LOGINHujan di bulan ini, seolah menari-nari dari atas langit. Gemuruh petir yang sesekali terdengar, bagai denting piano yang mengalunkan sajak duka.
Alma mengusap air mata yang tak sengaja jatuh dari netra sendunya.
Sejauh ini perjalanan takdir membawanya pada muara luka yang seolah tak ada tepiannya.
"Melamun, Nduk? Kenapa nggak dimakan singkongnya?"
Suara tua ibunya menyadarkan Alma dari lamunan yang membanya menari pada pusaran duka hidupnya.
"Nunggu dingin, Bu. Masih panas banget."
Alma berpura meniup singkong rebus itu yang sudah tak menguarkan asapnya.
Sepagi ini ia sudah ada di rumah ibunya. Hatinya gamang meninggalkan rumah besar juragan Darsa setelah apa yang lelaki itu lakukan padanya.
Meski ada sedikit rasa bersalah, sebab pergi tanpa pamit pada Asha. Anak kecil itu sangat dekat dengannya, bahkan nekat memanggilnya bunda.
Oh, panggilan itu yang Alma sangat rindukan pada pernikahannya di masa lalu.
"Kamu sakit, Nduk? Apa pekerjaanmu sangat berat di rumah juragan itu?"
"Sedikit, Bu. Putrinya juragan Darsa tidur di lantai atas, jadi saya sering bolak balik untuk mengambil keperluannya."
Alma kemudian menghirup teh pandan buatan ibunya. Hangat teh itu sedikit melegakan tenggorokannya yang terasa pahit.
"Ibu kira kamu hanya jadi tukang cuci gosok di rumah itu."
"Awalnya begitu bu. Tapi mbak Asha mau saya yang mengurusnya termasuk mengantarnya ke sekolah. Memang gajinya lebih banyak. Jadi saya ambil saja bu."
Alma menghirup lagi teh dalam gelas bertangkai itu. Gelas hadiah sabun colek yang di beli ibunya di warung.
Kemudian ia mencomot dan mengunyah singkong rebus itu yang mulai dingin.
Di benaknya terbayang wajah mungil putri juragan Darsa. Anak itu sangat dekat dengannya.
Rindu juga Alma pada gadis kecil berhidung bangir itu.
"Lalu kamu pulang sepagi ini, apa Asha itu ijinkan?"
"Dia belum bangun tadi, Bu."
'Bahkan belum ada yang bangun tadi.'
Ya, belum ada yang bangun tadi saat Alma meninggalkan rumah besar itu.
Bahkan mentari masih belum menampakkan ufuknya sama sekali saat Alma tertatih mengayuh sepeda tua miliknya meninggalkan rumah besar itu dan pemiliknya yang masih mendengkur setelah menodainya semalam.
"Ya, sudah. Istirahatlah. Ibu akan ke kebun dulu. Sepertinya ada sawi yang bisa dipanen."
Alma menatap punggung ringkih ibunya. Sebak di dadanya bersimbah melihat tubuh kurus wanita yang telah melahirkannya.
Dulu saat masih bersama Dirman, Alma akan rutin mengirim uang bulanan untuk ibunya. Namun sekarang, ia baru mulai bekerja lagi.
Sayangnya, harusnya hari ini ia ambil gaji pertamanya sebagai pengasuh anak sang majikan. Namun, ia memilih pulang sesubuh tadi, membawa luka dan malu dalam hati.
Ia yang di nodai tapi juga merasakan malu. Sebab sentuhan itu juga ia nikmati sedikit.
Alma menatap hujan satu-satu yang turun berlomba menjadi gerimis halus. Kepalanya dipenuhi bayangan juragan Darsa dan putrinya.
Perasaannya terganggu. Hatinya berkecamuk. Ia dilema dengan takdir yang sedang mengombang ambingkan hidupnya.
Setelahnya Alma memilih masuk ke dalam kamar berdipan sederhana itu. Ia pejamkan mata, lalu tertidur dalam dekapan hujan yang kembali gemuruh.
***
Dirumah ibunya sana, Alma sudah tertidur dengan tenang. Hati dan raganya benar-benar lelah dengan apa yang telah dilaluinya.
Sementara di rumah besar juragan Darsa terdengar kepanikan mbok Karti dan suara tangis sang putri. Anak kecil itu mencari Alma. Badannya tiba-tiba terserang demam. Sementara juragan Darsa juga sama paniknya. Saat terbangun tadi, ia tak melihat ada Alma di sampingnya, ia berusaha mencari ke dapur tapi juga sama. Orangnya tak ada.
“Kemana Alma sepagi ini?”
Juragan Darsa bertanya, berpura tenang. Padahal ia pun tahu bila wanita itu pergi pasti karna ulahnya semalam.
Bahkan sepagi tadi, lelaki tinggi besar ini berharap tak ada pekerja lain yang melihatnya keluar dari kamar sang pengasuh putrinya.
“Sepertinya pulang, Juragan. Tadi pagi buta sepulang shalat subuh saya melihatnya naik sepeda ke arah rumah ibunya.”
Pak Samin yang menjawab. Benar, tadi pagi pak Samin melihat Alma dari jauh sedang mengayuh sepeda ke rumah ibunya.
“Apa memang dia libur hari ini?”
Suara berat itu masih memburu tanya. Lelaki ini pun tak tenang dibuatnya. Bagaimana kalau Alma pulang dan memilih tak kembali ke rumah ini. sungguh rasa bersalah benar-benar akan menghantam perasaan lelaki ini.
“Mau bunda Alma, Pa.” rengekan suara serak putrinya semakin menambah kecemasan juragan Darsa.
“Iya, Juragan. Mbak Alma hari ini libur. Ini hari minggu. Tapi sepertinya dia juga sakit, dari kemarin wajahnya terlihat pucat.” Mbok Karti yang kini berbicara. Wanita tua ini bisa merasakan bila ada sesuatu yang terjadi antara majikannya dan Alma.
“Benar kah?” kalau begitu pak Samin tolong ke rumah Alma sekarang. Cek kondisinya dan sampaikan padanya bila Asha juga sakit dan memintanya dan mencarinya.”
“Baik, Juragan!” pak Samin baru akan beranjak, saat Alma menangis menjerit. Gadis kecil itu ingin ikut ke rumah pengasuhnya.
“Mau ikut. Asha mau ke rumah bunda Alma!”
“Asha kamu sakit. Tunggu bunda Alma disini, ya” juragan Darsa berusaha membujuk putrinya.
“Kalau begitu papa yang jemput bunda Alma. Bukan pak Samin!”
Lalu hening sejenak. Pak Samin akhirnya memilih keluar untuk memanaskan mobil Rocky yang biasa juragan Darsa gunakan. Itu mobil tua, tapi body dan mesinnya masih sangat kuat.
Juragan Darsa diam sejenak, ia tak enak hati pada mbok Karti. Bagaimana mungkin dia yang harus menjemput Alma ke rumahnya.
Namun detik kemudian mbok Karti menyadarkan lamunan lelaki ini.
“Maaf juragan. Sepertinya non Asha bukan hanya membutuhkan mbak Alma,”
“Maksudnya, Mbok?”
“Non Asha, butuh mama baru, Juragan!”
**
Bersambung.
“Nggak tahu,” jawabnya pelan. “Mas juga belum tanya,” lanjutnya sambil mengajak Alma duduk di ruang tamu.Tentu saja juragan Darsa berbohong. Ia tahu dan kenal betul calon istri Rahadi.Lelaki ini pernah brutal di masa lalu. Dan Renata menjadi salah satu perempuan yang menjadi korban brutal lelaki ini. Mereka bukan hanya pernah bercinta, tapi juga juragan Darsa pernah melakukan kekerasan pada Renata.Kalau diingat-ingat, lelaki ini juga merasa bersalah.Alma mengangguk, percaya. Ia memeluk lengan suaminya dengan manja sebelum beranjak masuk ke dapur menyusul ibunya dan Asha disana. Tapi dada Juragan Darsa terasa sesak.Tentu saja ia tahu.Ia tahu terlalu baik.Renata—perempuan yang dulu pernah jadi pelampiasan kebrutalannya, perempuan yang bertahun-tahun ia kira sudah hilang dari hidupnya, perempuan yang diam-diam ia anggap sebagai luka yang seharusnya tak pernah kembali.Dan kini… Rahadi, akan menikahinya. Rasanya jodoh ini memang lucu. Seperti dia dan Alma. Bagaimana ia bisa jatuh
"Ngaco!"Rahadi menggertak geram. Ia ingat perempuan pucat ini adalah Sarah. Salah satu spg yang pernah menemani malam-malamnya. Mungkin ada dua atau tiga kali mereka menghabiskan waktu di kamar hotel, lalu setelahnya Rahadi mendengar kabar bila wanita ini sudah menikah. "Aku hamil dan menikah dengan orang lain. Itu anak kamu, Mas!"Rahadi membawa Sarah ke ujung luar minimarket itu, sebab ia tak ingin menjadi perhatian pengunjung yang lainnya. "Sarah, saya ingat kita pernah menghabiskan malam dua atau tiga kali.. Tapi jangan lupa, laki-laki yang mengenalkanmu padaku juga pernah menidurimu berkali-kali.. Jadi, bisa saja anak yang kau kandung itu adalah anak si brengsek itu!""Tapi, Mas, ... ""Sekali lagi kau berani mengatakan kalau saya punya anak denganmu, saya tidak segan-segan melaporkanmu ke polisi!"Rahadi benar-benar tak memberi kesempatan pada Sarah untuk merecoki hidupnya. Melihat tubuh wanita itu semakin kurus dan pucat malah membuat lelaki ini berfikir yang tidak-tidak.
---Renata bersemu malu saat mengingat betapa liarnya ia semalam di atas sofa ini. Bahkan Rahadi sengaja tak pulang, lelaki itu menginap dan mengulang lagi rindu birahi mereka hingga dua kali. Sepagi tadi bahkan keduanya mengulang sekali lagi di atas pembaringan Renata sebelum lelaki itu pamit untuk ke kantor dulu. Renata tersenyum lagi, perasaannya pada juragan Darsa sepertinya memang sudah habis, terkikis dengan hadirnya Rahadi. "Istirahatlah, sore baru mas datang lagi."Begitu ucapan pamit Rahadi tadi sebelum jalan. Kecupan dalam di keningnya yang lelaki itu berikan membuat Renata merasa nyaman. Rasanya ini seperti hidup yang baru setelah kesepian dan lara hati melanda hidupnya. Lalu gerimis halus di luar sana membuat Renata benar-benar memejam mata. Lelah melanda raganya, setelah pertempuran yang membuatnya menjerit bahagia. Senyum tipis bahkan terukir di bibir tak bergincunya hingga netranya memejam. ***Hujan mulai menepi dari musim ini, orang-orang mulai keluar mencari
Tidak menunggu waktu lama, setelah gegas membersihkan diri dan berpakaian lagi, juragan Darsa langsung memanggil mbok Karti agar membantu mengurus Alma yang tadi sempat pingsan. “Kita ke rumah sakit, Sayang.” Sedikit panik lelaki ini, saat istrinya pingsan tadi setelah baru saja ia mencapai puncak gairahnya. Alma sudah siuman, maka rumah sakit daerah di pinggir kota menjadi tempat yang dituju juragan Darsa, dalam perjalanannya tadi, lelaki ini sempat menghubung mertuanya, bila istrinya pingsan. Rasa khawatir jelas tergambar di wajah tegas itu. mungkin ia terlalu brutal. Rasanya setelah menikah hampir tiap malam kebutuhan libidonya ia tuntut. Perawat di UGD tampak sigap menangani Alma, belum apa-apa, juragan Darsa bahkan minta rujukan ke rumah sakit yang lebih bagus dan lebih lengkap fasilitasnya. Seorang dokter berhijab dan berkacatama masuk memeriksa kondisi Alma yang tampak lemah. Setelah diperiksa, dokter itu tersenyum kecil. “Bu Alma… selamat ya. Ibu hamil. Istrinya
Sebelumnya ... ***Sarah begitu percaya diri menemui tamunya kali ini. Ada rasa berdebar yang tak biasa dalam dada. Namun ia yakin tamu terakhirnya malam ini akan menambah pundi-pundi rupiahnya untuk makan dan membeli kebutuhan bayinya. Hatinya miris, diguris sedih. Sebulan ini, ibunya benar-benar tak mencarinya, meski hanya bertanya kabarnya. Pun dengan Lingga.Cinta membara yang pernah hadir di antara mereka, seolah pupus terbakar amarah. Sarah mengakui dirinya salah, tapi kali ini ia benar-benar kecewa juga dendam. Pada Lingga, juga pada ibunya sendiri. Alam selalu adil, meski pada sang pendosa. Bagaimana semesta mengirimkan mbok Pik untuk membantunya menjaga bayinya. Sarah menarik napas panjang, sebelum turun dari taksi online dan menuju motel sederhana menemui tamu terakhirnya malam ini. Gincu merah sudah ia poleskan. Senyum palsu pun siap ia tebarkan. Disinilah dia di kamar yang cukup nyaman dengan pendingin ruangan yang cukup untuk mengurai kegugupannya malam ini. Kam
Riuh celoteh antara Asha dan Alma di depan Tv itu. gerimis halus di luar belum juga enggan beranjak di punghujung bulan ini.Tadi sore mereka tiba dengan banyak oleh-oleh untuk Asha dan untuk ibunya Alma. Setibanya di rumah sesore tadi, Alma menjadi milik putri kecil mereka.“Asha kangen sama bunda,”“Bunda juga kangen, Nak.”Alma tadi menyempatkan diri menelpon ibunya, bila esok pagi baru bisa berkunjung membawakan ole-oleh.Tentu saja bu Darmi tak keberatan, sebab beliau mengerti anaknya harus mendahulukan suami dan keluarganya sekarang.Suara lucu itu mengukir haru di hati Alma. Gegas dipeluknya sang putri lalu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari bibir mungil putrinya.Alma tak pernah membalas rasa sakit yang dulu ia dapatkan dari mantan suaminya. Ia pergi dalam ketabahannya.Lalu ia pun tabah menerima perlakuan juragan Darsa padanya, sebelum lelaki itu memberikan balasan manis untuknya.Kebahagiaan yang dulu Alma impikan, kini hadir dalam celotehan putri sambungn







