal diam dan harus melakukan sesuatu. Ia tidak mau gara-gara menolong dirinya, Pak Er jadi celaka. Bunga beranjak dari tempat tidur dan semua orang menahannya.“Bunga. Kamu mau kemana? istirahatlah dulu.” Martha berusaha mencegahnya.“Tidak, Tante, Bunga harus menolo