Daryan terdiam. Mulutnya yang sedari tadi mengunyah martabak isi kacang itu, langsung mematung dengan pipi yang menggelembung. Aktifitas mengunyahnya seketika terhenti. "Jangan ikut campur! Itu urusanku." Wajahnya berubah serius."Aku hanya memberi tahu. Demi kebaikanmu. Setidaknya kau harus punya kegiatan yang berarti. Jika senggang, kau masih bisa main ke sini. Setiap profesi pasti memiliki waktu libur. Jangan sia-siakan masa mudamu. Harta warisan tak bisa menjamin kebahagiaan.""Diamlah!" Dia terlihat semakin berang. "Kau mulai lancang." Aku terkejut mendengar ucapannya.Apa aku bersikap terlalu berlebihan?"Kau marah?" Aku mencoba membujuknya."Jangan terlalu lancang memasuki kehidupan pribadiku.""Daryan... Aku....""Aku tak suka!" Dia langsung bangkit dan berdiri. Sepertinya benar-benar marah atas sikapku tadi.Dia pergi begitu saja. Meninggalkanku dengan rasa kesal. Ternyata aku bukan siapa-siapa yang bisa dengan mudah memasuki kehidupan pribadinya. Membuatku menyesal dan haru
Aku tahu Daryan tersinggung dengan ucapan lancangku. Sikapnya kembali seperti waktu itu. Sudah tiga hari sejak kejadian, batang hidungnya kembali menghilang. Bukan aku tak mau membujuknya. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kurasa dia bukan tipikal orang yang suka dipaksa. Dia butuh waktu untuk menerima dan mencerna kata-kata yang aku ucapkan. Sama sekali tak ada maksud untuk menjatuhkan mentalnya.Kupikir kami sudah terbiasa bicara secara blak-blakan. Aku pun tak pernah keberatan jika ia menyinggung nasib buruk dan juga ketidak sempurnaan dalam hidupku. Namun entah kenapa dia jadi begitu sensitif jika aku menyinggung soal keluarganya.Maka kubiarkan dia begitu saja. Berharap dia sedikit lebih tenang, lalu kembali menyuruhku datang untuk berbaikan. Aku akan menunggu saat hari itu tiba. Aku mengalah. Aku kembali bersalah. Daryan tak butuh nasihat dariku. Dia hanya butuh aku untuk mendengarkan. Percaya dengan apa pun yang dia ucapkan.*Udara siang terasa begitu terik. Seorang wanita
Mataku membesar melihat siapa yang datang. Dengan spontan langsung menepis kasar tangan pria hidung belang yang sedang merangkulku tadi. Aku langsung berdiri, menatap dia yang memandang kami penuh amarah."Siapa kau?" Om Rudi _pria yang bersamaku_ ikut berdiri dengan emosi. Merasa terganggu dengan kesenangan pribadi yang akan kami lalui malam ini.Pemuda dengan ciri khas topi dan jaket denim itu langsung mendekat ke arah kami. Mataku membesar menatapnya dalam jarak dekat."Sedang apa kau di sini?" ucapnya dengan nada mengerikan.Habis sudah harga diriku. Bahkan yang aku lakukan lebih rendah dari pekerjaannya selama ini. Pria ini pasti akan mencemoohku lebih parah lagi."Dia "gadisku"," ucap Om Rudi. Kembali meraih bahuku dalam rangkulannya. Aku hanya tertunduk pasrah. Tak berani menatap Ren karena malu."Tua bangka bajingan!" Ren langsung menendang dengan beringas. Kaki panjangnya tepat mengenai perut om Rudi. Pria yang hampir sebaya dengan ayahku itu langsung terpental ke atas sofa.
[Aku sakit.][Kau tak menjengukku?][Maaf soal waktu itu. Aku tak akan lagi bertanya.][Ini sudah satu minggu.][Kau sengaja membuatku rindu, ya?][Aku ingin sekali makan pizza jamur.]Beberapa pesan kukirimkan pada Daryan dengan tak tahu malu. Takut dia akan melupakan aku seiring berjalannya waktu. Kupikir dia dia pun sudah tahu tentang perasaanku. Lama aku menunggu, namun tak ada tanda-tanda dia akan membalas. Aku melempar asal ponsel, lalu menutup wajah dengan bantal.Hari ini aku memang tak membuka dagangan. Masih merasa lelah atas kejadian semalam. *Samar terdengar suara ketukan dari luar. Aku membuka mata secara perlahan. Meraba ponsel untuk melihat jam berapa sekarang. Aku pasti tertidur nyenyak, saat sadar hari telah beranjak sore.Dengan malas aku bangkit, membukakan pintu untuk melihat siapa yang datang. Di luar sana tampak raut wajah yang selama ini aku rindukan."Daryan?" Aku membuka pintu dengan lebar. Dua box pizza menggantung di jarinya."Kau hanya pura-pura sakit.
"Brengsek!" Aku kembali mengayunkan tangan untuk memberi pukulan serupa di pipinya. Namun dengan mudah tangan ini tertahan oleh cengkramannya."Jangan sok suci. Kau sudah ketahuan!" Dia menahan pergelangan tanganku dengan kuat."Lepaskan!" Aku mencoba menarik diri. Namun masih saja tertahan dan tak mau terlepas."Terima saja tawaranku. Aku, ataupun bajingan tadi tidak ada bedanya. Kau hanya butuh uang, kan?" Dia mendorong tanganku dengan kasar, hingga aku terhuyung dan jatuh ke atas sofa."Apa kau seputus asa itu, ha?" ketusnya lagi."Sudah kubilang bukan urusanmu. Kau terlalu lancang ikut campur urusanku."Seketika aku teringat akan Daryan. Mungkin seperti inilah rasanya jika kau ketahuan punya kehidupan yang tak wajar. Langsung bersikap kasar untuk menutupi kelemahan.Ucapanku sama persis dengan yang dia ucapkan. Itu karena aku terlanjur malu jika seseorang tahu bahwa hidupku seburuk ini.Lalu apa yang terjadi dengan Daryan? Apa ada sesuatu yang membuatnya harus malu mengakui sesuat
"Memangnya kau pikir aku suka?" Aku menantang ucapannya."Lalu kenapa kau kembalikan uang itu padaku?""Dia menolaknya. Dia pikir aku meminjam pada rentenir lain.""Itu sama sekali bukan urusannya.""Entahlah. Mungkin semacam persaingan bisnis," jawabku seadanya."Jangan bodoh. Pria itu menyukaimu. Kau tidak sadar?" Daryan memandangku kesal.Aku menarik sudut bibir sembari mengusap sisa air mata."Memangnya kenapa kalau dia menyukaiku? Kau keberatan?" Aku berusaha memancing pengakuannya."Tentu saja aku keberatan.""Kenapa?"Dia terdiam. Tak langsung menjawab.Katakan Daryan. Katakan kalau kau cemburu dan tidak rela aku dekat dengan pria mana pun. "Kau masih bertanya? Pakai otakmu sedikit saja." Giginya merapat menahan geram. Aku kembali tersenyum. "Carilah pria baik-baik. Jangan hanya memikirkan materi. Tak selamanya uang membawa kebahagiaan," imbuhnya lagi, menasihati.Apa maksudnya ini? Kenapa dia malah menyuruhku mencari pria lain. Pria baik-baik seperti apa yang dia maksud? Ak
"Dia ke rumah?" tanyaku cemas. Merasa kalau Ren mulai ingin meneror anggota keluargaku yang lain."Iya, kak. Dia sendiri yang mengantar.""Kenapa kau terima? Aku bahkan belum membayar sepeser pun.""Kakak tenang saja. Aku yang akan membayarnya." Suara Adit terdengar bersemangat."Kau dapat uang dari mana? Jangan macam-macam, Dit. Atau kupukul kepalamu itu. Sekolah yang benar!" tegasku. Dia tertawa."Aku dapat pekerjaan, kak.""Pekerjaan?"*Lagi-lagi aku terpaksa menutup lapak dengan cepat. Singgah ke kamar kos sebentar, lalu keluar setelah pesanan ojek onlineku datang.Tas slingbagku terasa bergetar diiringi suara nada dering tanpa vokal. Aku yang berada di boncengan, meraih benda pipih itu dari dalam sana. Layar menyala dengan nama Daryan sedang memanggil.Aku tersenyum. Namun saat itu juga aku kembali memasukkan ponsel ke dalam tas. Aku lebih memilih mengabaikan. Tak ingin merasa kalau dia sedang rindu, lalu ingin mendengar suaraku.Motor jenis matic ini berhenti tepat di depan ruk
Aku menatap wajah Ren lamat-lamat. Mencoba mencerna kata demi kata yang baru saja dia ucapkan. Tak ingin lagi salah paham dengan bentuk perhatian yang ambigu ini. Baik Daryan ataupun Ren, sama-sama membuatku frustasi. Mengajakku terbang tinggi, namun seketika menghempasku lagi.Sialan betul mereka ini."Lepas!" Gigiku merapat memberi perintah."Pikirkan lagi. Aku mengenalmu lebih dulu. Jauh sebelum kau bertemu dengannya." Ren masih bersikeras, tak mau melepas."Bukan berarti kau berhak atas hidupku.""Kalau begitu beri aku hak itu.""Kau ikut-ikutan tidak waras, Ren." Aku merengek sembari menarik-narik lenganku.Ada apa dengannya? Apa barusan itu adalah sebuah pengakuan soal perasaannya? Tidak, tidak. Aku tak ingin mendengarnya. Pria ini tak bisa mempermainkan perasaanku begitu saja. Dia hanya ingin membeli dan memanfaatkanku dengan uangnya seperti malam itu.Dasar mata keranjang."Apa kau tidak tahu, aku meny....""Tidak!" Aku menyela sebelum Ren menyelesaikan ucapannya. Dia tertegun