Share

Part 4

Daryan tidur dengan lelap saat aku masih berselancar di dunia maya. Sampai terdengar bunyi dering ponsel dari bawah kakinya. Aku mendekat untuk melihat siapa yang memanggilnya.

"Yan, bangun!" Aku menggoyang-goyangkan kaki panjang itu.

"Hem," sahutnya setengah sadar. Jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. 

"Pulang sana. Ibumu khawatir."

"Hem." Dia tak peduli, lalu membalikkan badan memunggungiku.

"Ponselmu berbunyi. Dari ibumu."

Dengan malas dia berusaha untuk duduk. Mengacak-acak rambutnya sendiri. Dan itu terlihat menawan. Aku tersenyum tipis. Lalu menepis pikiran yang ada di dalam kepalaku.

"Cepat pulang!" perintahku. Dia menatapku sekilas, lalu tersenyum.

"Kau hanya kesal karena tidak kebagian tempat tidur, kan?" Dia berdecak.

         ~~~

"Choco boba satu." Suara itu terdengar dari kursi. 

Aku yang berada di balik booth container langsung melihat sumber suara. Merasa tak asing dengan suara itu. Aku menarik napas kesal setelah tahu siapa yang datang. Aku segera menuju keluar dan menghampirimya.

"Mau apa lagi? Bukankah hutangku sudah lunas? Pergi saja. Aku tak mau lagi kau membuat keributan di sini." Aku mendorong dadanya dengan jari telunjukku.

Dia tak bergerak dari tempatnya berdiri. Seolah tak terganggu dengan reaksiku. Tetap membiarkan jariku menyentuh jaket denimnya.

Ren. Dia muncul kembali meski aku telah melunasi hutang padanya. Jujur aku malu selalu berdebat dengannya. Sikap emosionalku kadang tidak bisa terkontrol. Hingga terkadang kami terlibat adu mulut dan menjadi perhatian orang-orang sekitar atau hanya lewat.

"Aku hanya memesan boba. Kau menjual itu, kan?" Dia beralasan. Pemuda jangkung itu bicara tanpa rasa bersalah.

"Aku tidak menjualnya padamu. Cari saja tempat lain."

"Kenapa kau galak sekali?"

"Jadi aku harus bersikap bagaimana lagi dengan lintah darat sepertimu, ha? Kau pasti punya maksud lain selain minum boba-ku. Tidak perlu berbasa-basi lagi. Sekarang katakan, mau apa kau ke sini?"

Sebenarnya perasaanku sedikit cemas. Takut kalau Ayah berulah lagi. Bisa saja dia kembali meminjam uang setelah kuberi tahu bahwa hutangnya sudah lunas. Lebih parahnya lagi dia membuat lapak usahaku sebagai jaminannya.

Pria bertopi itu merogoh sesuatu dari balik pinggangnya. Lalu mengeluarkan sebuah amplop. Dia menarik paksa tanganku dan meletakkan benda tadi ke dalamnya.

Apa-apaan ini. Bukankah ini uang yang aku bayarkan kemarin? Kenapa dia mengembalikannya?

"Apa maksudmu?" Aku menarik kembali tanganku. Otomatis amplop itu ikut terseret.

"Kembalikan uang itu pada siapa kau meminjam. Jaminanmu sudah aku kembalikan. Kau tak perlu buru-buru lagi membayarnya. Cicil saja seperti biasa."

Aku memang membayar hutangku seminggu sekali. Karena takut bunganya akan terus bertambah. Pria licik ini selalu saja menakut-nakutiku dengan bunga yang terus bertambah setiap harinya. Karena begitu katanya kesepakatan dengan Ayah.

Dia bahkan ingin datang setiap hari seperti petugas koperasi keliling. Namun aku tetap meminta kelonggaran agar dia tak melakukan itu.

"Kau sudah gila, ya? Kenapa kau lakukan ini? Kau sudah dapatkan kembali uangmu tanpa ada kerugian. Kau untung banyak. Karena yang berhutang adalah orang bodoh sepertiku. Kau puas?"

"Bisa tidak bicara tanpa perlu berteriak? Kau sendiri yang membuat perhatian orang tertuju padamu." Aku terdiam. Mana mungkin aku bisa bersikap tenang pada orang yang selalu saja meneror keluargaku.

"Lalu kenapa kau ingin aku terus berhutang padamu? Meski tanpa bunga?" Aku menyindir.

"Karena aku...."

"Katakan saja, brengsek!"

"Agar aku punya alasan bisa terus bertemu denganmu."

           ~~~~~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status