Share

9. KEMARAHAN ERLANGGA

“Justru karena aku mencintai kamu. aku ingin kamu bahagia dan punya anak dari benih kamu, Mas. Berkali-kali aku sudah membicarakan ini.” Aini juga berdiri dan balas menatap tajam suaminya.

“Aku tidak mau! punya istri dua saja Aku belum bisa bertindak adil kepada Martha. Aku banyak dosa padanya! dan itu menjadikan aku beban di dunia dan akhirat! mikir enggak sih kamu! belum lagi perkataan orang lain di luar sana, mereka akan menganggap aku lelaki hidung belang yang doyan main perempuan! asal kamu tahu, biarpun aku tidak pernah mendapat kepuasan bathin dari kamu tapi aku tidak pernah jajan sekalipun, aku setia Aini!” Erlngga berteriak di depan wajah Aini persis. Ia menumpahkan segala kekesalannya kepada istri tercintnya itu.

“Aku tahu Mas. maka dari itu aku ingin kamu bahagia dengan menikahi Bunga untuk menjalankan program bayi tabung. Itu saja, bukan untuk menyuruhmu ‘tidur’ dengannya!” Aini menyentuh lengan suaminya untuk melembutkan hatinya. Namun Erlangga menepisnya dengan kasar.

“Bunga itu masih muda dan cantik. Aku juga pria normal. Apa kamu tidak takut kalau Aku terbujuk rayuannya?” Erlangga menatap wajah sitrinya dengan tajam.

“Aku percaya pada kesetiaanmu, Mas.“ Aini menyentuh lengan suaminya tapi Erlangga kembali menepisnya dengan kasar.

“Tapi aku yang tidak percaya kepada diriku sendiri!”

“Maksud kamu apa Mas?”

“Diam kamu Aini! dan kamu Bunga, aku tidak menyangka kebaikan istriku kamu balas dengan racun. Aku tahu kamu pasti sudah merencanakan semua ini! kamu licik sekali!” Erlangga menunjuk Bunga dengan tidak sopan.

Bunga begitu ketakutan dan menyembunyikan wajahnya di balik punggung Martha. Wajah Erlangga berubah seperti monster yang menakutkan. Bunga tidak menyangka kalau pria itu akan semarah ini.

 Martha berusaha melindungi Bunga dan menenangkannya.

“Bunga enggak salah, Mas!”

“Diam kamu Aini! aku sedang berbicara kepada gadis licik ini! Mrtha! menyingkir kamu!”

“Tidak, Erlangga! Bunga tidak bersalah. Dia hanya mau membantu kita!” Martha mencoba melindungi Bunga dari kemarahan suaminya.

“Martha menyingkir!” Erlangga menarik lengan Martha yang terus berusaha melindungi Bunga. Namun Martha tak mampu menahan lengan kekar Erlngga yang menariknya dengan kasar

.“Kamu benar-benar menjijikan. Demi uang kamu rela mengorbankan masa depan dan harga dirimu tanpa memikirkan keluargamu! aku salah menilaimu! Aku pikir kamu gadis baik-baik yang membutuhkan pertolonganku! kalau tahu begini, mending gak usah nolongin Kamu!  Aku tanya sama kamu, kenapa kamu lebih memilih menikah dengan Aku dibanding dengan si lintah darat itu, kenapa?!” Emosi Erlangga kian memuncak.

Tubuh Bunga gemetar dan hanya bisa menangis. Pria yang ada di hadapnnya  itu sudah menghina dan menjatuhkan harga dirinya. Keinginan baiknya untuk menolong keluarga ini berbuntut penghinaan seperti ini. Harga dirinya sudah diinjak-injak hingga hancur berkeping-keping.

“Jawab Bunga!!” Teriakan Erlangga menggelegar. Gadis itu merasa gendang telinganya mau pecah.

“Karena ... karena ... se-tidaknya, saya ti ... tidak harus ‘tid ... tidur dengan Pak Er,“ jawab Bunga terbata disela tangisnya.

“Jangan kurang ajar kamu ya. Apa kamu pikir aku ini sudah tidak mampu? kamu pikir Aku Impoten? kamu sudah menghina harga diriku!” Erlangga semakin naik pitam.

“Ti ... tidak Pak ... maksud saya...tidak begitu,” jawab Bunga kemudian.

Aini dan Martha tersenyum. Ucapan Erlangga terasa menggelitik.

Pria itu menatap ke arah Aini dan Martha yang tersenyum seolah menghina dirinya. Erlangga merasa sangat malu mengucapkannya. Karena kesal, Iapun berlalu meninggalkan mereka.

Saat hendak menaiki anak tangga, langkah Erlangga terhenti lalu membalikan badannya.

“Malam ini Aku tidur di mana?!” ucap Erlangga masih diliputi amarah.

“Di kamarku, Erlangga,” jawab Martha.

“Cepat siapkan air hangat!” Erlangga menaiki anak tangga satu persatu.

“Iya!“ Tak perlu menunggu mengulang perintah, Martha segera menyusul suaminya.

“Urusin suami kakak yang manja dan nyebelin!” seru Aini dengan kesal.

Erlangga balik badan dan menatap Aini tajam” Kamu juga menyebalkan Aini!!”

“Sudah Aini, Erlangga! jangan seperti anak kecil! malu kalau anak-anak sampai tahu!” ucap Martha dan segera menarik lengan suaminya untuk masuk ke kamarnya.

Sebelum masuk ke dalam kamar, Erlangga menatap ke arah bawah. Namun tatapannya kali ini tidak ditujukan kepada Aini, tetapi kepada Bunga.

Erlangga bingung dengan keadaan ini. Di satu sisi Ia merasa Tuhan sangat menyayanginya, seandainya saja Ia ditakdirkan berjodoh dengan Bunga. Di sisi lain Erlangga takut melukai hati Aini jika Ia membagi hatinya. Entahlah kepala Erlangga terasa berdenyut dan berat.

****

Erlangga melepas jas hitam yang dipakainya, lalu  melempar dengan kasar ke atas ranjang. Ia duduk di atas ranjang seraya menutup mata dengan kedua tangannya. Gelisah dan gundah melanda hatinya. Bahagia ataukah sedih yang dirasakan. Kemarahan adalah cara Erlangga untuk menutupi perasaan yang sesungguhnya.

Tuhan tengah menguji ataukah  memberi anugerah luar biasa kepadanya. Tanpa harus berusaha dengan susah payah wanita yang selalu mengganggu pikirannya beberapa hari ini datang kepada dirinya dan siap untuk dipersunting olehnya. Sungguh suatu keajaiban.

Namun sayang keadaannya berbeda. Bunga hanya akan menjadi istri di atas kertas tanpa Erlangga punya hak untuk menyentuhnya. Apa sanggup menjalani semua ini. Sulit rasanya bisa menyembunyikan perasaan ini begitu lama. Apalagi Bunga juga akan tinggal satu atap atau bahkan mungkin satu kamar.

Istri ketiganya yang masih ranum dan begitu menggoda hanya akan jadi pajangan saja. Erlangga hanya boleh memandangi dan menelan salivanya sendiri jika hasrat itu datang.

Aaarrgh Erlangga meremas rambutnya.

Martha memungut jas yang tergeletak di ranjang dan diletakkan di tangan kirinya. Martha menatap suaminya, lalu duduk di sampingnya.

“Erlangga. Kalau memang kamu tidak mau, Kami juga tidak akan memaksamu.” Martha mencoba menenangkan hati suaminya.

“Kamu tahu Aini’kan? kalau sudah punya keputusan harus dilaksanakan. Tidak ada kata tidak!”

“Sebenarnya apa yang Aini lakukan itu untuk kebaikan Kamu, Erlangga. Wanita manapun tidak ada yang rela berbagi suami, tapi hati Aini sangat mulia hingga Dia rela dimadu.”

“Itu kebodohan dia yang membuat Aku terjebak dengan semua ini. Aku saja belum bisa membahagiakan Kamu, Martha. Bagaimana dengan Istri Ketigaku nanti. Apa harus bernasib sama sepertimu. Aku tidak mau berdosa, tolonglah mengerti keadaanku!” Erlangga beranjak dari tempat duduknya dan melangkah ke arah jendela. Ia berdiri dan menumpukan kedua sikunya pada daun jendela.

“Kamu tidak harus memikirkan itu Erlangga. Keberadaan Bunga hanya untuk program saja, bukan untuk yang lain.” Martha mendekati suaminya.

“Tapi kenapa harus Bunga, Martha, kenapa?” Suara Erlangga melemah saat menyebut nama Bunga.

“Banyak alasan Erlangga, salah satunya Dia tidak akan menghianati kita dengan tidak berusaha untuk menarik perhatianmu.”

“Tapi, bagaimana kalau aku yang tertarik padanya?” ucap Erlangga lirih. Dia tak sadar jika sudah kelepasan bicara.

Martha terkejut saat mendengar ucapan Erlangga dan sangat menggangu pikirannya.

”Apa Kamu mencintainya, Erlangga?” Martha bertanya penuh selidik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status