Share

Part 3

Cuaca hari ini begitu terik. Aku hampir kerepotan melayani para pembeli yang kebanyakan adalah mahasiswa.

Sudah satu tahun ini aku membuka usaha bubble drink di sekitaran kampus. "MAY BOBA" aku membuat namanya. Bermodalkan sebuah booth container serta dua buah kursi panjang dan juga meja.

Sebenarnya usahaku lumayan ramai. Posisi stand yang strategis membuat para mahasiswa banyak berdatangan untuk membeli minuman kekinian yang lagi hits. 

Namun semua yang kuhasilkan tetap saja tak bisa kunikmati, karena harus terus-terusan membayar hutang Ayahku yang jumlahnya tidak sedikit. Belum lagi biaya sekolah Adit. Tak ada niat sedikit pun dari Ayah untuk mengambil alih tanggung jawab itu. Judi online membuatnya seperti kehilangan kewarasan dan semangat untuk bekerja.

Aku menghampiri Daryan yang baru saja datang dan duduk di kursi yang telah kusediakan di depan booth container.

"Sudah kau bayar hutangmu?" tanyanya dengan tenang.

"Hem." 

"Surat rumahnya?"

"Aman."

"Lalu, Ayahmu?"

"Dia bahkan tak bertanya apa pun." Aku berdecih.

"Ayahmu aneh. Orang tua lain mungkin sedang berpikir kalau anaknya sedang menjual diri."

"Kau benar. Tapi untung aku punya teman yang harga jualnya lebih mahal."

"Hei, sudah kubilang itu masih terlalu murah!" Dia terlihat sangat kesal.

Daryan. Aku mengenalnya baru beberapa bulan terakhir. Pria yang aku kenal secara tak sengaja karena kerap membeli produk minumanku. Hampir setiap hari dia duduk di sini. Semula kami hanya mengobrol biasa. Hingga akhirnya kami saling terbuka satu sama lain layaknya sahabat.

Hidup kami bagaikan langit dan bumi. Aku yang sejak kecil hidup sederhana, harus bekerja ke sana kemari sejak masih sekolah. Berbeda dengannya. Bayangkan, di usianya yang sudah menginjak dua puluh lima tahun, tak pernah sekalipun menghasilkan uang dari hasil jerih payahnya sendiri.

"Keluargaku kaya raya. Harta mereka tak akan habis sampai tujuh turunan. Karyawan mereka juga mencapai ribuan. Dengan hanya menggunakan kartu-kartu yang diberikan ibuku, aku bisa membeli apa pun yang aku mau. Untuk apa lagi aku susah-susah bekerja?" Selalu begitu alasannya. Meski terkadang ada gurat kekecewaan terlihat di wajahnya.

Ada benarnya juga. Seandainya sedikit saja Ayahku punya pikiran, tentu aku juga tak akan mungkin mau bekerja membanting tulang seperti ini. Hah! Kapan aku jadi anak orang kaya.

*

Jam delapan malam aku sudah selesai mengunci booth container. Kursi dan meja juga sudah aku masukkan ke dalam ruko tempat aku menyewa lapak. Tinggal berjalan kaki beberapa ratus meter, maka aku akan sampai ke kosanku.

Sejak lulus SMA aku memang sudah keluar dari rumah dan tinggal sendiri. Lelah karena terus-menerus bertengkar dengan Ayah. Aku benci sifat pemalasnya. Hingga setiap percakapan selalu berakhir dengan kata-kata kasar. 

Ibuku meninggal sejak tujuh tahun yang lalu. Hingga mau tak mau aku harus menggantikannya sebagai tulang punggung bagi adikku. Membiayai sekolah hingga sampai sekarang ini.

Suara klakson mobil tiba-tiba mengagetkanku dari arah belakang. Aku berhenti dan melihat siapa yang iseng menggodaku. Wajah itu lagi-lagi tersenyum saat kaca jendela terbuka.

Daryan datang lagi. Mendatangiku bisa seperti minum obat tiga kali sehari. Seperti tak punya teman atau kegiatan yang lain. Seperti hanya aku tujuan satu-satunya saat ini.

Aku kembali berjalan, ikut tersenyum. Mobilnya berjalan pelan mengiringi langkahku. Tempat tinggalku tak lagi jauh. Sebentar saja kami sudah sampai. Seperti biasa Daryan memarkir kendaraan di halaman yang terkadang menjadi sorotan penghuni kos yang lain. Mereka pasti berpikir kalau pria kaya itu adalah pacarku.

Dia langsung merebahkan diri di kasur mungilku. Menganggap layaknya kamar milik sendiri. Anehnya tak ada yang aneh dia lakukan. Sempat aku berpikir bahwa dia sama sekali tak tertarik pada wanita. Semacam, yah... begitulah.

Tapi lambat laun aku menyadari, kurasa aku memang tak menarik di matanya. Benar apa yang ibunya katakan. Anak orang kaya seperti Daryan jelas akan memilih wanita yang sederajat dengannya. Jadi bantuannya selama ini, kuanggap tulus karena dia butuh teman.

"Aku menginap ya, May. Malas pulang." Dia menutup matanya dengan lengan.

Bagiku tak ada masalah. Tempat ini bebas. Semua penghuni rata-rata melakukan hal serupa. Hanya saja hal ini masih tabu bagiku. Ini kali pertama dia mengucapkan kalimat itu.

"Kalau tidak mau pulang, kenapa tak cari hotel saja? Kau bilang kartu ajaibmu bisa memberikan apapun yang kau mau."

"Percuma kalau sendiri. Aku butuh teman."

"Kau bisa mencarinya di tepi jalan. Memangnya berapa limit kartumu itu, sampai-sampai tak sanggup lagi membayar seorang wanita."

"Kau pikir aku laki-laki macam apa?" Dia melempar kasar bantal padaku. Aku meringis kena lemparannya.

"Jadi kau butuh teman untuk apa?"

"Tentu saja untuk mengobrol. Memangnya apa lagi?"

Aku tersenyum tipis. Dia benar. Kalau hanya ingin mencari wanita penghibur, dia tak harus datang ke kamar sempit ini. Ada banyak club yang menyediakan fasilitas lengkap seperti itu.

Aku membeli dua bungkus mie ayam dan juga soda tak jauh dari tempat tinggalku. Daryan makan dengan lahap sambil bercerita apa saja. Tentang masa sekolah, kuliah, bahkan perjalanannya liburan keliling dunia. 

Hidupnya terlihat begitu sempurna. Hanya saja peraturan tetaplah peraturan. Ada hal-hal yang tak bisa dia bantah dan mau tak mau harus dia terima. Masalah apa itu, dia hanya diam saat aku bertanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status