Share

Part 2

"Bukan urusanmu. Mulai sekarang berhenti mendatangiku ataupun meneror lagi keluargaku. Aku tak mau lagi bertemu denganmu."

Dia mengambil napas kasar, lalu melempar kembali amplop itu. Kembali bersandar pada kursi, layaknya seorang Direktur perusahaan.

"Kau pinjam ke rentenir mana lagi? Kembalikan saja. Aku akan beri kelonggaran." Dia mulai bernegosiasi.

"Bukan urusanmu. Kau atau siapa pun sama-sama rentenir. Tidak ada bedanya."

"Sudah kubilang aku beri kelonggaran. Kau bayar pokoknya saja. Hanya lima puluh juta, tidak perlu pakai bunga. Tapi kembalikan uang itu. Kau bisa terus mencicilnya." Pria bertubuh tinggi tegap itu menurunkan nada bicaranya.

"Dasar orang aneh. Kepalamu itu baru saja dipukul orang, ya? Apa kau lupa, kemarin-kemarin kau selalu datang dan membuat keributan. Marah-marah tidak jelas agar aku segera melunasi hutang Ayahku."

Dia terdiam, kemudian kembali menarik napas.

Meski sudah setahun belakangan aku berurusan dengan laki-laki ini, namun hingga sekarang aku masih belum tahu namanya. Aku hanya menyebutnya Ren. Karena yang kutahu dia memang seorang rentenir. Anehnya dia sama sekali tidak keberatan aku memanggilnya seperti itu.

Hampir setiap hari dia datang ke tempat aku membuka usaha. Menagih hutang Ayahku yang angkanya selalu saja bertambah. Entah dari mana asalnya angka-angka itu. Aku sudah bosan bertanya dan tak lagi peduli.

Untung ada Daryan. Langgananku yang ternyata anak orang kaya. Dan yang pasti dia itu... gila.

"Aku tidak mau. Kau hanya boleh berhutang padaku!" Pria yang gaya berpakaiannya seperti preman itu tetap tak mau menerima uangku.

"Baik. Kalau begitu aku akan mengantarnya langsung ke rumahmu. Bukankah Ayahku menggadaikan surat rumah pada Ayahmu? Kau hanya kaki tangan saja. Caramu sama sekali tidak profesional!" Aku meraih kembali amplop tersebut, sampai tangannya dengan refleks menahan.

Kini punggung tanganku tanpa sengaja telah berada dalam genggamannya. Kami berdua saling terpaku, sampai akhirnya aku menarik diri dan membiarkan benda itu kembali ke tempatnya.

Dia pun segera membenarkan sikapnya. Meraih amplop itu dan mencoba bersikap santai dengan kembali bersandar.

Tak lama ia membuka laci dan mengambil buku kwitansi pembayaran. Menuliskan sesuatu di sana. Lalu bangkit menuju laci bertingkat tiga terbuat dari besi. Membuka kunci dan mengeluarkan selembar amplop yang lebih besar.

Perasaanku lega, karena akhirnya surat rumah yang digadaikan Ayah bisa kembali. 

       ~~~

"Maya?" Ayah menyambut kedatanganku dengan wajah sumringah. "Kau bawa apa?" 

Aku memutar bola mata malas, sambil meletakkan tiga bungkus sate ke atas meja makan. Lalu menyusun bahan makanan ke dalam kulkas.

Ayah meraih bungkusan tadi dan langsung melahapnya. Tak lama adik laki-lakiku keluar dari kamar. 

"Tak perlu lagi menemui rentenir itu. Aku sudah melunasi hutang Ayah," ketusku, di sela-sela makan malam.

"Benarkah? Mana surat rumahnya?" Ayah tampak bersemangat. Dia bahkan tak bertanya dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu. Sudahlah. Ayah memang tak pernah mau peduli urusan anak-anaknya.

"Aku yang simpan."

"Hei, apa maksudmu?" Ayah membanting sendok hingga terpelanting. "Kembalikan pada Ayah!"

"Tidak akan. Ayah pasti akan menggadaikannya lagi. Ini terakhir kalinya aku membayar hutang Ayah. Lain kali kalau ada rentenir atau siapa pun yang menagih dan mengganggu aku dan Adit, aku sendiri yang akan melaporkan Ayah ke polisi." Aku berucap tegas.

"Kau...." Ayah mengepalkan tangan ke atas meja. Geram.

"Kenapa? Ayah mau protes? Sampai kapan Ayah mau hidup seperti ini? Judi itu tidak akan pernah membuat Ayah kaya."

"MAYA!" Ayah berteriak sembari menggebrak meja.

"Aku lelah, Yah. Aku lelah harus membayar semua hutang Ayah. Ayah bahkan tak mau tahu tentang biaya sekolah Adit." Aku semakin menantang. "Mana tanggung jawab Ayah sebagai orang tua?" Aku mulai menangis.

Ayah terdiam, lalu bergegas bangkit dan meninggalkan meja makan. Tak lama terdengar suara pintu kamar dibanting dengan kuat.

"Aku mau pulang," ucapku pelan.

"Baik, kak. Aku antar."

"Dari mana kakak dapat uang?" tanya Adit saat di perjalanan.

"Kau pikir aku pengangguran?" Aku memukul helm di kepalanya.

"Hutang Ayah tidak sedikit. Memangnya berapa keuntungan dari usaha kakak?" 

Aku tertawa kecil. Adit bukan anak kecil lagi. Usianya sudah tujuh belas tahun. Tentu tak bisa lagi dibohongi. 

"Percaya saja. Aku tak mungkin berbuat macam-macam."

Dia tak lagi menjawab. Lagipula apa yang harus aku katakan. Menipu konglomerat, dan menukar anaknya dengan uang? Ah, aku jadi bingung. Di antara aku dan Daryan, siapa yang lebih gila?

            ~~~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status