Minggu pagi.
Laman berita kembali memuat berita tentang kasus Jo. Satu persatu bukti dan saksi mulai terkuak. Akhirnya seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan akhirnya tertangkap saat hendak melarikan diri ke luar kota.
Mataku membesar, lalu segera keluar dan berlari menuruni anak tangga menuju lantai dua.
"Ren!"
Dua orang di ruangan itu langsung menoleh ke arahku. Ren memutar bola mata ke atas, sudah terbiasa dengan kelancanganku yang selalu masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
Dia menggeleng pasrah, lalu meminta agar pria paruh baya yang duduk di seberang mejanya segera keluar.
"Kau sudah lihat beritanya? Pembunuhnya sudah tertangkap. Ayahku tidak bersalah. Ayahku bukan pembunuh, Ren." Aku melompat dan memeluk tubuhnya, kemudian melepaskan dan tersenyum.
Ren mambalas senyumanku, lalu menganguk.
"Ayahmu juga sudah kembali. Dia di barak konstruksi sekarang. Kau ingin menemuinya?"
Aku terdiam.
Ayah mengangkat wajah. Menatapku dengan pandangan sayu. Mungkin tak percaya aku bisa berbicara selembut ini.Menit kemudian dia menggeleng. Menolak ajakanku."Ayah di sini saja. Kontrak kerja ayah masih panjang. Kau lihat? Satu tahun ke depan gedung ini belum tentu siap. Ayah bisa hasilkan uang untuk biaya kuliah Adit dan juga mengganti semua uang yang kau berikan untuk membayar hutang-hutang ayah."Aku menggeleng kuat. Semakin terisak dengan ucapannya."Lagi pula, jika ayah masih tinggal di rumah, kau tak akan leluasa pulang ke sana. Kau pasti begitu membenci ayah, kan?"Tangisku semakin pecah. Tak menyangka ayah akan berpikiran seperti itu.Ucapan ayah sebenarnya tidak salah. Selama ini aku memang selalu berusaha menghindarinya. Tak ingin sering-sering terlibat perdebatan yang akhirnya membuatku kesal dan menangis.Ayah memundurkan kursi, lalu bangkit menuju sebuah dipan. Sepertinya mereka membuat itu sebagai tempat tidur. Kul
Aku kembali memasuki kamar usai mandi. Melepas handuk yang masih melilit di kepala. Matahari mulai meninggi. Kulihat tubuh itu masih terbaring di atas ranjang. Tertidur pulas setelah terjaga semalaman.Matanya memicing, saat titik-titik air dari rambutku yang basah memercik ke wajahnya. Membuat wajah garang itu terlihat begitu lucu."Kau nakal sekali." Suara serak khas bangun tidur itu tersenyum memandangku."Kau juga sering melakukan ini padaku." Aku membela diri. "Cepatlah bangun, nanti kau terlambat.""Kenapa kau mandi duluan? Apa tidak lelah jika harus melakukannya berulang-ulang?""Apa maksudmu?""Maksudku?" Dia mengulangi ucapanku. "Maksudku, kau harus kembali membersihkan diri saat kita melakukannya sekali lagi."Dia langsung menarik tubuhku. Memasukkanku ke dalam selimut yang masih membalut tubuh polosnya."Eh, apa yang kau lakukan, Ren? Aku sudah mandi. Dan kau bau!" Aku meronta minta dilepaskan."Kita bis
Satu minggu sebelum pernikahan, Daryan muncul di ruko yang kini sudah menjelma menjadi kafe. Dimana orang-orang Ren yang bekerja, kini berpakaian rapi hingga menutupi tato-tato yang ada di tubuh mereka.Tak ada pegawai wanita di sini. Ren tak ingin aku tiba-tiba merajuk dan mendiamkannya karena tak sengaja melihatnya berbicara dengan mereka, meski hanya untuk urusan pekerjaan.Aku mengulum senyum mendengar keputusannya."Aku bukan pesuruhmu! Tanpa kau minta pun aku sudah menjaganya sejak dulu." Ren berucap lantang, saat Daryan bilang mengikhlaskan, dan memintanya menjagaku.Aku yang duduk di samping Ren hanya terdiam. Setidaknya Daryan tak lagi membahas tentang apa yang dia lakukan di rumahnya waktu itu. Dan Ren juga menepati janji untuk duduk dan berbicara baik-baik, tanpa ada lagi perkelahian.Dia tak perlu melakukan itu. Karena apa pun yang terjadi, Daryan tak akan mungkin bisa merebutku lagi.Daryan menghabiskan "strawberry boba" racikan
"Tinggalkan Daryan! Seratus juta itu jadi milikmu." Wanita paruh baya bergaya elegan itu menunjuk amplop coklat di atas meja dengan dagunya."Ma--maaf, aku tidak mangerti maksud anda," jawabku dengan suara gugup."Ucapanku cukup jelas. Putraku hanya sedang tersesat hingga jatuh cinta pada gadis sepertimu. Saat dia sadar nanti, dia pasti akan segera meninggalkanmu begitu saja."Aku terdiam. Ucapannya terasa begitu merendahkan harga diriku."Kalau anda berpikir seperti itu, kenapa malah memberikan uang? Kenapa tak menunggu saat itu tiba saja?"Matanya menyipit. Merasa tertantang."Aku sedang berbaik hati padamu. Tak ingin kau terlanjur berharap. Nasibmu tidak semujur itu. Carilah pasangan yang pantas. Daryan berhak mendapatkan gadis yang sederajat dengannya."Aku terdiam. Wanita ini berkata benar. Kisah Cinderella hanya ada dalam dongeng dan cerita fiksi romance. Bahkan para crazy rich sekarang sudah menjodohkan anak mereka sejak dalam kandungan. "Kenapa tidak anda katakan saja hal itu
"Bukan urusanmu. Mulai sekarang berhenti mendatangiku ataupun meneror lagi keluargaku. Aku tak mau lagi bertemu denganmu."Dia mengambil napas kasar, lalu melempar kembali amplop itu. Kembali bersandar pada kursi, layaknya seorang Direktur perusahaan."Kau pinjam ke rentenir mana lagi? Kembalikan saja. Aku akan beri kelonggaran." Dia mulai bernegosiasi."Bukan urusanmu. Kau atau siapa pun sama-sama rentenir. Tidak ada bedanya.""Sudah kubilang aku beri kelonggaran. Kau bayar pokoknya saja. Hanya lima puluh juta, tidak perlu pakai bunga. Tapi kembalikan uang itu. Kau bisa terus mencicilnya." Pria bertubuh tinggi tegap itu menurunkan nada bicaranya."Dasar orang aneh. Kepalamu itu baru saja dipukul orang, ya? Apa kau lupa, kemarin-kemarin kau selalu datang dan membuat keributan. Marah-marah tidak jelas agar aku segera melunasi hutang Ayahku."Dia terdiam, kemudian kembali menarik napas.Meski sudah setahun belakangan aku berurusan dengan laki-laki ini, namun hingga sekarang aku masih be
Cuaca hari ini begitu terik. Aku hampir kerepotan melayani para pembeli yang kebanyakan adalah mahasiswa.Sudah satu tahun ini aku membuka usaha bubble drink di sekitaran kampus. "MAY BOBA" aku membuat namanya. Bermodalkan sebuah booth container serta dua buah kursi panjang dan juga meja.Sebenarnya usahaku lumayan ramai. Posisi stand yang strategis membuat para mahasiswa banyak berdatangan untuk membeli minuman kekinian yang lagi hits. Namun semua yang kuhasilkan tetap saja tak bisa kunikmati, karena harus terus-terusan membayar hutang Ayahku yang jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi biaya sekolah Adit. Tak ada niat sedikit pun dari Ayah untuk mengambil alih tanggung jawab itu. Judi online membuatnya seperti kehilangan kewarasan dan semangat untuk bekerja.Aku menghampiri Daryan yang baru saja datang dan duduk di kursi yang telah kusediakan di depan booth container."Sudah kau bayar hutangmu?" tanyanya dengan tenang."Hem." "Surat rumahnya?""Aman.""Lalu, Ayahmu?""Dia bahkan tak b
Daryan tidur dengan lelap saat aku masih berselancar di dunia maya. Sampai terdengar bunyi dering ponsel dari bawah kakinya. Aku mendekat untuk melihat siapa yang memanggilnya."Yan, bangun!" Aku menggoyang-goyangkan kaki panjang itu."Hem," sahutnya setengah sadar. Jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. "Pulang sana. Ibumu khawatir.""Hem." Dia tak peduli, lalu membalikkan badan memunggungiku."Ponselmu berbunyi. Dari ibumu."Dengan malas dia berusaha untuk duduk. Mengacak-acak rambutnya sendiri. Dan itu terlihat menawan. Aku tersenyum tipis. Lalu menepis pikiran yang ada di dalam kepalaku."Cepat pulang!" perintahku. Dia menatapku sekilas, lalu tersenyum."Kau hanya kesal karena tidak kebagian tempat tidur, kan?" Dia berdecak. ~~~"Choco boba satu." Suara itu terdengar dari kursi. Aku yang berada di balik booth container langsung melihat sumber suara. Merasa tak asing dengan suara itu. Aku menarik napas kesal setelah tahu siapa yang datang. Aku segera menuju
Mataku mengerjab mendengar penuturannya. Pelan, tapi masih bisa kudengar dengan jelas. Berharap dia salah bicara atau sedang sakau karena pengaruh obat."Lupakan!" ucapnya dengan tegas. Membuat kesadaranku segera kembali. Aku bahkan belum sempat bertanya apa aku salah dengar atau tidak. Tapi sepertinya aku memang salah. "Pokoknya aku akan lebih sering datang untuk menagih hutang padamu." Dia membuang muka dan berlalu melewatiku.Aku masih terdiam, membuang pikiran buruk yang mungkin terjadi. Amit-amit jika pikiranku ini sampai benar. Aku menggeleng cepat hingga tak sadar bahwa kini ada seorang wanita yang telah berada di hadapanku setelah aku berbalik."Ta-Tante?" Aku kembali tergagap saat berhadapan dengan ibunya Daryan.Plak!Tangan halusnya tiba-tiba mendarat di pipiku. Tanpa kata, aba-aba, apalagi peringatan. Menciptakan rasa panas dan pedih hingga membuat mataku terasa menghangat."Sudah saya bilang jangan ganggu Daryan lagi. Kamu mau mempermainkan saya, ha? Di mana Daryan seka