"Ayah, kenapa ayah tega melakukan hal ini?" ucap Zahra lirih.
Bukannya menjawab, laki-laki paruh baya itu malah memalingkan wajahnya ke arah lain. Zahra berjalan perlahan mendekati sang ayah lalu duduk di lantai di depan ayah Daksa."Ayah, lihat mataku! Tolong jawab pertanyaanku! Apa yang dikatakan ibu Lita benar? Apa ayah menjadikan rumah ini sebagai taruhan judi?" tanya Zahra lagi memastikan. Sang ayah terus saja memalingkan wajah dengan diam. Dia tidak mau menatap wajah anak gadisnya itu."Ayah jawab!" ucap Zahra.Dengan cepat laki-laki itu berdiri walaupun dengan posisi yang tidak tegak."Iya, ayah melakukan hal itu! Ayah menjadikan rumah ini bersama seluruh isinya taruhan di atas meja judi. Lalu kamu mau apa?" teriak Ayah Daksa kepada sang anak. Dengan kaki yang sedikit gemetar Zahra berdiri lalu berjalan mendekati sang ayah lagi."Kenapa ayah? Kenapa ayah melakukan hal itu? Bukankah ayah tahu kalau rumah ini adalah satu-satunya peninggalan dari ibu," ucap Zahra sedikit meninggi.Emosi gadis itu meningkat mengingat tentang semua kenangan yang terjadi di rumah tersebut. Air mata kembali jatuh berderai. Dia tidak pernah mengira sedikitpun bahwa sang ayah bisa melakukan hal ini."Siapa bilang? Siapa bilang kalau ini adalah rumah peninggalan Ibumu? Rumah ini adalah milikku. Sepenuhnya adalah milikku. Ibumu dan kamu hanya menumpang kepadaku. Jadi aku bebas melakukan apapun sesuka hatiku," teriak ayah Daksa sambil menunjuk-nunjuk Zahra.Gadis itu menggenggam tangannya kuat. Ingin sekali dia memberontak akan tetapi menurutnya percuma saja. Melihat keadaan sang ayah yang sedang mabuk, akan sangat sulit sekali untuk berdebat dengannya. Akhirnya Zahra hanya bisa diam.Akan tetapi berbeda dengan Ibu Lita yang masih saja emosi. Dia berjalan dengan tegas lalu mendorong tubuh sang suami hingga laki-laki itu terhuyung dan kembali duduk di atas kursi."Baik. Rumah ini dulu memang adalah milikmu. Tapi lihatlah sekarang? Kamu sudah kehilangan rumah ini. Lalu sekarang kita akan tinggal dimana? Aku gak mau kalau sampai kita tinggal di jalanan. Aku lebih baik berpisah denganmu daripada harus hidup miskin bersama kalian berdua." ucap Ibu Lita. Ayah Daksa tertawa. Membuat kedua wanita di depannya itu tercengang."Berpisah? Tidak mau hidup miskin? Memangnya sejak awal kita ini orang kaya? Dari dulu kita ini hidup miskin. Lalu kenapa kamu mau menerima lamaranku?" teriak Ayah Daksa masih dalam nada sempoyongan."Iya. Aku akui aku memang salah. Saat kamu melamarku, kamu baru saja memenangkan taruhan judi dengan jumlah yang besar. Aku pikir kamu adalah seorang pemain yang handal. Itu sebabnya aku mau menikah denganmu dan percaya kita akan menjadi kaya dengan cepat.""Pemain handal? Ciih!! Iya aku memang pemain handal. Bukankah selama ini kamu selalu menikmati permainanku pada tubuhmu itu hah?""CUKUP!!!" teriak Zahra menghentikan perdebatan di antara kedua orang tuanya itu. Ayah Daksa dan Ibu Lita terdiam. Mereka saling membuang muka satu sama lain."Tolonglah ayah, Ibu. Kita sedang dalam masalah besar sekarang. Tolong berpikirlah dengan tenang dan jangan menggunakan emosi seperti ini. Kita harus bisa menyelamatkan rumah ini bagaimanapun caranya," ucap Zahra."Bagaimana caranya? Memangnya kamu sanggup membayar semua hutang ayahmu? Gajimu saja tidak bisa menanggung biaya hidup kita setiap bulan," sindir Ibu Lita."Pasti ada jalan lain, Bu. Aku akan memikirkan caranya. Kalian tenang saja. Aku tidak akan membiarkan rumah ini diambil oleh orang lain."***Hari itu, Zahra pergi ke kedai dengan lesu. Dia tidak memiliki semangat sama sekali untuk bekerja. Masalah yang timbul pagi tadi di rumah sudah berhasil membuat semuanya kacau. Moodnya, pikirannya, semuanya menjadi berantakan. Dan hal itu terbawa juga pada cara dirinya bekerja.Banyak para pelanggan yang komplain karena Zahra tidak melakukan tugasnya dengan baik. Terkadang salah mengirim pesanan, salah menulis pesanan atau juga terkadang lama sekali menjawab jika dipanggil. Selama jam kerja pun, Zahra lebih sering melamun.Leo yang merupakan teman kerjanya juga bisa melihat hal itu dengan jelas. Bagaimana tidak? Tingkah Zahra hari ini berbeda 180 derajat dari biasanya. Oleh sebab itu dengan cekatan, Leo terus berusaha menutupi segala kesalahan yang dilakukan oleh gadis itu. Dia tidak mau jika Zahra sampai bermasalah dengan sang pemilik kedai."Apa kamu baik-baik saja, Ra?" tanya Leo, sesaat setelah mereka terbebas dari masa sibuknya. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore dan kedai sebentar lagi akan tutup."Iya Kak. Aku gak apa-apa," jawab Zahra lirih. Tangannya terus mengelap deretan meja yang masih kotor."Kamu tidak bisa berbohong padaku, Ra. Aku tahu kalau kamu sedang tidak baik-baik saja," ucap Leo. Zahra terdiam."Kalau ada yang bisa aku bantu, aku pasti bantu. Kalau aku gak bisa bantu secara langsung, setidaknya aku akan berusaha mencarikan jalan keluarnya.""Hmm," gumam gadis itu."Jadi ada apa?" tanya Leo masih penasaran.Zahra menatap wajah Leo dengan lekat. Laki-laki itu sudah menjadi sahabat dekatnya sejak dia mulai bekerja di kedai tersebut. Selama ini mereka memang selalu berbagi apapun yang sedang terjadi pada hidup mereka. Hubungan diantara Zahra dan Leo sudah seperti hubungan saudara yang begitu dekat.Zahra menarik nafas dalam lalu duduk di kursi yang sedang dibersihkannya. Leo pun menghentikan aktivitasnya dan ikut duduk di depan gadis itu."Ayah menjadikan rumah dan juga isinya sebagai taruhan di meja judi," ucap Zahra membuka sesi curhatnya."Apa?" kaget Leo. Zahra mengangguk."Lalu bagaimana?" tanya Leo lagi."Dia kalah dan kita kehilangan semuanya. Hanya tinggal menunggu waktu saja sampai kami semua diusir dari rumah itu," jelas Zahra sambil menunduk."Ya Tuhan. Sebenarnya apa sih yang ada di dalam pikiran ayahmu itu. Bagaimana bisa dia mempertaruhkan rumah beserta isinya di atas meja judi? Apa dia tidak berpikir atau takut kehilangan semuanya?" ucap Leo dengan nada meninggi."Entahlah. Aku tidak tahu. Mungkin saat itu ayah sedang mabuk juga. Jadi dia tidak bisa berpikir dengan jernih. Aku hanya sangat menyayangkan saja karena rumah itu adalah rumah peninggalan ibuku. Di rumah itulah kenangan kami tersimpan walaupun hanya lima tahun saja.""Apa kamu tahu berapa hutang ayahmu?""Mungkin banyak. Sangat banyak. Bukankah harga rumah itu tidak murah. Apalagi ini beserta isinya.""Iya kamu benar juga. Kita tidak mungkin bisa membayar dengan uang sebanyak itu," ucap Leo. Zahra terdiam. Kedua insan itu seketika melamun."Sudahlah kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi kedepannya. Semoga saja aku bisa mendapatkan jalan keluar agar aku bisa menyelamatkan rumah itu," ucap Zahra. Gadis itu kembali membereskan kedai diikuti oleh Leo.***"Syukurlah kamu sudah datang. Ada yang ingin kami bicarakan serius denganmu," ucap Ibu Lita sesaat setelah Zahra baru saja sampai ke dalam rumah setelah seharian bekerja."Ada apa Bu?"***Tama berdiri di depan sebuah cermin besar di dalam salon tersebut. Rambutnya kini sudah sangat rapi dan juga pendek. Jambang dan kumis yang asalnya tebal, kini berubah menjadi tipis. Tak sadar, laki-laki itu pun tersenyum melihat penampilan barunya tersebut.“Bagaimana? Jadi terlihat segar kan?” tanya Zahra berjalan mendekati sang suami.“Hmm,” jawab laki-laki itu dengan jari tangan yang menyisir tipis rambut barunya.Zahra tersenyum. Dia lalu merangkul lengan sang suami dan menyandarkan kepalanya di sana.“Sekarang kamu tidak malu lagi jalan denganku, kan? Sekarang aku terlihat lebih muda,” ucap Tama memandang wajah sang istri dari balik cermin.Zahra mengangkat kepalanya untuk bisa mendongak melihat laki-laki itu. “Mas, sudah aku katakan, bukan? Aku tidak pernah malu untuk bersama denganmu. Aku tidak peduli dengan anggapan orang lain tentang kita. Karena sedih atau bahagia nya hubungan kita, kita sendiri yang tentukan dan kita sendiri yang rasakan. Bukan mereka.” Nada bicara Zahra
Sebuah restaurant seafood yang sangat terkenal di kota itu menjadi tujuan pertama mereka. Sebuah restaurant yang memiliki tiga lantai itu berukuran sangat luas. Zahra bahkan sampai menganga sesaat ketika dirinya menginjakkan kakinya di tempat tersebut. Berbagai gambar menu yang disajikan menjadi penghias dinding berwarna emas itu. Semuanya benar-benar tampak sangat menarik dan tentu saja menggugah selera.“Ini restaurant, kan?” tanya Zahra dengan mata yang terperanjat. Tama tersenyum lalu menarik tubuh sang istri agar lebih menempel dari sebelumnya.“Iya sayang. Ini restaurant seafood nomor satu di kota ini,” jelas laki-laki itu.“Hmm wajar saja. Penampakkannya sangat mewah layaknya sebuah istana seperti ini. Mungkin hanya masyarakat kalangan atas saja yang bisa datang kemari,” jawab Zahra. Kedua matanya masih menyapu semua ornamen yang melekat di dalam ruangan tersebut.Tama memajukan bibirnya lalu berbisik, “Kamu belum melihat spot paling mahal di restauran ini.”Zahra mengalihkan
“Bagaimana dokter?” tanya Tama. Laki-laki itu membantu sang istri duduk di kursi di sampingnya.Pagi itu Tama membawa Zahra untuk memeriksa kondisinya pasca pemukulan yang dilakukan oleh Nufa beberapa minggu yang lalu. Setelah melakukan proses pengecekan panjang, hari ini adalah hari terakhir mereka datang. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Tama memang sedikit berlebihan. Dia bahkan sampai memaksa sang dokter untuk memeriksa seluruh tubuh bagian dalam sang istri dengan berbagai alat.Awalnya dokter keluarga itu merasa bingung karena sesuai dengan apa yang dia ketahui, kecelakaan yang menimpa Zahra tidaklah separah itu. Akan tetapi mau bagaimana lagi. Dia tahu jika yang memintanya itu adalah CEO Kalingga’s Group. Seseorang yang paling tidak suka jika keinginannya dibantah. Apalagi ini menyangkut seseorang yang sangat laki-laki itu cintai.“Semua jenis pemeriksaan yang anda inginkan sudah kami lakukan, Tuan Tama. Dan hasilnya tetaplah sama. Nyonya Zahra baik-baik saja. Bahkan hasil dar
Di dalam sebuah kamar yang memiliki ukuran cukup besar. Sinar matahari sudah mulai merambat masuk melewati kaca jendela yang memang sengaja dibuka. Walaupun demikian, wangi aroma terapi yang dipasang di dalam ruangan tersebut tidak memudar. Udara pagi yang sejuk mulai terasa menusuk di pori-pori kulit seseorang yang ada di dalam sana.Seorang gadis yang sejak semalam terbaring di atas kasur, matanya mulai mengerjap. Kelopak mata yang masih tertutup itu mulai menunjukkan sebuah pergerakan halus. Dan beberapa saat kemudian, Zahra membuka matanya dengan sempurna. Penglihatan yang awalnya kabur, perlahan berubah menjadi jelas. Namun demikian, kondisi tubuhnya yang masih sangat lemas, membuat wanita itu tidak bisa bergerak dengan bebas.“Di-dimana ini?” ucap wanita itu lirih. Mencoba untuk berpikir, membuat luka di bagian belakang kepalanya kembali terasa sakit. Membuat Zahra meringis kesakitan.Mendengar ada suara di dalam kamar sang majikan, pelayan yang ditugaskan untuk menjaga istri da
Pengacara Aldi masih diam menunduk. Dia bahkan tidak berani memandang Rey maupun Nufa yang selama ini menjadi atasannya. Sudut matanya hanya bisa melirik Tama yang duduk dengan tegak di sampingnya. Kedua tangannya dilipat di depan dada dengan sorot mata tajam yang langsung menembus jantung sang pengacara.Laki-laki itu menelan salivanya dengan kuat. Dia sadar jika dirinya kini sedang berada di tengah harimau dan singa. Entah mana yang harus dia pilih, yang jelas keduanya benar-benar sangat berbahaya baginya.“Pengacara Aldi,” panggil Rey kembali. Kali ini dengan nada suara yang sedikit naik.“I-iya tuan,” jawab pengacara Aldi terbata. Keringat dingin semakin terlihat jelas berseluncur di dahinya.“Ayo, keluarkan surat-surat itu! Surat yang menyatakan jika seluruh aset dan juga kekayaan Kalingga sudah jatuh ke tanganku,” titah Rey.“Benar pengacara. Ayo cepat tunjukkan pada laki-laki sok berkuasa ini. Cepat katakan jika sekarang dia sudah berubah menjadi tikus got yang tak memiliki apa
“Silahkan dokter?” ucap Tama. Dia langsung membawa Zahra pulang ke mansion dan meminta dokter keluarga untuk memeriksanya.Sang dokter melakukan pemeriksaan secara detail dan juga teliti. Dia tidak mau melakukan sebuah kesalahan apalagi ini menyangkut istri dari seorang CEO besar. Di sampingnya, Tama masih setia berdiri, memperhatikan sang istri yang masih terkulai tak berdaya. Pakaian yang semula berlumuran darah, sudah dia ganti. Tama melakukannya sendiri karena sejak kejadian Nufa, rasa kepercayaannya kepada para pelayan di mansion menjadi berkurang. Dia takut jika masih ada orang suruhan Rey yang tinggal disana. “Bagaimana, dokter?” tanya laki-laki itu saat melihat sang dokter sudah selesai memeriksa. Dokter tampan itu pun tersenyum.“Tidak apa-apa, Tuan Tama. Kondisi istri anda yang belum sadar, bukan karena ada kesalahan tapi memang itu akibat obat yang diberikan oleh dokter yang memeriksa sebelumnya,” jelas sang dokter keluarga. Tama menghela nafas lega.“Jadi, kira-kira kapan