MasukGemuruh hujan diluar sana seolah bekerja sama meredam suara kesakitan dan juga kemarahan Alma.
“Sakit, Tuan. Kumohon hentikan!” Jemari Alma bahkan menarik-narik rambut cepak lelaki tinggi besar ini, namun juragan Darsa kadung birahi. Sentuhan alkohol dalam darahnya membuatnya tak mampu membendung libido birahinya yang terlanjur terbakar. “Enak, Alma.” Lelaki ini merasakan nikmat luar biasa. Ia tahu saja Alma seorang janda, namun gerakannya di bawah sana sempat kesulitan sebelum batang besarnya benar-benar tenggelam dalam palung basah milik Alma. Juragan Darsa terus bergerak. Gerakan pinggulnya yang cukup brutal menggambarkan bagaimana Alma tak mampu melawan kungkungan dahsyat lelaki ini. Dingin yang membias dari ventilasi jendela kamar itu, seolah tak mampu meredam panasnya gairah terlarang yang juragan Darsa berikan pada Alma. Sakit dan perih itu memang ada, tapi nikmat seks itu juga perlahan Alma rasakan. Ini sungguh jauh berbeda dengan pernikahan pertamanya bersama Dirman. Hampir saja ia terlena dengan nikmat terlarang ini. bahkan kedua tungkainya terangkat dan saling mengait sebentar di atas punggung juragan Darsa, Ketika lidah lelaki itu bermain liar di atas tubuhnya. “Hentikan, Tuan!” Alma sangat berharap bila Asha terbangun dan mengetuk pintu kamarnya, namun sepertinya sia-sia. Anak itu terlalu nyenyak. Dinginnya hawa yang menguar dari luar membuat Asha seolah memberikan kesempatan pada ayahnya untuk mendapatkan pengasuhnya malam ini. Namun semua harapan Alma hanya sia-sia saja. Juragan Darsa telah menguasainya. Apa yang bisa Alma lakukan selain berusaha memberontak. Meski pada akhirnya semua itu sia-sia saja. Sebab hujan di luar dan hunjaman juragan Darsa di tubuhnya telah membawanya pada tepian hasrat yang dirasanya sungguh memalukan. Ia telah dinodai secara paksa, namun Alma juga basah pada akhirnya. “Tidaaakkk!” Lalu semuanya usai setelah lelaki bermata tajam itu menumpahkan cairan cintanya di taman yang Alma jaga selama ini. taman yang gersang cukup lama. Alma basah dan tanpa pengaman! *** Pada akhirnya Lingga dan Alma memang harus berjalan di atas takdir mereka masing-masing. Kebaikan dan keburukan telah diukirkan karmanya, dan sekarang semua berjalan sesuai apa yang sudah dituliskan oleh semesta. “Mana buah anggurnya, Mas?” Suara Sarah meninggi, saat melihat Lingga pulang dari pekerjaannya sore itu tanpa membawa buah yang diinginkannya sejak semalam. Usia kandungannya sudah memasuki tujuh bulan, pernikahan siri pun telah keduanya gelar secara tertutup. Orang tua Lingga tentu saja tak datang. Tak ada restu dari keluarga keduanya, sebab ini hanya pernikahan untuk menutup aib yang telah Sarah dan Lingga lakukan. “Jalanilah pilihan hidupmu, tapi jangan pernah kau bawa wanita murahan itu ke rumah ini. dia tak pernah jadi menantu ibu!” Kemaraha bu Wulan pada putranya sore itu sungguh tak terbendung. Beliau sangat kecewa atas apa yang telah Lingga lakukan pada Alma. Berkali-kali bu Wulan coba menghubungi nomor mantan menantunya itu, tapi sepertinya Alma memang menutup jalan komunikasi, sebagai bentuk rasa sakit hatinya. “Sabar dulu, Sar, aku belum gajian.” Hujan di luar sana masih bergemuruh lebat, bahkan pakaian Lingga yang basah tak juga membuat Sarah beranjak dari duduknya untuk mengambilkan handuk. Sungguh jauh berbeda dengan perlakuan Alma dulu. Barulah sekarang rasa penyesalan itu hadir mengintip tipis-tipis di benak Lingga. Sebagaimana ia teganya pada Alma, tapi wanita sabar itu akan tetap melayaninya tanpa keluhan, termasuk saat uang bulanan yang ia berikan selalu pas-pasan. “Belum gajian terus, aku ini hamil anak kamu lho, Mas. Ngerti dong. Kamu kalau merasa gajinya kurang, cari tambahan dong. Kamu kan, bisa ngojek kalau pulang kerja!” Dengan mulut penuh roti, Sarah tak henti mengoceh dan mengomeli kekurangan dalam rumah tangga mereka yang baru beberapa bulan ini dibina. Lingga memijit pelipisnya. Ia telah. Hatinya diguncang amarah, tapi lelaki tinggi ini tak mampu mengeluarkannya. Bahkan baru beberapa bulan saja menikah dengan selingkuhannya ini, Lingga tampak jauh lebih kurus. Bukan hanya bobot fisiknya yang merosot tapi juga performa kerjanya. Beberapa kali teguran bahkan ia terima langsung dari supervisor sales sebab melihat kinerjanya yang makin buruk. Sudah dua bulan ini target penjualan di distributor tempatnya bekerja tak tercapai. “Kalau bulan ini penjualan sirup kita tidak tercapai lagi, mohon maaf pak Lingga, jabatan anda harus kami turunkan jadi sales biasa.” Ucapan pak Rudi siang tadi sungguh semakin menambah mumet pikiran Lingga. Entah mengapa, semakin hari rasanya orderan semakin sepi. Bahkan ia sudah menjalankan dua sales kanvas, tapi target penjualan tetap saja masih di bawah target yang ditentukan. Belum lagi tuntutan Sarah yang seolah tak ada habisnya, dan bertambah beratlah beban hidup Lingga ketika wanita yang telah ia hamili saat masih menjadi suami Alma, mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai sales perumahan. Alasan malu karna hamil di luar nikah membuatnya berhenti bekerja dan hanya menuntut semuanya pada Lingga. “Sabar, Sarah.” “Sabar sabar sabar! Itu aja yang kamu bilang terus. Pantes aja mantan kamu itu langsung pergi setelah kamu talak. Mungkin juga Alma itu muak dengan kemiskinan kamu ini, Mas!” Sarah meraung marah lalu masuk ke dalam kamar dan membanting pintu berpelitur coklat itu sebelum kemudian menguncinya dari dalam meninggalkan Lingga dengan rasa muak dan lelahnya di luar sana. Alma, Ah, ia tiba-tiba mengingat mantan istrinya itu. Semua kenangan dengan Alma berputar di kepalanya. Bahkan saat ia dengan pongahnya membawa Sarah ke dalam rumah tangga mereka, mengingat bagaimana wajah terluka Alma tetap tenang lalu pergi menghilang sesuai keinginannya. Lingga mengingat semua kenangan tentang Alma. Senyumnya yang tenang. Tangan mungilnya yang selalu menyambut dengan segelas teh hangat saat ia pulang, meski dompetnya kosong. Alma tak pernah marah. Tak pernah menuntut. Mantan istrinya itu adalah rumah yang sekarang telah ia bakar sendiri dengan perzinahan dan pengkhianatan. ‘Ini karma,’ batinnya lirih. Dulu ia tinggalkan wanita yang tulus demi syahwat sesaat. Kini ia terjebak bersama wanita yang hanya bisa mencaci dan menuntut. Lingga terduduk dalam sunyi dan karma yang diam-diam merayap kearah takdirnya. Ada sesuatu yang lebih mempengaruhi pikirannya dari omelan Sarah. Kata-kata ibunya sore tadi seolah menghentaknya dari ketaksadaran yang panjang. “Baru tiga bulan menikah, tapi istri sirimu itu sudah hamil tujuh bulan. Ibu benar-benar kecewa sama kamu, Le. Bagaimana kalau anak yang dikandung Perempuan itu bukan darah dagingmu?” Kemudian Lingga mulai menghitung-hitung. Sejak kapan ia berhubungan badan dengan Sarah. Dan beberapa kejanggalan yang ia lihat tak sengaja di dalam rumah ini. Lelaki ini tergores amarah yang tak bisa ia utarakan sendiri. ** Pagi mulai berkabut, tak ada lagi gerimis. Yang tersisa hanyalah dingin dan kabut yang menyelimuti rumah besar ini. Pagi buta ini terasa sunyi, lebih sunyi dari biasanya. Tak ada suara Asha yang tak henti memanggil Alma. Tak ada suara jerangan air mendidih. Tak ada denting gelas yang beradu dengan sendok. Tak ada aroma teh dan gula. Sepi, sunyi. Pagi itu, hujan masih menyisakan sisa gerimis yang menempel di kaca jendela rumah Juragan Darsa. Aroma tanah basah bercampur dengan dingin yang menusuk tulang. Namun bukan cuaca yang membuat lelaki ini gelisah, melainkan ranjang kosong yang baru saja ia bangunkan. “Alma?” Ia teringat wanita itu. Bahkan lihatlah, ia terbangun bukan di kamar besarnya, melainkan ia terbangun di kamar pembantu yang meninggalkan aroma khas. Seprei kusut, aroma sisa cairan yang tumpahkan semalam di atas kain putih itu menyadarkannya bila semalam ia terlalu brutal pada Alma yang mungkin sudah lama tak melakukan hubungan seks. Darsa memanggil pelan, suaranya tercekat. Matanya menyapu seluruh kamar, namun yang tersisa hanya bantal yang masih meninggalkan lekuk wajah Alma. Aroma tubuh wanita itu samar masih tertinggal di sprei putih yang kusut, saksi bisu dari malam kelam yang semestinya tak pernah terjadi. Jantung lelaki ini berdegup tak karuan. Ia melangkah cepat menuju dapur, ruang tamu, bahkan menyibak tirai kamar Asha dengan gemetar. Tak ada Alma. Tak ada bayangannya. “Alma!” panggilnya sekali lagi, lebih lantang, namun hanya gema dari kehampaan yang menjawab. Peluh dingin membasahi pelipisnya, meski pagi masih menggigil. Jantungnya mulai dihantui rasa bersalah yang memukul bertubi-tubi. Ia menyesal. Tuhan, ia benar-benar menyesal. Tapi kini semuanya telah terlambat. Alma pergi. Ya, mungkin Alma kabur. Mungkin saja melaporkan perbuatannya pada polisi. Ah, kalau itu bisa di atur. Tapi Alma, bagaimana sekarang ia. Bagaimana kalau Asha bertanya dan mencari Perempuan yang dipanggilnya bunda Alma. Alma benar-benar pergi. Tanpa pesan. Tanpa jejak. Yang tertinggal hanyalah kekosongan di rumah yang semalam begitu gaduh oleh desahan birahi lelaki ini , tangisan dan jeritan Alma yang tak didengar siapa pun kecuali langit tak henti mencurhakan hujannya. Juragan Darsa meraih ponsel. Ia coba menghubungi Alma, namun ponsel wanita itu tak aktif. Lelaki ini dikejar rasa bersalah. Wanita itu sudah terluka, lalu semalam ia semakin membuat luka itu menganga dan berdarah lagi. Juragan Darsa tertunduk lemas sebelum kembali panik saat putrinya masuk ke dapur sambil merengek mencari Alma. “Papa, bunda Alma Dimana?” “Bunda Alma …” “Mana, Pa? Asha mau bunda Alma buatkan sarapan.” Lalu bagaimana sekarang. Alma benar-benar pergi. Entah Dimana.“Nggak tahu,” jawabnya pelan. “Mas juga belum tanya,” lanjutnya sambil mengajak Alma duduk di ruang tamu.Tentu saja juragan Darsa berbohong. Ia tahu dan kenal betul calon istri Rahadi.Lelaki ini pernah brutal di masa lalu. Dan Renata menjadi salah satu perempuan yang menjadi korban brutal lelaki ini. Mereka bukan hanya pernah bercinta, tapi juga juragan Darsa pernah melakukan kekerasan pada Renata.Kalau diingat-ingat, lelaki ini juga merasa bersalah.Alma mengangguk, percaya. Ia memeluk lengan suaminya dengan manja sebelum beranjak masuk ke dapur menyusul ibunya dan Asha disana. Tapi dada Juragan Darsa terasa sesak.Tentu saja ia tahu.Ia tahu terlalu baik.Renata—perempuan yang dulu pernah jadi pelampiasan kebrutalannya, perempuan yang bertahun-tahun ia kira sudah hilang dari hidupnya, perempuan yang diam-diam ia anggap sebagai luka yang seharusnya tak pernah kembali.Dan kini… Rahadi, akan menikahinya. Rasanya jodoh ini memang lucu. Seperti dia dan Alma. Bagaimana ia bisa jatuh
"Ngaco!"Rahadi menggertak geram. Ia ingat perempuan pucat ini adalah Sarah. Salah satu spg yang pernah menemani malam-malamnya. Mungkin ada dua atau tiga kali mereka menghabiskan waktu di kamar hotel, lalu setelahnya Rahadi mendengar kabar bila wanita ini sudah menikah. "Aku hamil dan menikah dengan orang lain. Itu anak kamu, Mas!"Rahadi membawa Sarah ke ujung luar minimarket itu, sebab ia tak ingin menjadi perhatian pengunjung yang lainnya. "Sarah, saya ingat kita pernah menghabiskan malam dua atau tiga kali.. Tapi jangan lupa, laki-laki yang mengenalkanmu padaku juga pernah menidurimu berkali-kali.. Jadi, bisa saja anak yang kau kandung itu adalah anak si brengsek itu!""Tapi, Mas, ... ""Sekali lagi kau berani mengatakan kalau saya punya anak denganmu, saya tidak segan-segan melaporkanmu ke polisi!"Rahadi benar-benar tak memberi kesempatan pada Sarah untuk merecoki hidupnya. Melihat tubuh wanita itu semakin kurus dan pucat malah membuat lelaki ini berfikir yang tidak-tidak.
---Renata bersemu malu saat mengingat betapa liarnya ia semalam di atas sofa ini. Bahkan Rahadi sengaja tak pulang, lelaki itu menginap dan mengulang lagi rindu birahi mereka hingga dua kali. Sepagi tadi bahkan keduanya mengulang sekali lagi di atas pembaringan Renata sebelum lelaki itu pamit untuk ke kantor dulu. Renata tersenyum lagi, perasaannya pada juragan Darsa sepertinya memang sudah habis, terkikis dengan hadirnya Rahadi. "Istirahatlah, sore baru mas datang lagi."Begitu ucapan pamit Rahadi tadi sebelum jalan. Kecupan dalam di keningnya yang lelaki itu berikan membuat Renata merasa nyaman. Rasanya ini seperti hidup yang baru setelah kesepian dan lara hati melanda hidupnya. Lalu gerimis halus di luar sana membuat Renata benar-benar memejam mata. Lelah melanda raganya, setelah pertempuran yang membuatnya menjerit bahagia. Senyum tipis bahkan terukir di bibir tak bergincunya hingga netranya memejam. ***Hujan mulai menepi dari musim ini, orang-orang mulai keluar mencari
Tidak menunggu waktu lama, setelah gegas membersihkan diri dan berpakaian lagi, juragan Darsa langsung memanggil mbok Karti agar membantu mengurus Alma yang tadi sempat pingsan. “Kita ke rumah sakit, Sayang.” Sedikit panik lelaki ini, saat istrinya pingsan tadi setelah baru saja ia mencapai puncak gairahnya. Alma sudah siuman, maka rumah sakit daerah di pinggir kota menjadi tempat yang dituju juragan Darsa, dalam perjalanannya tadi, lelaki ini sempat menghubung mertuanya, bila istrinya pingsan. Rasa khawatir jelas tergambar di wajah tegas itu. mungkin ia terlalu brutal. Rasanya setelah menikah hampir tiap malam kebutuhan libidonya ia tuntut. Perawat di UGD tampak sigap menangani Alma, belum apa-apa, juragan Darsa bahkan minta rujukan ke rumah sakit yang lebih bagus dan lebih lengkap fasilitasnya. Seorang dokter berhijab dan berkacatama masuk memeriksa kondisi Alma yang tampak lemah. Setelah diperiksa, dokter itu tersenyum kecil. “Bu Alma… selamat ya. Ibu hamil. Istrinya
Sebelumnya ... ***Sarah begitu percaya diri menemui tamunya kali ini. Ada rasa berdebar yang tak biasa dalam dada. Namun ia yakin tamu terakhirnya malam ini akan menambah pundi-pundi rupiahnya untuk makan dan membeli kebutuhan bayinya. Hatinya miris, diguris sedih. Sebulan ini, ibunya benar-benar tak mencarinya, meski hanya bertanya kabarnya. Pun dengan Lingga.Cinta membara yang pernah hadir di antara mereka, seolah pupus terbakar amarah. Sarah mengakui dirinya salah, tapi kali ini ia benar-benar kecewa juga dendam. Pada Lingga, juga pada ibunya sendiri. Alam selalu adil, meski pada sang pendosa. Bagaimana semesta mengirimkan mbok Pik untuk membantunya menjaga bayinya. Sarah menarik napas panjang, sebelum turun dari taksi online dan menuju motel sederhana menemui tamu terakhirnya malam ini. Gincu merah sudah ia poleskan. Senyum palsu pun siap ia tebarkan. Disinilah dia di kamar yang cukup nyaman dengan pendingin ruangan yang cukup untuk mengurai kegugupannya malam ini. Kam
Riuh celoteh antara Asha dan Alma di depan Tv itu. gerimis halus di luar belum juga enggan beranjak di punghujung bulan ini.Tadi sore mereka tiba dengan banyak oleh-oleh untuk Asha dan untuk ibunya Alma. Setibanya di rumah sesore tadi, Alma menjadi milik putri kecil mereka.“Asha kangen sama bunda,”“Bunda juga kangen, Nak.”Alma tadi menyempatkan diri menelpon ibunya, bila esok pagi baru bisa berkunjung membawakan ole-oleh.Tentu saja bu Darmi tak keberatan, sebab beliau mengerti anaknya harus mendahulukan suami dan keluarganya sekarang.Suara lucu itu mengukir haru di hati Alma. Gegas dipeluknya sang putri lalu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari bibir mungil putrinya.Alma tak pernah membalas rasa sakit yang dulu ia dapatkan dari mantan suaminya. Ia pergi dalam ketabahannya.Lalu ia pun tabah menerima perlakuan juragan Darsa padanya, sebelum lelaki itu memberikan balasan manis untuknya.Kebahagiaan yang dulu Alma impikan, kini hadir dalam celotehan putri sambungn







